Selesai mandi, Siera yang berencana langsung pergi tidur diinterupsi oleh nyanyian nyaring cacing di perut. Perempuan itu menilik jam di dinding kamar. Pukul setengah dua belas malam.
"Kamu enggak bisa diajak kerja sama, ya?" Mengusap perut, gadis itu melangkahkan kaki menuju dapur.
Ia dan Dean baru beberapa hari menikah. Sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing, hingga tak sadar tentang urusan dapur. Malam ini Siera baru tahu bahwa lemari pendingin di rumah tak teirsi apa-apa, kecuali minuman kaleng.
Hal sama juga berlaku pada lemari-lemari di yang ada. Tak ada mi instant atau makanan kemasan lainnnya. Mendesah lelah, Siera berdiri di depan wastafel. Menatapi dapur rumah yang terasa gersang.
Ia jadi merenung. Apa begini kondisi dari dapur yang dihuni pasangan suami-istri yang menikah bukan karena cinta? Apa seperti ini rasanya menjalani rumah tangga yang dibangun tanpa dasar yang jelas? Hampa?
Siera pernah kelaparan seperti malam ini. Dulu, saat dirinya belum menemukan pekerjaan selepas berhenti kuliah dan tak lagi punya uang simpanan. Namun, yang kali ini berbeda dengan kondisi itu. Ini lebih menyesakkan.
Kembali dalam benaknya muncul tanya. Apa muluk bila mengharapkan Dean di saat begini? Apa berlebihan bila ingin merasakan pengalaman dirawat suami sendiri di saat seperti ini? Tidak mengharuskan Dean memasakkan makanan, sekadar peduli misalnya? Namun, kenyataan yang harus diterima tampaknya memang harus seperti ini.
Acara meratap Siera akhirnya berhenti saat mendengar suara orang bersin. Tak lama setelahnya, Dean muncul di dapur. Menoleh ke sana sebentar, Siera memutuskan tetap berdiri di tempatnya dan memandangi ubin di bawah.
"Kamu belum tidur?" Dean memutuskan bertanya setelah menghabiskan air di gelasnya. Pria itu menghampiri sang istri, berdiri berhadapan.
Siera melipat bibir ke dalam, menimbang haruskah menjawab jujur atau tidak. Ia takut Dean menilainya merepotkan, tetapi juga tak kuat menahan lapar.
"Kulkas kosong. Telur pun enggak ada." Perempuan itu menggaruk kepala. "Aku ... lapar." Siera menatap suaminya sebentar, sebelum akhirnya menunduk lagi.
Mendengar itu, Dean merasa tercubit. Laki-laki itu mengusap wajah. "Beli makanan instan dulu untuk malam ini. Sebentar, saya ambil kunci mobil."
Dean bilang akan ke mini market 24 jam. Siera ikut saja. Mengenakan jaket abu-abu di luar kaus merahnya, gadis itu duduk tak sabar selama mobil berjalan. Setelah tiba di tempat tujuan, ia bergegas turun.
Tempat pertama yang Siera datangi adalah rak makanan ringan. Memilih sebentar, pilihannya jatuh pada roti di sana. Tak membuang waktu, ia menyantap makanan itu. Saat Dean menyusul dan memberikan satu keranjang merah padanya, Siera hanya mampu melempar senyum malu.
Kurang lebih setengah jam berbelanja, mereka pun kembali ke rumah. Sambil menikmati camilannya--cokelat, roti, biskuit--Siera menyiapkan nasi dan dua bungkus mi instan rebus lengkap dengan telur yang akan mereka santap.
Meski sempat didera lapar, Siera menikmati minya dengan perasaan senang, sebab Dean tak menolak ajakan untuk makan bersama. Dini hari datang, perut gadis itu akhirnya terisi penuh.
Usai makan, Siera memilih tinggal di dapur, sedangkan suaminya sudah kembali ke kamar. Si perempuan sebenarnya mengantuk, tetapi belanjaan mereka tadi belum sempat dikeluarkan dari plastik seluruhnya.
Siera menyebut ini kewajiban. Memang tugas seorang istri mengurusi rumah. Jadi, ia melakukannya dengan senang hati.
Barang-barang selesai diatur, piring kotor sudah dicuci, Siera tampak menguap saat meninggalkan dapur. Ia sudah akan pergi ke kamar, tetapi teringat sesuatu yang membuatnya mendongak ke lantai dua rumah.
Selama mereka belanja tadi, Dean beberapa kali bersin. Pria itu juga terlihat sedikit pucat dan kedinginan. Siera bahkan membiarkan pria itu memakai jaketnya. Siera pikir, hujan yang sudah membuat suaminya begitu. Maka itu, ia pergi ke kamar untuk mengambil obat demam, kemudian air hangat dari dapur.
"Masuk saja."
Tidak dibukakan pintu setelah beberapa kali mengetuk, Siera dipersilakan masuk oleh Dean. Perempuan itu sedikit terkejut kala mendapati suaminya meringkuk di bawah selimut.
"Ada apa?" Dean mengusap hidung yang gatal. Pria itu sedikit kesusahan untuk duduk karena tubuh terasa lemas dan ngilu.
Siera yang duduk di pinggir ranjang mengulurkan tangan untuk menyentuh dahi Dean. Panas. Pantas mata pria itu merah dan berair.
Ia berdecak. "Mau minum obatku? Biasa manjur untuk aku." Diangkatnya obat yang biasa dikonsumsi untuk ditunjukkan pada si lelaki.
Si suami mengangguk.
"Sini aku bantu." Siera menepis tangan Dean yang hendak meraih obat. Perempuan itu bukakan, lalu berikan pada sang suami. Tak lupa meminumkan air hangat tadi.
"Tidur aja dulu. Pakai selimut biar keringatan."
Dean yang sudah berbaring menatapi Siera lamat-lamat. "Kamu belum tidur?" tanyanya ketika perempuan itu tak kunjung beranjak dari pinggir ranjang.
Siera balas memandangi si pria. Ia hanya menyuarakan apa yang tengah dirasakan. Perempuan itu menggeleng. "Khawatir," ucapnya.
Si pria mengulas senyum. "Sebagai istri, kamu profesional juga."
Candaan yang jelek, batin Siera. "Aku enggak lagi akting, Pak."
Lagi, Dean melengkungkan bibir. Pria itu menghadapkan tubuh ke arah si istri, berbaring menyamping dengan satu tangan di bawah bantal. "Khawatir sama saya? Perhatian sekali. Hati-hati, jangan pakai hati."
Perempuan di sana berpindah duduk ke lantai. Kepalanya rebah di tepi ranjang. Dari posisi seperti itu, ia bisa menatap wajah pucat Dean lebih jelas. "Aku normal, Pak. Punya suami pura-pura yang rupawan, siapa yang enggak oleng?"
Dean menganggap itu hanya guyonan, jadi ia hanya menunjukkan raut congkak karena dipuji.
Beberapa waktu setelah itu, kamar diliputi hening. Dean dan Siera hanya saling bertatapan. Hingga si perempuan perlahan diserang kantuk. Matanya mulai berat.
Mendapati gerak kelopak mata Siera sedikit melambat, Dean mendekat. Memposisikan wajah mereka berhadapan. Ia pandangi paras sederhana yang manis itu. Tidak ada yang terjadi. Jantung Dean tidak bertalu-talu. Lelaki itu hanya merasa nyaman dan tenang.
"Kenapa kamu melakukan ini? Saya sungguh merasa bahwa kamu benar mengkhawatirkan saya."
Belum sepenuhnya pulas, meski kedua mata sudah terpejam, Siera menyahut, "Ini kewajiban, Pak. Mengurusi suami, mengkhawatirkannya, terutama saat sakit, itu kewajiban dan hal yang lumrah."
Sesuatu yang nakal terbersit di pikiran Dean setelah mendengar kata 'kewajiban'. Tak sadar, ia suarakan. "Lalu, jika saya menuntut hak saya yang lain." Jemarinya menyentuh alis Siera. Bergerak pelan di sana, mengikuti bentuknya. "Kamu juga akan bersedia melakukannya?"
"Ini pelanggaran perjanjian. Tidak ada kontak fisik." Mata Siera terbuka. Iris madunya langsung disuguhi pemandangan wajah Dean.
Mata pria itu sayu, bibir pucatnya terkatup rapat. Penampilan yang berhasil membuat Siera memuji dalam hati. Sakit saja masih terlihat memesona, rutuknya.
"Memikirkan apa kamu?" Dean yang merasa terganggu akan cara si istri menatap, buka suara. Jemarinya tadi ia jauhkan dari wajah Siera.
Siera gusar. "Dalam pernikahan ini, kita berdua harus sama-sama diuntungkan, 'kan?" Bergantian ia pandang mata dan bibir Dean.
Alis si pria menyatu. Tiba-tiba sekali pertanyaan itu. Tidak relevan dengan situasi.
Siera meyakinkan diri. Harus seimbang. Tadi, Dean melakukan kontak fisik. Alih-alih membuat pria itu mendapat hukuman, si gadis memilih membalas saja.
"Aku mau ambil keuntungan juga."
Berucap cepat, perempuan itu bergerak kilat mendekat pada Dean. Memupus spasi yang tak terlalu banyak, untuk kemudian mencuri satu ciuman dari bibir si suami.
Itu ... bukan apa-apa. Sebenarnya itu hanya ungkapan perasaan yang Siera punya. Iba karena Dean sakit? Ungkapan kasih sayang, sekaligus dia agar ceoat sembuh? Tapi, kan tidak harus mencium? Memang Dean anak kecil tetangga yang memang sering Siera cium saat demam?
Didapati perempuan itu Dean mematung dengan mata sedikit melebar setelah kembali membuat jarak. "Bagus, Pak. Wajah Bapak bagus." Sayang, hanya bisa dilihat, tidak untuk dimiliki, sambungnya dalam hati. Semua pikiran dan alasan dihilangkan.
Dean masih tak menunjukkan respon lebih lanjut, diam-diam Siera meringis malu. Ia berasumsi bahwa virus demam si suami sudah tertular padanya, karena itu pipi mendadak terasa hangat, jantung juga berdebar.
"Tidur, Pak. Tidur aja." Siera memejam erat. "Semoga besok Bapak lupa akan ini."
Mengerjap usai berhasil menguasai diri, Dean beringsut mundur. Pria itu menatap takjub pada perempuan di hadapan.
Ia menyentuh bibir, kemudian merasakan sesuatu di dada berdetak tak lazim. Dean anggap itu efek samping obat demam yang tadi diminum.
Pria itu menatap Siera sekali lagi, sebelum akhirnya mengubah posisi tidur, membelakangi si gadis. "Tidur. Tidur saja, Dean," katanya seraya menutup kedua mata.
Di luar, cuaca cerah, tetapi tidak terik. Bagus. Sama bagusnya dengan suasana hati Siera sore ini. Bagaimana tidak? Ia sedang berada di rumah mertua, menikmati berbagai kue lezat. Ana menelepon siang tadi. Katanya akan datang untuk mengantar bolu kukus, bolu pisang dan bubur kacang hijau yang sengaja si mertua buat untuknya. Tak ingin membuat ibunya Dean kerepotan, Siera putuskan untuk menjemput semua makanan itu sepulang bekerja. Kebetulan, di rumah juga tidak ada orang. Dean yang sebenarnya demam bersikukuh pergi mengajar tadi pagi. Pasti pria itu belum pulang. Sempatkan singgah, bukan masalah. "Masakan Mama super enak." Gadis itu menelan potongan bolu pisang terakhir yang bisa perutnya tampung. Mike yang menyesap kopi, menoleh pada menantunya. "Kamu berlebihan." Senyumnya terlihat mekar. Siera menggeleng. "Ini serius, Pa. Kapan-kapan ajari Siera buat yang begini, Ma. Biar bisa buatin untuk De--" Perempuan
Dean memarkirkan mobil di depan rumah Nara. Mematikan mesin, ia menoleh pada gadis di kursi sebelah. Perempuan dengan dress biru itu masih memalingkan wajah. Enggan bertukar tatap. Tampaknya masih kesal. Siang tadi, sepulangnya ia mengajar dan diskusi soal proyek penelitian, Dean mendatangi Nara. Biasa, awalnya untuk menghabiskan waktu bersama. Sekadar bicara--meski tahu akan berakhir dengan debat--atau menonton drama kesukaan perempuan itu. Pokoknya meluangkan waktu, agar sang pacar tidak mengatai pilih kasih. Satu kesamaan Nara dan Siera yang baru Dean ketahui. Selain punya akhirnya nama yang sama, mereka juga penyuka K-Pop. Namun, Nara tidak seheboh Siera yang bisa berteriak atau senyum-senyum du. Depan layar TV atau ponsel. Kembali pasa Nara, rencana Dean yang ingin menghabiskan waktu bersama, tak bisa direalisasikan karena saat datang, Dean disambut wajah tertekuk si kekasih. "Tetangga nanyain kamu itu siapanya aku. Mereka
Mendengar suara pintu dibuka, Siera yang sedang menyiapkan sarapan berhenti sejenak dari kegiatannya. Gadis itu menarik napas, meski tangan yang memegang piring berisi telur dadar diremas kuat. Tak lama Dean muncul di ruang makan. Dengan kemeja yang kemarin pagi pria itu kenakan untuk pergi bekerja. Kali ini tampak kusut di sana-sini. Rambut pria itu juga berantakan. "Saya mau mandi dulu. Setelahnya baru sarapan." Dean mengurungkan niat untuk menjelaskan ke mana ia semalaman ini. Pria itu terlalu lelah, jadi memutuskan untuk membersihkan diri dulu. Tadi, tidak sempat di rumah Nara, karena Dean ingin cepat-cepat pulang. Pun, Nara adalah jadwal mengajar pagi. Tidak menyahut, Siera menatapi suaminya dengan amarah di mata. Agaknya Dean bisa membaca, karena pria itu mengurungkan niat melangkah pergi. "Ada apa?" tanya Dean setelah memastikan Siera tampak ingin mengatakan sesuatu. Bibir perempuan itu tertutup rapat, tetapi sedik
Tidak punya pendirian. Siera mengatai dirinya bodoh. Sebelumnya, ia marah. Sangat. Bersumpah tak akan bicara pada Dean, walau pria itu minta maaf. Namun, hati tiba-tiba gamang kala mendapati setumpuk kertas berada di atas meja ruang tamu. Pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Siera belum pergi bekerja, suaminya sudah. Dan benda yang barusan di pandangi adalah milik Dean. Tumpukan kertas yang diklip itu adalah draft proposal skripsi milik mahasiswa suaminya, yang tadi malam sudah diperiksa. Siera tahu bahwa itu sudah dikoreksi Dean, karena ia terbangun dini hari kemarin. Sekitar pukul satu dan menemukan si lelaki ada di sofa dengan tumpukan kertas yang sama. Siera sempat mengintip sembari lewat. Sebenarnya penasaran, ingin bertanya, tetapi karena ia dan sang suami belum berbaikan, maka Siera hanya lewat. Pagi ini, menemukan benda itu di rumah, sedangkan Dean sudah pergi, Siera gamang. Haruskah menghubungi dan memberitahu? Atau mengantar
Dean tampak berjalan menuju pintu dengan wajah ditekuk sore ini. Pintu rumah dibuka, ia mendengar suara palu diketuk ke atas paku. Suaranya dari samping rumah, pria itu mengurungkan niat untuk masuk. "Sedang apa kamu?" Dean berkacak pinggang pada Siera yang tampak berjongkok di sepetak tanah kosong di samping rumah mereka. Di tangan istrinya itu ada sebuah palu. Belum dijawab, hanya dilempari tatapan heran, lelaki itu memalingkan wajah sesaat. Ia baru ingat bila dirinya dan sang istri belum berbaikan. Kenapa malah mengajak bicara duluan? "Mau bikin kotak tanaman," jawab Siera asal, kembali memukulkan kepala palu pada paku di atas balok kayu yang coba ia rangkai menjadi bentuk persegi panjang. Dean menoleh lagi, melepas kedua sepatunya. "Kotak tanaman? Untuk apa?" Pukulannya meleset dan malah mengenai ibu jari, Siera meringis, spontan melempar alat tukang di tangan ke tanah. "Kalau tahu, memang mau apa? Jangan ikut campu
"Aku bisa pulang sendiri, Ma. Makasih banyak untuk risolesnya." Memeluk Ana sekali lagi, Siera melambai pada kedua orang tua Dean itu. Senyum tak berhenti terkembang di wajahnya yang seterang bintang di langit malam ini."Papa masih kuat kendarai mobil, loh, Siera. Papa antar aja, ya?" Mike lagi-lagi menahan lengan Siera yang sudah hendak meninggalkan teras rumah. Ia cemas harus membiarkan menantunya itu pulang sendirian di larut begini.Siera menggeleng. "Aku enggak mau merepotkan. Serius. Kalau Papa maksa mau antar, aku enggak bakal datang lagi ke sini."Seperti beberapa kali sebelumnya, hari ini Siera yang mendapat jatah libur mingguan menghabiskan harinya di rumah Mike dan Ana. Mereka melakukan banyak hal. Bercerita soal masa kecil Dean, memasak bersama Ana, menikmati masakan Ana yang super lezat, juga membantu mertuanya itu mengurusi tanaman bunga di taman belakang.Sekarang sudah pukul delapan, mau tak mau Siera harus pulang.
Keluar dari kamar, Siera menoleh ke arah jendela di kiri rumah. Masih sambil mengunyah, perempuan yang baru selsai mandi itu memastikan waktu dengan melirik pada jam. Sekitar pukul lima.Berjalan hingga ke ruang tamu, ia berhenti di dekat meja TV. Di depannya, ada Dean yang sedang memegang pel. Tatapan Siera penuh rasa ingin tahu."Tolong, remahan wafermu." Dean memindahkan pel dari dekat kaki istrinya. Melanjutkan kegiatannya, membersihkan lantai hingga mengkilap.Menghabiskan lima wafer cokelat di tangan, Siera menatapi punggung Dean yang bergerak. Ini aneh. Sungguh aneh.Bayangkan, beberapa saat lalu, suaminya itu datang ke Ramaji. Bukan untuk nongkrong atau bertemu Pak Rama, melainkan untuk menjemput. Tidak sampai di sana, pria itu bahkan mengambil jatah pekerjaan sore Siera. Menyapu dan mengepel rumah.Pantas tidak dipertanyakan? Siera yakin iya. Untuk apa Dean melakukan semua ini? Tiba-tiba sekali."
Dean kecelakaan.Satu kalimat yang berhasil membuat Siera lupa cara bernapas untuk sesaat. Tadi, gadis itu sedang memandangi bunga matahari di samping rumah. Lalu, telepon datang. Dari seorang perempuan yang adalah perawat rumah sakit. Memberitahu jika suaminya ada di ruang IGD, karena kecelakaan dan belum sadarkan diri.Tunggang-langgang, Siera berangkat ke sana. Pikirannya berkecamuk. Ingatan soal peristiwa memilukan beberapa tahun lalu berkeliaran di benak. Membuatnya tak segan menangis di dalam taksi yang ditumpangi.Bertanya pada petugas rumah sakit, Siera sampai di depan sebuah ruangan, yang katanya di sana Dean sudah dipindahkan. Sangat beruntung, luka Dean tidak parah. Pria itu hanya pingsan karena terkejut.Tidak langsung masuk ke ruang rawat, Siera terpaku menemukan sesosok perempuan duduk di depan ruangan. Sama sepertinya, perempuan itu menangis. Tampak pucat, satu perban kecil juga tertempel di
Dean yang sudah sangat mengantuk dan hampir lelap berbalik untuk menatap Siera. Istrinya itu terus bergerak gelisah sejak setengah jam tadi. Mengubah posisi tidur terus-terusan, sesekali memukuli bantal.Apa sedang cari perhatian?"Kenapa, Siera? Enggak bisa tidur?" Dean menumpu kepala dengan tangan.Yang ditanya mengangguk. Matanya mengerjap cepat, seolah sedang membujuk."Kenapa? Lapar?" Dean menebak.Si istri menggeleng."Sakit perut?" Dean membawa tubuhnya duduk bersila."Pengin makan sesuatu, Paksu."Diam-diam Dean menelan ludah hati-hati. Kalimat itu adalah sesuatu yang sejak seminggu lalu ia takutkan. Akhirnya muncul juga."Apa?" Alis Dean mengait tak ramah."Belimbing."Matanya melebar, Dean kemudian mengusap wajah. Pria itu menggaruk rambut. Sampai sekarang, mereka belum juga memeriksakan keadaan Siera. Belum berani. Namun, dari ting
Mengendarai motor tak tentu arah selama berjam-jam, Dean akhirnya memilih mendatangi rumah Mike. Itu sekitar pukul dua belas malam, kedatangannya disambut raut heran sang ayah."Ayah tidur aja. Aku cuma mau numpang sampai besok pagi."Mike mengabaikan usiran halus itu. Ia duduk di samping sang putra. "Bertengkar dengan Siera? Tumben sampai minggat." Lelaki tua itu berusaha bercanda. Namun, Dean hanya merespon dengan senyum yang dipaksakan.Bungkam selama beberapa menit, Dean membuka bibir. "Aku takut, Ayah. Aku takut anak-anakku nanti akan menerima akibat dari perbuatanku dulu."Misal Siera melahirkan anak laki-laki. Bagaimana jika Dean tidak becus mendidiknya? Dirinya saja yang mendapat didikan benar dari Mike, sempat melenceng. Konon anaknya nanti. Dean pesimis dirinya sudah layak menjadi seorang ayah."Kalau dia perempuan, gimana, Ayah? Gimana kalau dia ketemu laki-laki yang kayak aku? Gimana kalau dia disakiti sama
"Mau beli apa, Nak? Mau jajan apa?"Siera mengulum senyum saat mendapati dua orang pelanggan datang ke warungnya. Hari ini giliran Siera yang berjaga, Dean sedang mengurus keperluan pembukaan warung makan mereka yang akan digelar minggu depan.Setahun menggeluti usaha warung kelontong, Dean berhasil mengumpulkan modal untuk membuka warung makan. Pria itu memang gigih dan berbakat dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ekonomi mereka berangsur makin stabil, semua baik, kecuali satu."Susu formulanya satu, ya, Buk. Yang biasa." Pelanggan tadi meminta dengan sopan pada Siera.Siera mengambilkan barang itu. Matanya kembali memandangi gadis kecil yang pelanggannya tadi gendong. Mereka ayah dan anak yang memang biasa belanja. Setiap sore begini, si ayah yang pulang bekerja akan membawa anaknya membeli jajan ke warung Siera ini.Kebersamaan ayah dan anak itu membuat hati Siera senang, sekaligus sedih tiap kali melihatnya.
Suasana kamar sore itu semakin hangat. Siera merasa dirinya terbakar oleh tiap sentuhan dan kecupan Dean. Pria itu memang selalu andal membuatnya terbang.Terbaring di atas ranjang mereka, Siera mendongakkan wajah kala sapuan telapak tangan Dean mampir di paha. Laki-laki itu membuatnya terbuka dan siap untuk berkelana ke nirwana.Saat Siera merasa jarak mereka sudah sangat dekat, tiba-tiba saja Dean bangkit dari atas tubuhnya. Pria itu menarik laci, mengambil sebuah benda dari sana. Dalam usahanya mengatur napas yang terengah, Siera melihat pria itu memakai pengaman.Seminggu sejak mereka menikah, Dean mulai melakukan ini. Pria itu melapisi dirinya dengan benda karet itu. Saat ditanya kenapa, jawabannya membuat Siera sedih."Kamu udah periksa ke dokter, 'kan, Paksu? Kamu sehat, untungnya. Kenapa pakai itu?"Tanya itu Siera berani suarakan di pergumulan mereka yang kesepuluh. Dean langsung memasang wajah sedih kala itu.
Siera yang baru saja pulang dari rumah Mike memutuskan turun di warung milik Dean, alih-alih langsung ke rumah. Perempuan itu khawatir suaminya lelah melayani pembeli sejak pagi hingga sore, dan akan menawarkan bantuan. Dean bisa pulang dan dia yang menjaga warung.Sebulan pernikahan, Siera benar-benar bahagia. Dean makin hari semakin perhatian. Pria itu mulai mengabaikan sedikit gengsi dan sudah lebih sering menunjukkan rasa peduli.Satu contohnya, Dean sudah tak perlu diingatkan untuk menghubungi Mike atau menjenguk ayah mereka itu. Dean bahkan pernah tanpa sepengetahuannya membelikan si ayah mertua sepatu.Tiba di warung kecil mereka, Siera melempar senyum pada si pria berkaus abu-abu. Rasanya sedikit aneh. Biasanya, saat bekerja, Dean akan mengenakan kemeja dan celana kain fromal. Tidak sesantai sekarang. Hanya kaus dan celana pendek. Namun, tetap saja ketampanan suaminya itu tak berkurang."Capek, Paksu? Mau gantian?" Siera me
"Aku udah jual rumah ini. Uangnya udah habis."Dean menanti, mengamati dengan cermat raut wajah istrinya. Awalnya perempuan itu terkejut, kemudian meringis kesal. Siera melempar diri ke sofa, berulang kali menarik dan membuang napas."Kamu enggak mau tanya kenapa aku jual rumahnya dan ke mana uangnya?"Perempuan itu menoleh. Satu tangannya terangkat. "Bentar. Aku napas dulu. Siap-siap dulu," ujarnya dengan dahi berkerut.Di tempatnya berdiri, Dean mengulum senyum. Hah, dia menyesal setengah mati. Kenapa tidak dari dulu memilih perempuan itu sebagai teman hidup? Walau ditempatkan di situasi yang buruk, Siera tetap berusaha tenang. Garis bawahi, berusaha. Bukan Dean tidak tahu jika sekarang emosi istrinya sedang mendidih.Siera memilih mendinginkan kepala dulu, mengambil waktu untuk bersiap, padahal jika langsung mengamuk pun, itu sangat wajar. Kenapa dulu Dean malah terjebak dengan seseorang yang sesuka hati melam
"Apa, sih, gunanya hape?"Siera melempar ponselnya ke atas sofa, setelah panggilan yang ditujukan pada Dean kembali tidak dijawab. Duduk di samping gawainya, si perempuan bersedekap dengan wajah ditekuk. Melirik sebentar ke arah pintu, lalu mengerutkan dahi.Sekarang sudah pukul sembilan malam. Dean belum pulang dan mengabaikan semua panggilan dan pesan Siera. Membuat si istri cemas, tetapi juga kesal.Ke mana Dean pergi? Mencari kerja seperti yang tadi pagi ia suruh? Yang benar saja! Sampai jam segini? Siera curiga Dean malah sedang berduaan dengan Intan di suatu tempat.Membuang napas kasar, Siera mengusap dada. Harus konsisten dan tanggung jawab atas pilihan. Kalau pun misal Dean memang sedang bersama Intan maka Siera akan ....Siera akan menjambak dan memukul Dean. Sungguh, bila benar suaminya itu kembali mengulang kesalahan seperti saat bersama Nara, maka Siera tak akan bersikap lembut lagi.Tak lama,
Setelah pernikahan, lalu apa?Ya bermesraan. Saling mengungkapkan cinta dengan cara yang lebih intim. Mungkin jalan-jalan ke tempat baru, menghabiskan hari dengan bekencan dan sebagainya yang menyenangkan.Atau, di rumah saja. Seharian di kasur, membicarakan dan merancang masa depan. Mungkin mendiskusikan soal jumlah anak dan nama mereka. Namun, itu tidak berlaku untuk Siera. Sebab setelah resmi menjadi istri Dean lagi, perempuan itu malah didiamkan.Selepas acara sederhana dengan keluarga, mereka pulang ke rumah Dean yang lama. Makan, mandi, lalu istirahat, karena lelah. Setelahnya? Hanya saling bertatapan beberapa kali lalu diam.Jika alasannya lelah, Siera bisa paham. Namun, yang Dean tunjukkan ini bukan sikap pengantin pria yang kelelahan sehabis acara pernikahan dan tidak berselera melakukan apa pun. Pria itu memang sengaja membuat jarak. Menjauh darinya, sejauh mungkin.Bayangkan. Semalam, Dean menaruh guling di
Dean dengan sengaja merebahkan tubuh di sofa. Pria itu memejam dengan satu satu lengan di dahi. Bersikap selayaknya tak mendengarkan ocehan perempuan di sana.Tidak sendiri di ruang tamu rumah Mike, sekarang pukul sepuluh. Sang ayah sudah istirahat, Bu Ratna juga, tersisa ia dan Siera. Dan lagi, Siera sedang membicarakan ajakan menikah. Seolah tak lelah dan bosan."Kamu tidur, Dean? Kamu enggak dengerin aku?"Tidak dengar apanya? Seminggu lebih menelan semua bujuk rayu Siera, Dean mampu jika disuruh mengulang, walau tanpa teks. Hapal. Dean sudah hapal."Ayo nikah lagi. Kamu enggak kasihan sama aku? Aku ini mantan istri kamu, yang jatuh cinta sama kamu, dan sekarang ngemis untuk dinikahi. Enggak kasihan? Enggak mau? Udah ada pacar baru kamu?"Masih mempertahankan posisi berbaring, si lelaki tidak menjawab. Sampai sekarang, benar ia belum bisa memutuskan apakah harus memulai lagi hubungan dengan Siera atau tidak. Walau s