Bab 63 Aisyah Kenapa? Hal pertama yang aku rasakan saat pertama kali membuka mata, adalah kepala yang berdenyut nyeri. Lalu saat membukanya lebih lebar, aku merasakan serangan cahaya lampu menusuk indra penglihatanku dan semuanya kelihatan serba putih … “Aku di mana? Tempat apa ini?” “Aduh!” Sakit sekali rasanya! Semakin aku sadar, semakin sakit pula seluruh bagian tubuhku, apalagi di bagian kepala dan sekujur tangan yang saat kulihat dengan teliti, terdapat lilitan perban di sana. “Astagfirullah apa ini? Tangan dan kepalaku terluka, sebenarnya apa yang sudah terjadi?” tanyaku keheranan, berharap ada seseorang yang bersedia menjawabnya, padahal ruangan itu kosong hanya ada diriku. “Aisyah!” Segera kuberanjak dari ranjang dengan jarum infus yang masih tertancap sempurna di punggung tangan. Perasaan takut itu seakan membunuhku! Dan rasanya lebih menakutkan, lebih sakit daripada luka-luka yang aku derita. Aku takut Aisyah kenapa-napa! Karena hal terakhir yang bisa kuingat dar
Bab 64 Pertolongan “Ayah! Astagfirullah, Ya Allah, Ayah kenapa?” Perasaanku tiba-tiba menjadi semakin risau, pikiran kacau! Pergerakanku tiba-tiba berhenti untuk beberapa saat. Karena entah bagaimana, tiba-tiba semuanya terasa kosong, terasa sunyi, dan tidak ada satupun keputusan yang bisa aku ambil di tengah kebingungan yang melanda diri ini. Apakah aku harus terus berlari ke ruangan Dokter Pram agar nyawa Aisyah tertolong? Atau, apakah aku aku harus berbalik arah, menolong Om dengan risiko bahwa semuanya akan terlambat bagi Aisyah … keputusan mana … yang harus aku ambil sebenarnya? “Yudha!” Tiba-tiba suara Tante Renita yang sangat lantang dan keras membuat lamunanku buyar. “Pergi ke ruangan Dokter Pram! Cepat. Sekalian kamu minta bantuan tenaga medis, siapa saja untuk menangani Aisyah! Urusan Om, biar Tante yang urus! Kamu cari saja pertolongan untuk Aisyah!” Dorongannya membuatku sedikit lega. Aku jadi bisa memutuskan tanpa merasa bersalah. Langsung saja kaki ini kembali b
Bab 65Sebuah Pengakuan “Apa? Siapa? Siapa yang mau mendonorkan darah untuk Aisyah?” tanyaku pada Dokter Pram. Dokter Pram mengerutkan kening dan menjawab sebelum akhirnya pergi dengan tergesa-gesa, “Kami sedang sibuk. Kalau kamu mau Aisyah selamat, simpan pertanyaan itu untuk nanti kalau keadaannya sudah membaik.” “Siapkan ruangan dan alat medis untuk memulai tindakan,” ucap Dokter Pram pada perawat yang sedang berjalan beriringan dengannya, tidak jauh dari tempatku berdiri. Perasaan lega menguasai hatiku saat ini. Berkali-kali aku mengucapkan syukur pada Tuhan, setelah dengan tidak tahu malu merutuk kasar pada takdir yang Dia berikan. Aku sujud di atas lantai rumah sakit, tidak memedulikan orang-orang yang melihatku berbisik-bisik atau mengatai aku sebagai orang yang aneh. “Terimakasih, Ya Allah. Terimakasih banyak. Hamba minta maaf untuk semua ucapan dan prasangka buruk, untuk semua perasaan putus asa padahal di sana selalu ada Engkau yang menolong hamba-Mu dengan cara yan
Bab 66Pengakuan Azmina“Kedua, masalah pernikahan Aisyah dengan Adnan, yang membuat pernikahan mereka hancur adalah ….” Aku menelan ludah, rasanya semua suara tiba-tiba menghilang kecuali deru napas Azmina, dan kata-kata yang aku takutkan keluar dari mulutnya …. “Aku.” … akhirnya tertangkap oleh indera pendengaranku. “A-apa? Maksud kamu—” Aku tidak mampu berkata-kata lagi. Semua alfabet yang sejak dulu kupelajari, setiap kalimat dan kata yang aku tahu, tiba-tiba menghilang begitu saja dari kepala. Dada ini terasa sesak, detakan jantungku terasa lebih cepat, lebih keras, dan aku mulai membekap mulut dengan kedua tangan, berusaha memahami bahwa memang inilah kenyataannya. “Dasar wanita sialan!” ucapku pada akhirnya usai semua kejadian buruk yang menimpa Aisyah berhenti berputar dalam kepalaku. Aku jadi tahu apa yang harus kukatakan pada wanita jahat ini! “Apa kamu tidak tahu seberapa terpuruknya Aisyah gara-gara fitnah keji kamu?! Gara-gara semua yang kamu lakukan, dia dicera
Bab 67 PoV Rahadi Apakah aku adalah seorang Ayah yang buruk? Apakah ucapan dan tindakanku selama ini sering menyakiti perasaan anak-anakku, keluargaku, bahkan diriku sendiri? Selama beberapa hari usai diperbolehkan pulang dari rumah sakit, aku memikirkan ucapan-ucapan Yudha yang merasuk ke dalam pikiranku … sangat dalam. Sementara Aisyah masih dirawat di rumah sakit, sayangnya aku tidak bisa berlama-lama meninggalkan urusan di kantor. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita semua,” begitu pikirku, sampai Aisyah menyahut dari atas ranjangnya dengan suara yang lemah. “Mungkin Ayah berpikir kalau mengatakan hal-hal kasar padaku, pada Azmina, dan memperlakukan kami dengan sangat buruk di saat Ayah seharusnya menjadi seseorang yang paling melindungi kami, mempercayai kami terlepas dari semua orang yang memandang kami sebagai gadis jahat … bagi Ayah, perilaku yang Ayah lakukan itu adalah usaha untuk mendapatkan semua yang terbaik bagi kami? Menurut Aisyah, itu jauh dari kata ‘ba
Bab 68Mencari Azmina “Aw sialan!” Dia berteriak dengan sangat kencang sehingga mengundang beberapa polisi yang berjaga datang untuk memeriksa keadaan. Tubuhnya oleng dan terjatuh, sementara aku masih dengan amarah yang sangat besar berusaha untuk melepaskan jeruji besi yang menghalangi kami, mengguncang-guncangkannya. “Hei mundur! Anda tidak boleh membuat kegaduhan di sini!” Dua orang polisi mencegahku, menarik tanganku ke belakang sehingga aku tidak bisa bergerak bebas. Aku berusaha memberontak, tetapi percuma ketika sebuah borgol mengunci rapat kedua tangan ini. Tubuhku ditarik dengan sangat kasar oleh dua orang polisi tadi. Ketika melihat ke belakang, Dani, menatapku dengan nyalang, sekaligus mempertanyakan sikap kasarku padanya. “Duduk!” Titah salah satu polisi. “Bapak ini bagaimana, sih?! Sudah kami izinkan untuk bertemu dengannya, malah membuat kegaduhan. Ini kantor polisi, Pak! Bisa-bisanya bikin masalah di kantor polisi!” bentaknya dengan keras sambil menggebrak meja
Bab 69_Terjebak “Azmina!” Wanita itu menoleh, dia tersenyum dengan sangat lebar. Dia berjalan mendekat, “Udah lama di sini?” ucap wanita itu pada … temannya. Aku terduduk lemah di kursi bar. Dia bukan Azmina. Wanita itu ternyata menoleh karena temannya memanggil. “Tolong aku, Tuhan. Ke mana lagi aku harus mencari anakku? Apakah tidak ada pintu maaf Azmina bagiku?” Menutup wajah dengan kedua tangan, frustrasi. Aku sangat kesal pada diri sendiri. Entah apa yang membuat diri ini menjadi sangat arogan dan temperamental. Apakah karena kehidupanku yang dulu sangat sulit untuk dijalani? Tidak, biar begitu, semua ini bukan salah Azmina maupun Aisyah. Aku tidak berhak meluapkan kekesalan pada mereka karena anak-anak itu … kami yang meminta kehadiran mereka pada Tuhan. Saat sedang berpikir keras mengenai kesalahan-kesalahan yang aku perbuat, tiba-tiba sepasang tangan menyentuh leherku, menggerayangi dadaku dari arah belakang. Aku yang sangat terkejut tidak sempat bereaksi, dan pelaku
BAB 70_Pencarian yang Berakhir di Rumah sakitKepala ini terasa sakit sekali. Aku mulai membuka mata dan mengerjap-ngerjap. Cahaya dari lampu di atas kepala sungguh sangat menyilaukan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mulai menangkap sesosok bayangan yang tepat berada di depanku. Wajah yang sangat aku kenali itu terlihat begitu cemas. “Akhirnya kamu siuman juga,” ucapnya sembari menghela napas lega.“Aku ada di mana sekarang?” tanyaku sambil tetap memegangi kepala. Dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan tangannya menunjuk ke arah sebuah tulisan. Ru-ang Me-la-ti No 3. Aku mengejanya dalam hati dan sadar kini bahwa aku sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Namun, bagaimana bisa aku berakhir di sini? “Kau berhutang banyak penjelasan padaku, Sayang. Tetapi itu bisa dipikirkan nanti saja. Sekarang lebih baik kau makan agar nanti bisa minum obat,” kata istriku sambil tangannya sibuk membuka wadah yang terbuat dari stainless. Wajah istriku yang semula terlihat sangat kh
Bab 80 TAMAT “Masa, sih, itu bukan dia? Mirip banget, Ah.” ~@Dyannie_Alexander.. “Katanya udah ada konfirmasi kalau itu bukan dia, masalahnya udah beres.” ~@Adelia Bellez. “Jaman sekarang emang ngeri banget! Semua bisa dimanipulasi jadi semirip mungkin. Semangat, Kak!” ~@Rina Novita. “Kayaknya emang bukan dia deh. Itu mah cuman orang yang gak suka sama dia. Dia kan penulis sukses, makanya pada iri terus sengaja ngejebak dia pake foto palsu.” ~@Noeroel Arifin. “Ini bukan pengalihan isu, kan? Atau klarifikasinya bohong biar dia dapet simpati, terus bukunya laris lagi?” ~@HambaAllahpalingtaat. “Gue tim Kakak ini, sih, dari dulu, gak pernah ikut ngehujat.” ~@Rafika_Duri.Merasa bosan dan kesepian, pagi hariku setelah sarapan diawali dengan membuka komentar-komentar di media sosial. Ujaran kebencian yang waktu itu sempat memenuhi setiap postingan mengenai diriku, kini mulai reda. Padahal, dulu mereka orang-orang yang sama sekali tidak mengenal aku secara nyata sampai memburu ke ak
BAB 79_Adnan Minta RujukBeberapa minggu kemudian, di sebuah ballroom hotel ternama …. Beberapa orang sibuk berlalu lalang, memasang pernak-pernik, menghias ruangan itu dengan beberapa yang memberikan kesan mewah dan indah. Sebagiannya lagi sibuk mendekorasi, mengatur kursi-kursi untuk tamu undangan, tata letak bunga-bungaan untuk menambah kesan mewah, dan panggung utama yang menjadi puncak perhatian dari kedua mempelai. Aku ikut andil dalam proses mempersiapkan semua ini agar hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Sementara Azmina …. “Aisyah!” Gadis itu memanggilku dari arah belakang. Dia datang dengan wajah berseri bersama calon suaminya, Raja yang juga memberikan kesan hangat padaku. “Mina, kok, malah ke sini? Harusnya kamu istirahat. Nanti malam, kan, acaranya jangan sampe kecapean kamu kecapean, lho,” ucapku merasa khawatir. Azmina tiba-tiba memelukku dengan erat sambil berucap, “Jangan khawatir, habis ini aku langsung pulang, kok. Aku ke sini mau bilang makasih ban
Bab 78Dilamar Malam hari setelah pulang dari acara jalan-jalan bersama keluarga, aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian bersiap-siap untuk Salat Magrib berjamaah di ruang keluarga dengan Ayah sebagai imamnya. Azmina yang masih dalam proses belajar mengenal agama lebih dalam, ikut bergabung bersama kami. Aku sangat bersyukur sekali kepada karunia dan kebahagiaan yang Allah berikan padaku. Semoga kebahagiaan dan kehangatan ini bertahan selamanya. Ayah yang sejak lama tidak mengimami salatku dan Ibu dengan dalih sibuk oleh pekerjaannya, kini mulai berubah. Begitu pula dengan Ibu yang hanya sesekali masak dan lebih sering membeli lauk di luar, kini mulai membiasakan dirinya lagi untuk memasak demi keluarganya yang sudah lengkap. Kedatangan Azmina mengembalikan angin lama yang telah hilang di keluarga kami. Usai salat berjamaah, aku dan Azmina langsung masuk kamar. Kami bercengkerama sebentar sambil menunggu azan Isya tiba. “Aisyah, kamu dan Yudha bagaiman
Bab 77_Kehangatan itu kembali kurasakan “Azmina?” Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan bingung. Dia mengaga selama beberapa menit di depan pintu masuk rumah. Sementara aku menunduk dengan canggung. “Sebenarnya bukan pilihan untuk datang ke sini, tapi Raja enggak bisa dihubungi, mungkin dia lagi enggak di apartemen atau lagi sibuk kerja—” “Ya Allah, Alhamdulillah.” Pria itu memeluk tubuhku dengan erat tanpa mengizinkan aku menyelesaikan alasanku datang kemari. Aku? Entah kenapa tak ingin menolak apalagi berontak. Dia mengusap-ngusap punggungku dengan lembut sambil berkata, “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu tidak usah memberikan alasan apa pun untuk pulang ke rumahmu sendiri. Maafkan Ayah dan Ibu, ya.” Mendengar ucapannya, hatiku terenyuh. Tanpa sadar, air mataku jatuh tanpa diminta. Bercucuran sampai membasahi baju yang ia gunakan di bagian dada. Aku menangis seperti anak kecil. Dari dalam rumah, terdengar suara seseorang yang sangat aku kenali. “Siapa, Yah? Kok, lama? Ayo,
Bab 76_Pov Azmina Pria itu datang sambil membawa sebuah keranjang kecil berisi bunga yang ia taburkan di atas pusara Ibu, kemudian menengadahkan tangannya untuk berdoa dengan wajah serius, tetapi tenang. Aku mendorong tubuh Raja untuk menjauh, lalu mendekat pada pria itu sembari menodongnya dengan pertanyaan yang penuh dengan perasaan dendam. “Apa yang Anda lakukan di sini? Berani-beraninya Anda datang ke pemakaman Ibu saya!” Dia menyelesaikan doanya, masih berdiam diri di depan pusara Ibu, menjawab pertanyaanku tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. “Ayah datang untuk mendoakan Ibu angkat kamu, Nak. Ayah juga ingin menyampaikan rasa terima kasih karena dia sudah membesarkan dan memberikan kamu kasih sayang selama Ayah dan Ibu tidak ada di sisimu.” Aku tertawa kecil mengejek ucapan tidak masuk akalnya. Kenapa laki-laki biadab ini berperilaku seolah-olah dia adalah orang tuaku yang berbudi setelah meninggalkan aku selama ini? Setelah aku harus bertahan hidup sebagai pela*ur
Bab 75_Bu, Kenapa meninggalkanku? 77 panggilan tidak terjawab, 105 pesan belum terbaca selama tiga hari. Semuanya berasal dari orang yang sama. Aku ingin sekali mengabaikan semua pesan-pesan itu, tetapi selain dia tidak ada satupun orang di dunia ini yang berpihak padaku, yang menjadi tumpuan dan sandaranku … tidak ada. Apalagi saat ini pikiranku sangat berantakan gara-gara kondisi Ibu. Persetan dengan Rahadi! Dia harus menerima semua konsekuensinya! “Pak, berhenti di depan sana saja, ya, depan toserba.” Sopir taksi meng-iyakan permintaanku. Aku segera turun dan berlari menuju bangunan besar dan megah, lingkungan apartemen yang hanya bisa dimiliki oleh orang tertentu terlepas dari harta kekayaan mereka. Kutekan kata sandi apartemen itu melalui monitor layar sentuh di pintu apartemen. Setelah berhasil terbuka, aku langsung berlari dan memeluknya dengan erat, menangis tersedu-sedu menumpahkan semua kekesalan dan rasa sakit yang membuat isi kepalaku berantakan. Pria itu tertegu
Bab 74_Inikah yang Terbaik? Kepalaku berdenyut sakit saat mata ini perlahan menangkap cahaya terang dan nuansa putih sebuah ruangan. Kemudian, aroma pekat dan pahit … seperti bau obat-obatan, mulai menusuk indra penciumanku. “Silau dan bau obat.” Adalah kesan pertamaku saat berhasil tersadar sepenuhnya. Aku menoleh ke sekeliling, memperhatikan setiap detail kecil ruangan itu. Lalu terfokus pada tubuhku, tangan yang dipasangi jarum infus, dengan monitor detak jantung di samping kanan. Lalu … seorang pria yang sangat aku kenali sosoknya, tengah tertidur dalam keadaan duduk, dengan kepalanya yang menelungkup di samping ranjang. “Yud ….” ucapku dengan suara lemah dan serak. Namun, entah mengapa dia langsung terbangun setelah kupikir tidurnya nyenyak karena terdengar suara dengkuran halus. “Aisyah? Kamu sudah sadar?” Dia menatapku seolah tidak percaya. “Ya Allah, terima kasih! Akhirnya doa-doaku dijawab! Alhamdulillah, Ya Allah!” “Yud ….” Aku ingin bertanya lebih banyak mengen
Bab: 73_PoV Tiara, “Pak Yudha ke mana, ya? Kok, saya nggak lihat dia dari tadi,” tanyaku pada salah satu karyawan yang sedang melintas. “Pak Yudha? Kalau tidak salah lihat, dia keluar dengan tergesa pagi tadi. Memangnya dia tidak bilang apa-apa sama Bu Tiara?” tanyanya balik. Mungkin dia merasa kebingungan, kenapa seorang sekretaris pribadi tidak mengetahui di mana keberadaan Yudha karena seharusnya aku yang mengatur semua jadwal kerjanya, ke mana dia harus pergi dan apa yang harus ia kerjakan hari ini, seharusnya begitu. “Begitu, ya? Ya sudah, terima kasih,” ucapku setelah termenung beberapa saat. Wanita itu mengangguk dan berjalan kembali menuju ruang kerjanya. Aku sendiri memilih untuk memeriksa ke ruangan Yudha. Selain Yudha, hanya aku yang bisa keluar masuk kapan pun ke ruangan itu. Aku melangkah menuju meja kerja Yudha. Sayangnya tak kutemukan apa pun di sana. Padahal, aku berharap dia meninggalkan pesan atau apa pun itu untuk memberitahukan ke mana dia pergi. “Dia sam
Bab 72_ Jangan panggil aku “Nak”! Aku melangkah lunglai menuju ruang inap Ibu. Hatiku sakit saat melihat keadaannya yang tidak kunjung membaik. Pakaiannya kotor, sorot matanya kosong, dan yang keluar dari mulutnya hanya … perihal tragedi malam itu. “Tipu … aku ditipu … mati … masuk penjara … semuanya hancur,” ujar Ibu. Aku mendekatinya, kemudian duduk di samping ranjang Ibu. “Ibu, sudah berapa lama tidak potong rambut?” Benar, rambut putihnya yang sudah menjamur dimana-mana, telah memanjang tidak rapi. “Azmina bantu potong, ya. Ibu tunggu sebentar di sini.” Aku meminjam gunting pada salah satu perawat di rumah sakit. Namun, saat mencoba untuk memotong rambut Ibu, dia malah memberontak. Memukul keras tanganku hingga gunting yang aku pegang jatuh ke lantai. “Pergi! Pergi kamu! Pergi kamu penipu! Semuanya gara-gara kamu! Dasar manusia biadab tidak tahu diuntung! Sudah baik suami saya ke kamu! Kamu malah menipu kami!” teriak nya keras. Tidak berhenti sampai sana, kini Ibu de