"Bu, Zahra mau bicara penting." "Kamu mau bicara apa, Nak? Jangan pernah bilang kalau kamu suatu saat akan pergi meninggalkan ibu." Mata ibu mulai berkaca-kaca. Tenggorokanku tercekat. Aku terdiam mendengar ucapan ibu barusan. Bagaimana caranya agar ibu tidak sedih. Tekadku sungguh sudah bulat untuk pergi dari rumah ini. Lagipula ibu akan memiliki seorang cucu. Pasti ibu akan senang sekali. "Zahra, apa yang hendak kamu katakan?" Pertanyaan Ibu membuyarkan lamunanku. "Ibu ..., Aku tidak pernah meninggalkan ibu. Aku hanya ingin pindah ke dekat kantorku yang berada di pinggir kota. Karena kalau bolak balik setiap hari akan memakan waktu lama dan sangat melelahkan." Ibu terdiam. Bulir bening telah mengalir dari kedua sudut matanya. Aku menahan sesak melihat kesedihan di wajah tua itu. Tak terasa air mata pun telah membendung juga di kedua pelupuk mataku. "Bagaimana dengan Dewa. Apa dia mengizinkan kamu pergi, Nak?" Tentu saja Mas Dewa melarangku. Namun sebentar lagi dia bukanlah s
Mas Dewa melajukan mobilnya membelah jalan menuju kantor. Sepanjang jalan kami hanya diam. Wajah laki-,laki di sampingku ini terlihat dingin. Justru ini menguntungkan aku agar tidak terjadi perdebatan yang melelahkan lagi sepanjang jalan. "Kamu akan tinggal di mana? Kalau kamu mau, aku akan mengontrakkan sebuah rumah untukmu. Dengan begitu akan mempermudah kita untuk memperbaiki hubungan kita ini." Apaaa? Apa aku tidak salah dengar? "Udah deh Mas, Aku udah nggak mau bahas ini lagi. Surat gugatan ceraiku sudah masuk pengadilan. Jadi kamu tunggu aja surat panggilan dari pengadilan.!" seruku kesal. "Prosesnya tidak semudah itu. Kita masih bisa memperbaiki semuanya. Sejujurnya aku tidak bisa kehilangan kamu." Sesaat Mas Dewa menatapku lekat. Kemudian matanya kembai tertuju pada jalanan. Aku menghela napas panjang. Tidak aku kira akan sesulit ini untuk melepaskan diri dari laki-laki ini. Sejujurnya walau aku tahu Mas Dewa tidak pernah mencintaiku, tapi dulu pernah ada rasa cinta yan
"Maafkan Aku, Zahra! Ternyata aku telah menyakitimu terlalu dalam!" ucap Mas Dewa di sisa isak tangisnya. Drama lagi. Aku memutar bola mataku. "Udah telat, Mas. Hatiku sudah keburu diambil orang!" sahutku malas. Wajahnya menegang. "Aku mohon, Zahra! Maafkan Aku!" Dia terus memohon seraya menggenggam paksa jemariku. "Mas, udah dong! Kalau Mas nggak jalan-jalan aku turun aja mau cari taksi." Karena tidak sabar aku pun menarik paksa tanganku dari genggamannya, kemudian bergerak hendak turun dari mobil. Namun, Mas Dewa kembali menarik lenganku. Mata kami bertemu dengan saling menatap tajam hingga menghunus ke dalam manik netra kami. Hingga beberapa saat tatapannya terlihat kembali sendu. Kini dia menatapku penuh harap dan kembali memohon. "Aku mohon jangan turun! Kita jalan sekarang," ujarnya lembut membujukku. Aku menghela napas panjang. Menuruti permohonannya. Kemudian duduk kembali dengan memandang lurus ke depan pada jalan raya. Kami hanya diam. Mas Dewa sesekali melirikku
Aku mengernyitkan dahi melihat Dewi. Wanita berambut pendek itu pasti sangat senang karena bisa memata-matai Mas Dewa untuk Liana. Aku mengulum senyum. "Hei, kenapa senyum-senyum gitu? Minggir sana! itu meja aku sekarang!" Dewi tersenyum sinis padaku. "Oke. Silahkan!" sahutku seraya berdiri beranjak dari kursi, meraih tasku di laci dan kemudian melangkah mundur memberi ruang untuk Dewi. Dengan bangganya Dewi langsung duduk di depan komputer, senyum merekah tersungging di bibirnya. Namun sepertinya Frans dan beberapa orang yang berada di sekitarnya acuh dan tak menghiraukannya. Mas Dewa membuka tirainya, matanya melebar saat menemukan Dewi yang duduk di kursi sekretaris. Seakan mengerti dengan kebingungan Mas Dewa, Pak Jodi mengajak Dewi ke dalam ruangan Mas Dewa. "Bu Zahra tunggu sebentar ya, saya ke dalam dulu." ujar Pak Joni sebelum melangkah ke dalam. "Baik, Pak" sahutku yang enggan untuk kembali duduk di kursi yang sudah diambil alih oleh Dewi. "Zahra, sini duduk!" Frans
Satu jam lagi peresmian kantor cabang akan dimulai. Devan mengirim pesan bahwa dia akan terlambat datang ke kantor pagi ini. [Zahra, sementara kamu bisa pakai ruanganku dulu. Aku terlambat datang ke kantor hari ini] [Baiklah, Dev. Tidak usah memikirkan diriku. Cepatlah datang, para karyawan tidak sabar menunggumu] Bagaimana mungkin aku pindah ke ruang Devan saat ini. Bisa-bisa semakin buruk penilaian mereka terhadapku. Sebaiknya aku ke ruang Pak Jodi saja. “Frans, terima kasih kursinya. Aku ke ruang Pak Jodi saja,” ujarku seraya berdiri dan hendak melangkah menuju lift, karena ruang Pak Jodi berada di lantai bawah. “Wah, padahal kami senang ada kamu di sini, Zahra.” Frans mencoba untuk menahanku. Nampak Dewi melirik kami dengan tatapan sinis. Sementara Mas Dewa terus memperhatikan aku sejak tadi. Dari balik dinding kaca ruangannya aku melihat Mas Dewa mulai berdiri, lalu keluar dari ruangannya dan ternyata laki-laki itu menghampiriku. “Zahra, ayo ke ruanganku! Ada yang hendak
Kami perlahan mengurai pelukan. "Kok Bunda juga nangis?" suaranya yang sedikit serak membuatku gemas dan lantas mencium pipi chubynya. "Clarissa kenapa nangis?" Aku balik bertanya. "Aku kangen sama Bunda, kemarin Bunda pergi nggak bilang sama Aku," ujarnya dengan memajukan bibirnya. "Loh kan kemarin itu ada mommy Kim, Sayang." Dia menggeleng cepat. "Aku maunya sama Bunda. Pokoknya bunda nggak boleh pergi lagi dari aku." Kami kembali saling memeluk. "Ya sudah. Yuk kita duduk. Sebentar lagi Daddy akan memimpin rapat," ajakku dan membawanya duduk di salah satu kursi sebelah Devan. Devan terus memperhatikan kami. Pria itu menatapku cukup lama. Kami saling melempar senyum. Pria berahang kokoh itu mengusap pelan rambut Clarissa. Sementara itu, Ivan sibuk dengan dua orang asistennya membahas beberapa hal tentang perusahaan. Sungguh sahabatku itu sangat jauh berbeda. Ivan kini lebih tegas dan berwibawa. "Siang, Pak Devan, Bapak panggil Saya?"Pak Jodi masuk ke ruang meeting dan me
Mas Dewa terus bersikeras hendak mengantarku ke rumah dinas. Aku sudah menolak sebisaku, namun suamiku itu terus memaksa. "Zahra, Kamu itu masih tanggung jawabku. Aku harus tau kamu tinggal di mana. Jika terjadi sesuatu padamu aku bisa segera datang," bujuknya ketika kami berpapasan di lantai dasar menuju lobby, saat hendak melangkah pulang. Mas Dewa terus berusaha menyamai langkahku yang sebenarnya sejak tadi susah payah untuk menghindar darinya. "Tidak perlu, Mas. Ada supir kantor yang mengantarku." Aku terus menolak, namun Mas Dewa pantang menyerah. Laki-laki tinggi tegap di sampingku ini terus membujukku. Aku membaca ulang pesan dari Devan tadi sebelum pria blasteran itu pulang bersama Clarisa setelah makan siang tadi. [ Supir kantor siap mengantarmu sore nanti. Sebenarnya aku sangat ingin sekali mengantarmu ke rumah dinas hari ini. Namun, aku pikir sebaiknya kita menjaga jarak dulu sebelum kamu bercerai dengan Dewa. Aku ingin menjaga nama baikmu, Zahra. Aku pulang duluan,
Aku mengangguk dan duduk di salah satu kursi di ruang tunggu. Sambil membuka ponsel, Aku mengirim pesan singkat pada pengacaraku. [ Bagaimana proses perceraianku? Tolong urus secepatnya!] [ besok Pak Dewa akan menerima surat dari pengadilan, Bu. Semoga saja Pak Dewa mau bekerjasama] Aku menghempas napas panjang setelah membaca balasan pesan dari pengacaraku. Masalahnya sekarang adalah bagaimana caranya agar membuat Mas Dewa segera menyetujui gugatan ceraiku. [ Aku sudah di depan] Pesan masuk dari Mas Dewa membuatku segera beranjak menghampirinya. Mas Dewa membukakan pintu mobilnya untukku. Aku pun naik dan duduk bersandar pada kursi penumpang. "Di mana alamat rumah dinasmu?" Dewa mulai melajukan mobilnya. "Di komplek perumahan dekat kantor cabang." Mas Dewa sontak menoleh padaku. "Kenapa jauh sekali?" tanyanya dengan dahi yang mengerut. "Justru Devan memberiku rumah yang dekat dengan kantor. Agar aku tidak kelelahan pulang dan pergi nanti." "Aku bisa antar dan jemput kam
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu