“Ada apa, Marc? Zahra kenapa?” Marc menoleh dengan susah payah ke arah samping. Dia sedikit lega melihat Reza berada di sampingnya.
“Za, tolong aku. Jas, ....” Jason mengangguk. Dia mengerti yang ingin dikatakan oleh Marc.
***Meyyis***
Zahra sudah terbangun ketika Marc dan Erika masuk ke ruangan itu. Jason yang ada di sampingnya sekarang. Lelaki itu sudah membelikan Zahra makan siang, karena memang wanita itu belum makan. “Za, makan dulu.” Jason membukakan bungkusan itu.
“Tidak, Jas. Aku tidak bisa makan.” Zahra terlihat murung. Wajah ceria yang beberapa saat lalu menjadi penghias, lenyaplah sudah.
“Za, boleh aku berpendapat? Kamu tidak usah khawatir. Aku yakin ada sebuah trik yang ditebarkan oleh beberapa orang. Jika hari ini hasilnya positif pun, jangan langsung percaya. Kenapa aku bilang demikian? Marc pengusaha sukses, kau tahu? Ini buk
“Maafkan Papa, Sayang. Kita main ke belakang?” Marc membuka pintu kamar dan melepas tuxedo putihnya. Tinggalah kemeja putih menempel pas dibadan berbukunya.***MEYYIS***Setelah marc keluard ari kamar, Zahra tengkurap dan menangis tersedu-sedu. Tangisnya pecah menyesali nasibnya. Mengapa bisa seperti ini. Dia bangkit kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, tidak ada cara lain untuk meredam segala emosinya selain dengan air wudu. Dia melakukan step demi step hingga berakhir dengan membasuh kaki. Wanita itu keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. Setelah itu meraih mukena yang ada di lemari. Bersujud adalah satu-satunya yang dapat dilakukannya.Di belakang, Marc sedang bermain ayunan dengan Jelita. Zubaedah mendekati Marc, sehingga lelaki itu menoleh. “Maafkan aku, Ma.” Kata itu yang pertama kali dikatakan oleh Zubaedah.“Semua sudah t
“Pikirkan yang mama katakan. Tidak mudah bagi bule seperti dia yang biasanya hidup dengan bebas, tiba-tiba terikat aturan. Dia melakukannya semua demi cintanya padamu. Pikirkan siapa yang membawa bencana itu. Tidakkah kau ingat siapa Zoya? Jika kau menyerah, dia akan terbahak dan mencibirmu.” Zahra memandang mata ibunya tersebut sangat dalam. Ibunya benar. Marc tidak bersalah. Hanya saja, dia butuh waktu untuk berpikir.***Meyyis***Zubaedah mengajak Zahra untuk sampai ke meja makan ketika hampir mahrib. Marc menuntun Jelita masuk. Ketika Zahra dan Zubaedah duduk di meja makan. “Marc makan sekalian. Kamu juga belum amkan bukan?” Marc tersenyum singkat. Jelita menariknya untuk ikut makan. Marc mau mengikutinya. Mereka hanya hening. Zubaedah melirik ke arah Zahra, juga Marc bergantian.“Zahra, ambilkan suamimu nasinya.” Zahra mengangkat piringnya, kemudian memberikan nasi dan
Zahra tetap diam. “Kau boleh cek kebenarannya. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Beberapa jam kau mendiamkanku seperti ini, duniaku terasa berakhir.” Setetes air mata luruh dan jatuh tepat di tangan Marc yang memeluk Zahra.***MEYYIS***“Aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Tidak mudah bagiku untuk ....” Marc melepaskan pelukannya dan memegang lengan sang istri untuk membalik tubuhnya dan membuat mereka berhadapan.“Sayang, aku benar-benar minta maaf. Hatiku sakit rasanya melihatmu seperti ini.” Marc membungkuk dan tangannya memegang pipinya. Mata Zahra bertemu dengan mata Marc.“Marc aku ....” Tangis Zahra semakin merebak. Marc menarik tubuh Zahra ke dalam pelukannya. Jujur saja, hatinya sangat sakit melihat orang yang dicintainya begitu menderita apalagi karenanya. Marc memegang kepala belakang Zahra dengan tangnya. Diluar kerudungnya, Marc mengusap kepala belakang itu agar wan
“Mari kita berjuang bersama. Aku juga tidak mau kalah sebelum berperang. Mari kita perbaiki.” Marc meraih tangan Zahra dan merarik tubuh wanitanya ke dalam pelukakannya. “Kita Salat Mahrib dulu, Sayang.” Zahra membisikkan kata itu. Sehingga Marc melepaskan pelukkannya. “Iya,” jawab Marc. Dia menghadiahi sebuah kecupan di puncak kepala Zahra. ***Meyyis*** Marc bangkit dan mengambil air wudu. Diikuti dengan Zahra di belakngnya. Namun Marc memilih untuk pergi ke musala. Sedangkan Zahra berjamaah di rumah dengan Jelita dan beberapa saudara yang masih ada di rumah. Selesai salat, Zahra berdoa dengan sangat khusuk. “Ya Allah, terima kasih kau telah melembutkan hatiku. Aku tahu tidak mudah. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku pernah menyerah pada Zoya memberikan Mas Raehan padanya. Kali ini aku tidak akan menyerah lagi. Berikan kami kekuatan wahai dzat yang maka kuat. Aku hanyalah butiran debu yang selalu dapat melayang han
Jason masih tidak percaya dengan hasilnya. Apalagi di sana ada Reza. Lelaki itu patut dicurigai. Jason sangat tahu jika ada setangkup kekecewaan dari wajah Reza. Bahwa lelaki itu menyukai Zahra. Siapa pun yang punya mata akan bisa melihat kilatan cinta yang Reza berikan jika melihat Zahra.***MEYYIS***Marc sudah kemabali dari masjid. Dia meletakkan pecinya di gantungan baju begitu dengan baju kokonya yang berwarna putih.tinggalan kaos dalam warna putih dengan lengan pendek. Zahra sudah berada di depan meja rias dan membersihkan wajahnya. “Mau makan malam?” tanya Zahra.“Apa kamu sudah lapar, Sayang? Kita makan malam sekarang jika sudah lapar.” Senyum itu mengembang demikian manisnya. Zahra bangkit. Dia akan berjalan keluar. Marc meraih tangannya sehingga Zahra terlihat kaget karena gerakan itu. Dadanya bergemuruh. Hanya dengan gerakan kecil seperti itu saja, dirinya sanggup gugup setengah mati. M
“Hus ....” Zahra datang mengintrupsi sehingga Marc menghentikan ceritanya. “Sudah tidur?” Marc mengangkat tubuh itu untuk tidur di atas bantal. Zahra membantunya. “Giliran membacakan cerita untuk mamanya.” Zahra membelalakkan matanya. ***Meyyis*** Zahra dan Marc bergantian mengecup kening putrinya. Setelah itu keluar dari kamar itu. Marc memilih keluar ke taman belakang untuk menghirup udara segar. Sedangkan Zahra masuk ke kamarnya. Wanita itu membersihkan diri kemudian berganti baju. Jangan berharap dia memakai lingerie yang transparan dan menggoda. Hanya baju baby dol yang melekat di tubuhnya. Itu pula yang menjadi titik balik Raehan mencampakkannya. Karena wanita itu terlalu malu tampil mempesona meskipun di depan sang suami. Marc yang sudah paham walau belum pernah, lebih bisa memahami dan menerimanya. Marc duduk di teras belakang. Bukan di kursi tapi dilantai yang
“Mama tidak begitu mengerti. Yang pasti dalam sekejap perusahaan papa bangkrut dan dialihkan ke tangan orang lain. Mama tidak ingin sakit hati terlalu dalam, karena memang mama tidak tahu menahu tentang perusahaan. Jadi mama memilih diam dari pada mencari tahu penyebabnya.” Marc menarik napas sangat dalam untuk menetralkan perasaannya yang ikut sakit mengetahui hal itu. Sepertinya tidak mungkin jika perusahaan itu hancur dalam sekejap kalau tidak dicurangi.***MEYYIS***Malam semakin larut. Pembicaraan dengan Zubaedah juga semakin seru. Sesekali dibarengi candaan setelah kisah sedih Zubaedah selesai. Zahra berpikir ingin keluar dari kamarnya, karena merasa gelisah. Dia sudah berpikir beberapa jam. Lebih tepatnya bukan berpikir tapi menggali lagi ilmu munakahat yang dia pelajari dari kitab karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari yang berjudul Dhau’ al Mishbah Fi Bayan Ahkam al-Nikah. Dia menunduk membaca bait demi bait kitab berb
“Sakit banget, ya?” Marc meniupnya, setelah mengolesi kaki tersebut dengan bio placenton.“Terima kasih.” Zahra tersenyum sehingga Marc membalasnya.“Aku keluar untuk membereskan pecahannya, ya. Tunggu aku!” Satu kecupan mendarat di kening Zahra.***Meyyis***“Ma, biarkan saya yang membereskan. Mama istirahat saja!” Marc mencoba mengambil alih. Namun rupanya Zubaedah sudah gerakan cepat membereskan semuanya. Terlihat Zubaedah baru saja membuang bungkusan plastik warna hitam di tempat sampah yang diduga adalah pecahan gelas tersebut.“Sudah selesai, Marc. Temani istrimu tidur.” Marc mengucapkan terima kasih kemudian kembali masuk ke kamarnya. Zahra masih duduk di tepian ranjang. Marc berjalan masuk ke kamar mandi. Dia membersihkan diri dan melakukan ritual sebelum tidur. Dia keluar dari kamar mandi dan
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga