Sudah lima hari lamanya Baswara hilang kabar. Gawainya tak kunjung aktif dan juga tidak ditemukan keberadaannya di kampung halaman. Cemas dan bingung menghantui Sam yang kini diberi amanah untuk menggantikan posisi Baswara.
“Pak, kenapa wajah Bapak begitu cemas? Ada apa, Pak?” tanya sekretaris Sam. Ia terlihat bingung akan sikap Sam yang terus saja berjalan mondar mandir dengan wajah kacau.
“Saya pusing, Tuan Baswara tidak ada kabar sama sekali sampai hari ini,” ungkapnya dengan nada kesal bercampur cemas. Sepertinya kerisauannya begitu tinggi hingga membuat ia tak lagi mampu menahan untuk tidak mengatakannya.
“Bukannya, Bapak bilang Tuan Baswara sedang mengunjungi Neneknya?”
“Yah, itu dia. Saya sudah meminta kerabat saya yang ada di kota itu untuk mencarinya. Namun, tidak mendapatkan informasi apa-apa.”
“Mungkin Tuan Baswara punya tempat khusus yang ia sukai di sana. Sekalian liburan dan melepa
Langit mulai gelap, terlihat para karyawan mulai keluar dari kantor, tidak terkecuali Sam. Dengan mobil tuanya, ia melaju tenang memasuki jalan tol untuk mengunjungi rumah sakit. Seperti saran yang diberikan Kana, ia harus kembali kontrol untuk memastikan keadaan jantungnya. Mobil terus melaju, angin dingin berselimut rintik hujan menemani perjalanan Sam. Hari semakin gelap hanya berteman pada lampu yang ada di sepanjang jalan. Mobil terus melaju, dengan segala beban berat yang ada di pundaknya, Sam berusaha tegar sembari menanti kedatangan Baswara kembali. Meski kesal dan kecewa, namun Sam tetap berusaha tegar. Semua ini demi Baswara-pemimpin sekaligus sahabat terbaiknya. Seperti biasa rumah sakit terlihat ramai dengan banyak mobil dan motor memenuhi area parkir. Sam dengan sangat hati-hati memarkirkan mobilnya di sudut jalan. Melangkah tenang memasuki area resepsionis untuk mendaftarkan diri. “Mba, mau daftar dengan Dokter spesialis jantung.” “Atas
Baswara membuka map dan mulai membaca semua data yang ada. Matanya membelalak dengan dernyit dahi yang begitu tebal, tangan mengepal lalu menghantam kuat meja yang ada di depannya. Mata itu kini memandang ke arah Sam yang masih berdiri mematung seakan bersiap menjadi papan sasarah panah kemarahan Baswara.“Apa-apaan ini?!” teriak Baswara yang segera berdiri dan mencampakkan semua data yang ada di dalam map. Berdiri dengan kasar mendorong kuat kursi hingga terjungkal.Seluruh rambut ditubuh Sam berdiri, terutama pada bagian tengkuk. Ketakutan Sam terbukti dan kini Baswara kembali menunjukkan sisi buasnya.“Sam, Samudera!” panggil Baswara memecahkan semua bayangan Sam.“Y, ya,” jawab Sam tergagap.“Duduklah! Berdiri terus apa enggak pegal kakimu?”“Eh, i, iya.”Sam duduk dan melihat Baswara masih terlihat tenang meskipun map sudah dibuka. Jantung Sam yang sedari tadi berdegum k
Sam sudah berada di dalam mobil dan bersiap hendak pulang. Namun, baru saja mobil dinyalakan, Baswara sudah hadir di pintu mobil dan memaksa untuk dibukakan.“Ada apa sih, Bas. Bukannnya kamu punya mobil dan sopir pribadi?” tanya Sam dengan suara lelah.“Pindah gih!” ucap Baswara yang dengan tenang meminta Sam meninggalkan kursi kemudinya. Kemudian Baswara masuk dan duduk di sana.“Mau kemana lagi? Menemui Kana?” tanya Sam dengan nada jengah.Baswara tersenyum dan tak menjawab. Melajukan mobil dengan sedikit mengebut, lalu berbelok dengan tikungan tajam hingga menimbulkan bunyi yang tak sedap di telinga.“Bas, Bas, Bas, kamu gila?” ungkap Sam yang terlihat ciut akan aksi nekad Baswara.“Kangen aja, udah lama banget enggak ngelakuin begitu.”“Kalau mau mati, enggak usah ajak-ajak, Bas,” jawab Sam dengan wajah tak senang.“Tenang saja. Enggak akan mati
Di salah satu rumah mewah yang ada di Amerika, tepatnya di kota Washington DC. Seorang pria duduk dengan lembaran kertas di tangannya. Wajahnya begitu berang dengan tatapan nanar. Mengepalkan tangan lalu melemparkan semua lembaran yang ada di tangannya.“Sialan! Siapa yang berani melawan Sanjaya!” teriaknya dengan penuh amarah. Semua urat berurat keluar dari tubuhnya. Berdiri dengan penuh kemarahan, Sanjaya menatap jauh halaman hijau yang ada dibalik jendela kaca.Dua orang pria berjas rapi hanya bisa berdiri kaku dengan kepala tertunduk. Mereka terlihat takut, dengan kaki yang bergetar pelan.“Jika saja aku berada di Jakarta, akan aku habisi anak sialan itu!” ungkapnya kembali dengan wajah menyumpah. Tangannya menunjuk tinggi seakan hendak mempersiapkan amunisi untuk menghancurkan seseorang.“Bagaimana bisa Baswara kecolongan begini?” umpatnya yang terus saja berang. Hingga akhirnya rasa sakit memaksanya duduk kembali
Mobil Sam tiba di rumah Kana. Tanpa diminta, Sam segera turun dan menghampiri penjaga. Ia meminta izin masuk dan menanyakan keberadaan Kana.“Silakan masuk, Tuan!” ucap satpam penjaga sambil melirik ke arah mobil. Sepertinya ia merasa curiga akan sosok yang berada di dalam.Mobil masuk ke dalam rumah setelah pintu terbuka. Terparkir tepat di sudut taman. Sam melangkah mendekati pintu menunggu kehadiran Kana yang lebih dulu dihubungi satpam penjaga. Sedangkan Baswara menghampiri penjaga yang sudah lebih dulu tersenyum kepadanya.“Eh, Tuan. Pikir siapa,” ujarnya sambil cengengesan.“Bapak sudah makan?”“Udah, Tuan.”“Ini ada makanan buat Bapak,” ujar Baswara sembari menyerahkan sekotak makanan berisi martabak terang bulan.Kotak makanan itu diterima dengan senyuman yang begitu lebar. Ia dengan lahap segera menyantap makanan yang menjadi kesukaannya. Meski baru beberapa kali men
Ruangan yang gelap dengan banyak kain yang menutupi jendela kaca membuat Jo gerah. Ia meraba sisi dinding untuk menemukan saklar lampu dan berniat menyalakannya. Lim yang kini kembali ke sisi pintu untuk mencari Jo pun merasa kehilangan. Lim juga melakukan hal yang sama, meraba dinding dan terus memanggil nama Jo.“Klik!” suara saklar ditekan. Seketika lampu menyala dan terlihat tempat tidur penuh darah. Seketika suasana mendadak senyap, Jo dan Lim berada di tempat yang berjauhan. Mata mereka saling pandang dengan penuh kengerian. Bulu kuduk merinding diikuti tubuh yang mendadak menjadi kaku. Bagaimana tidak, ada dua ranjang di sana. Satu ranjang kosong dengan ceceran darah segar di atasnya. Sedangkan ranjang satunya berisi tubuh yang tengah diselimuti seluruh tubuhnya.Jakun bergerak cepat, menelan ludah berat diikuti mata yang tak bisa berkedip.“Jo!” panggil Lim yang berusaha tak mengeluarkan suara kuat.Bukannya menjawab, Jo ju
Kedua penjaga gedung yang bertugas di malam hari sedang asik berbincang di luar kantor. Mereka berjongkok sambil menikmati sebatang rokok di tangannya. Berbincang kian serius, hingga membuat Sam tertarik untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.“Eh, kamu sadar enggak. Ada mobil mewah yang terus pasrkir di sekitaran gedung?”“Iya sih. Kemarin aku lihat pagi sampai sore. Itu tuh, waktu kamu enggak masuk. terus ... tadi malam juga ada. Mobilnya warna biru tua bukan?”“Hooh. Bener banget, pas dengan warna mobil yang aku lihat.”“Yah, aku sih maklum. Secara ini gedung mewah dan banyak orang kaya kerja di sini. Pasti ada aja penguntit. Kadang pun, penguntit itu pacar salah satu karyawan. Kamu ingat cewek cantik yang baru kerja sebulan disini?”“Siapa? Yang seksi itu badannya yah. Yang bahenol.”“Hus! Emang sih cantik dan seksi. Tapi wajahmu jangan mesum begitu juga dong. Nah, cewek
“Jane, bagaimana bisa kau tahu apartemenku?” tanya Sam memperlihatkan wajah tidak percaya.Jane hanya tersenyum tenang, berdiri anggun dengan kedua tangan berlipat di dada.“Kenapa kita tidak berbincang di dalam aja?” ungkap Jane penuh percaya diri.Sam merasa kesal sekaligus bimbang. Meja yang indah dengan banyak menu terhidang membuat Sam terpaksa meminta Jane untuk ikut makan malam bersama.“Ayolah, Sam! Bukannya Indonesia negeri dengan penduduk yang ramah.”Seakan tak mampu menolak, Sam membiarkan Jane melangkah masuk dan duduk di sofa yang ada.“Apartemen yang nyaman. Apa kau tinggal sendiri, Sam?” tanya Jane yang terlihat memperhatikan setiap keadaan.Sam masih saja terdiam, matanya berfokus pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan.“Sialan! Bentar lagi pasti Baswara tiba. Bisa-bisa acara makan malam kali ini gagal karena keberadaan Jane. Padahal aku senga
Kana dan Soga dibawa ke sebuah tempat di kota kecil. Mereka melakukan perjalanan delapan jam lamanya. Menelusuri jalan sempit dengan banyak pohon tinggi di sekitaran. Jalanan yang menanjak dan udara yang sejuk seperti menuju puncak.“Bas, kita mau ke mana?” tanya Nesa yang merasa bingung akan jalan yang tengah mereka tuju.“Ke rumah kita,” sahut Baswara dengan senyuman.“Rumah kita? Maksudnya kamu beli rumah baru untuk kita?” tanya Kana yang merasa tak mengerti akan maksud ucapan Baswara.“Daddy ingin beri kejutan loh, Bun. Iya kan Dad?” sahut Soga yang kini mulai menikmati perjalanan. Bibirnya terus tersenyum. Sesekali ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin menyapu lembut rambut merahnya.“Soga apa kamu siap?” tanya Baswara.“Oke, Dad.”Mobil pun berhenti di te
Baswara tak sadarkan diri. Ia pun kini terbaring lemas di atas ranjang. Tertidur dengan wajah memucat dan pipi memerah. Bingung, Kana meminta dokter pribadi keluarga Soga untuk datang memeriksakan Baswara.“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti. Suhu tubuhnya pun normal, begitu pula dengan tekanan darahnya. Saya rasa Tuan Baswara hanya sedang kejang otot saat berenang. Yang kemungkinan karena tidak melakukan pemanasan sebelumnya,” jelas Dokter yang kemudian memberikan obat lalu permisi pulang.“Dad, rencana kita berhasil,” bisik Soga yang sedari tadi berdiri di samping Baswara. Sedangkan kana keluar kamar untuk mengantarkan dokter pulang.Baswara mengedipkan matanya. Lalu keduanya kembali berakting saat Kana memasuki kamar.“Soga ambilkan air hangat ya untuk Bunda,” ucap Soga yang dengan sengaja meninggalkan Baswara dan Kana berdua. Tak lupa ia me
Hari-hari dilalui dengan senyuman dan kebahagiaan. Kana tak menyangka kehdarian Baswara di rumah mereka mberhasil menyempurnakan hidup mereka. Pagi ini Kana telat bangun, betapa kagetnya ia saat melihat ke arah jam dinding.“Telat!” gumam Kana yang segera melompat dari tempat tidur. Ia merasa bingung sendiri harus ngapain. Terlebih Baswara sudah tak lagi ada di atas ranjang.“Tenang, tenangkan dirimu Kana. Basuh wajah dan ke dapur. Oke!” ucapnya yang kemudian lari ke kamar mandi.Kini Kana terduduk di depan cermin. Matanya terlihat sendu menatap wajahnya. Berulang kali jemarinya menyentuh bagian pipi dan mata.“Pucat banget yah, sembab gitu matanya. Apa aku pakai make up aja? Tapi aku enggak biasa pakai begituan. Aku ... ah, udah ah. Begini aja,” gumam Kana yang kemudian pergi meninggalkan kamar.Kakinya melangkah membawa menuju dapur, te
“Pagi sayang,” sapa Baswara yang kini tersenyum menatap wajah Kana.“Udah jam berapa?” tanya Kana yang seketika kaget melihat Baswara sudah mengenakan kemeja rapi.“Kamu bobok aja. Aku harus melakukan panggilan video ke klien. Jadi aku harus mengenakan kemeja yang rapi kan?” ucap Baswara.Kana hanya bisa tersenyum geli melihat keadaan Baswara saat ini. Mengenakan kemeja dengan celana olahraga di bawahnya. Kana hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Baswara.“Jam empat?” gumam Kana yang tak menyangka bahwa ini masih pagi buta.“Yah, maaf kalau ganggu tidur kamu,” ucap Baswara yang kini kembali membuka kemejanya. Ia pun menaiki ranjang dan kembali berbaring. Tangannya memeluk manja tubuh Kana dengan kepala yang bersanda menyentuh lengan Kana.“Aku masih ingin tidur,” sambungnya setela
Tiada hari tanpa kemesraan dan kini Kana mulai terbiasa dengan hal ini. Tak hanya melakukannya di kamar, bahkan kini mereka berani melakukannya di banyak tempat. Seperti yang terjadi saat ini.Kana yang tengah asik duduk di taman pun dikejutkan akan kedatangan Baswara. Ia hadir membawa nampan berisi buah dan segelas jus jeruk. Bak pelayan yang sedang melayani putri raja, Baswara merundukkan badan untuk menyerahkan nampan.Seakan memainkan peran, Kana pun dengan angkuhnya berucap, “Sulangi saya!”Baswara pun tersenyum. Ia meletakkan nampan dan duduk di samping Kana. Tangan kanannnya siap hendak menyulangkan. Namun, bukannya mengangakan mulut. Kana justru kembali berlakon. Ia menunjuk ke arah lantai seraya berkata, “Enggak ada pelayan yang duduk sebangku dengan tuan putri!”“Ba, baik, Tuan putri,” ucap Baswara yang kini bangkit dan bersiap hendak berdiri dengan kedua
Kana masih tidak menyangka ia telah menikah dengan Baswara. Hampir setiap malam ia tidak merasa tenang. Tidur dengan Baswara masih terasa asing untuk dirinya. Ia berulang kali menatap diri di cermin dengan jutaan perasaan yang bercampur aduk.“Kok aku jadi begini? Kenapa enggak bisa bersikap biasa aja?” gumamnya yang terus merasa ada sesuatu yang kurang dari wajahnya.Kembali teringat akan pembicaraan mereka di malam pertama. Saat itu Kana terlihat tak siap untuk tidur bersama Baswara. Sikapnya yang menjaga jarak dengan pria membuat ia bingung sendiri. Namun, ia sangat bersyukur karena Baswara sangat mengerti dirinya.“Kamu malu?” tanya Baswara sembari menatap genit Kana.“Ah, kamu udah makan?” tanya Kana mengalihkan pembicaraan.“Aku belum selera. Tapi aku mau makan yang ada di sini,” ledek Baswara. Ia semakin senang menggoda Kana
“Aku mengirim seseorang untuk bekerja di sana. Ia orang yang cerdas. Dengan mudah ia bisa mengetahui semua informasi tentang perusahaan. Membaca kinerja dan cara kerja mereka. Dari dia pula, aku tahu kamu dipaksa menikah dengan Arya.”“Kenapa kamu diam aja? Apa kamu mau aku menikah dengan Arya?” ungkap Kana kesal. Ternyata selama ia terjepit keadaan, Baswara mengetahui dan memilih diam. Betapa kesalnya ia. Padahal ia begitu berharap akan kedatangan Baswara untuk membantunya.“Jangan begitu, wajah itu membuat aku ingin menciummu lagi dan lagi,” ucap Baswara dengan tangan menyentuh dagu Kana.Wajah cemberut Kana pun seketika berubah menjadi malu. Pipinya memerah, entah sejak kapan Baswara menjadi lembut dan perhatian begini. Hingga membuat Kana bertanya-tanya dalam hati, “Ini Baswara kan?”“Nah, gitu dong. Kan manis.”Kana
Mulai terbiasa disentuh Baswara. Kini Kana tak lagi malu jika bermanja di rumah. Bahkan di setiap saat, keduanya terus lengket seperti perangko. Duduk di ruang tengah sambil membaca majalah, Baswara senang menjadikan paha Kana sebagai bantal. Begitu pula saat di taman, Baswara yang duduk bersandar pada bangku membiarkan lengannya menjadi sandaran Kana.Kebahagiaan yang Kana rasa ternyata juga dirasakan penghuni rumah lainnya. Mereka pun mulai mengatakan apa yang mereka ketahui tentang Arya.“Bun, maaf ya, Bun. Maaf banget. Sebenernya ...”Si Mbok pun membuka cerita. Ia berulang kali mendengar Arya menghubungi seseorang dan membahas harta yang akan didapatkan Soga. Arya berniat merubah jumlah itu dan membiarkan ia mendapat jatah cukup banyak setelah menjadi orang tua asuh Soga.“Kenapa Mbok baru cerita sekarang?” tanya Kana dengan nada sedikit kecewa. Meskipun begitu, ia tidak
Baswara memutuskan untuk tinggal di rumah Soga. Mengawali hari yang baru di sana. Sebagai keluarga, Soga sudah menerima Baswara sepernuh hatinya. Bahkan mereka begitu dekat dan kerap menghabiskan waktu bersama. Membuat Kana geleng-geleng kepala melihatnya.“Bun, Soga berangkat dulu yah!” ucapnya sembari memberi kecupan pada Kana. Lalu berjalan mendekati Baswara melayangkan tinju yang kemudian dibalas dengan tinju Baswara. Lalu tersenyum dan melambaikan tangan seraya berkata, “Bye, Dad!”Terperangah, Kana merasa tak salah mendengar. Hingga ia pun mendekati Baswara yang sedang duduk di meja makan.“Daddy? Soga panggil kamu Daddy?” tanya Kana dengan wajah polos dan lugunya.“Kamu salah dengar kali,” jawab Baswara dengan cueknya.“Enggak kok. Aku dengar jelas tadi dia bilang ‘bye,dad’.”&ldqu