“Oh, ternyata kamu, Sam. Sudah lama?” tanya Arya dengan sikap tak senang. Tatapannya menyala tajam dengan penuh keangkuhan.
“Enggak juga,” jawab Sam ramah yang masih saja berdiri kaku karena keberadaan Soga yang terus memeluknya.
“Oh ya, kamu kok bisa ....”
“Iya, Soga yang menghubungiku. Dia minta aku datang ke sini,” jelas Sam sambil tersenyum ke arah Soga. Kedua tangannya bersanding penuh kasih pada punggung Soga. Membuat Soga merasa nyaman.
Air mata masih saja mengalir dari mata Soga, kesedihannya pecah dan begitu sulit dibendung. Keadaan ini cukup membuat Arya tak nyaman. Mendengkus kesal dengan gigi yang tertutup rapat.
“Soga kemarilah!” pujuknya berharap Soga mendekatinya. Namun, Soga menolak dan menggelengkan kepala. Sikapnya aneh, dia terlihat takut kepada Arya.
Semakin kesal, Arya mencoba menahan emosinya. Terlihat tangannya mulai mengepal. Menyadari keberadaan si Mbo
Sam terlihat termenung di sepanjang jalan. Matanya menatap kosong jalanan sepi kota Jakarta. Seakan menerima beban berat, Sam berulang kali menghembuskan napas berat dari mulutnya. Ia terus menggelengkan kepala seperti tengah berupaya meyakinkan dirinya sendiri. Semua ini terjadi setelah ia berbicara empat mata dengan Soga.Saat itu, Soga masih saja enggan mengatakan apapun pada si Mbok. Mereka berdua duduk di taman dan hanya menatap kosong rerumputan hijau.“Tuan Soga jangan bersedih. Bunda enggak kenapa-kenapa kok. Bunda hanya kelelahan. Tuan Soga enggak boleh merasa bersalah yah,” ucap si Mbok sambil terus membelai lembut punggung Soga.Bukannya tenang, air mata Soga justru terpancing untuk kembali mengalir. Berusaha tegar, Soga segera menyeka air matanya.“Tuan lagi mikiri apa? Cerita aja ke si Mbok,” pujuknya kembali, berharap mendapat titik terang akan apa yang terjadi pada Soga.Tetapi semua itu tidak berhasil.
“Baswara?” ucap Sam dengan nada seakan tak percaya. Baru saja ia berharap bisa berbicara dengan sahabatnya dan tiba-tiba panggilan darinya pun datang.“Bas, bisa enggak kita ketemu sebentar aja!” ucap Sam dengan nada memohon.Bukannya jawaban yang ia dengar, justru terbahak Baswara yang terdengar begitu bahagia.“Bas, aku serius!” ucapnya kembali dengan sedikit nada kesal mengikuti.“Oke, oke, apa kau segitunya rindu sama aku?” tanyanya yang masih saja menanggapi dengan candaan.“Bas!” teriak Sam yang tak lagi mampu menahan kekesalannya. “Kamu tau enggak, apa yang terjadi selama kamu pergi?” ucapnya diiringi suara gigi yang tengah beradu.“Ya aku tau, Sam. Aku tau semuanya. Tenang saja! Aku tetap akan memantau dan kau tak perlu tau caraku memantau semuanya,” jawab Baswara penu
Kana terlihat kaget akan apa yang Soga ucapkan, namun ia memilih menjaga sikap agar tidak membuat Soga tertekan. Sedangkan Soga kembali merundukkan kepala, ada rasa takut dan bimbang yang kini hadir. Membuat lidahnya kelu untuk mengatakan yang begitu ingin ia sampaikan.“Sayang ... kok diam?” pancing Kana yang berharap Soga melanjutkan ucapannya.“Bunda sayang sama teman Bunda itu ya? Bunda mau nikah dengan dia ya?” tanyanya yang seketika membuat Kana bingung sendiri. Hingga ia tak sadar akan sosok pria yang Soga maksud.“Dia? Dia siapa?” tanyanya tanpa rasa bersalah.Soga hanya bisa menghela napas kecewa. Bibirnya mendadak monyong, ini pertanda bahwa perasaannya sedang tak nyaman.“Coba sekarang Bunda yang tanya. Apa yang lagi Soga pikirin?” ucapnya berharap Soga terbawa permainannya.“Mikirin Bunda,&rdqu
Masih tak habis pikir akan pengakuan Soga, Kana menjadi sulit tidur. Ia terus saja terbaring dengan mata yang menyala. Pikirannya bercabang luas saat ini.“Enggak, enggak mungkin Arya tega melakukan itu? Tapi ... Soga tidak pernah berbohong. Apa mungkin dia salah dengar? Enggak, mungkin Soga yang salah paham. Arya hanya berniat membantu Soga. Tapi ... kenapa kok terasa ada yang mengganjal yah,” gerutu Kana dengan tatapan cemas.Hatinya terus bergejolak, diiringi badai kegelisahan. Kekecewaan yang datang begitu tebal seperti tiupan puting beliung. Sesak, hingga nyaris membuat akalnya mencekik dirinya sendiri. Kana terjerat dalam situasi yang cukup menyulitkan. Bak memakan buah simalakama, jika meninggalkan menyiksa Soga. Namun, jika menyanggupi sama saja menyiksa diri.Kesedihan dan gejolak besar itu berhasil membuat Kana meneteskan air mata. Mengalir begitu saja tanpa tahu apa penyebabnya. Sedih, pastinya sed
Langit terus mendung, semendung hati mereka yang tengah dilanda kegundahan. Tiupan angin pun tak mampu menyejukkan hati yang gelisah. Bahkan air mata pun enggan menyapa, mungkin karena hati yang sudah sangat terluka. Rindu akan sosok Baswara membuat mereka hanya bisa diam tanpa suara. Terlebih mereka tahu seperti apa seorang Baswara.“Mi, kamu enggak merasa dingin di sini terus?” tanya Ayah Baswara. Sebuah baju hangat pun diselimutkan pada tubuh istrinya, berharap sang istri mendapatkan kehangatan dari sana.“Enggak, Pi,” sahutnya dengan suara lembut, diikuti gelengan kepala. Meski wajah itu kini tengah tersenyum, namun terlihat jelas sebuah kegundahan terpancar dibalik wajahnya.“Mami masih mikirin Baswara?” tanyanya yang mencoba menerka akan apa yang menjadi penyebab kegelisahan istrinya.“Yah, ibu mana yang enggak rindu jika anaknya pergi tanpa kabar,&rdqu
Kana telah kembali pulang setelah dua malam menginap di rumah sakit. Meski dia telah pulih, namun keadaan tubuhnya tidak benar-benar baik. Lebih banyak mengurung diri di kamar dengan alasan beristirahat, Kana terus memikirkan akan keputusan yang akan ia ambil. Diam dan merenung sambil menatap jendela, Kana tenggelam dalam masa lalunya. Masa dimana ia menjalaninya bersama Baswara.Perpustakaan kampus menjadi tempat kedua Kana setelah ruang kelas. Ia menjadi asisten penanggung jawab hingga sore hari. Berbaur dengan buku sudah menjadi rutinitasnya. Namun, ada yang berbeda semenjak Baswara datang ke sana. Harinya terasa beda dengan keberadaan Baswara yang terus menggoda dirinya. Ada saja tindakan Baswara yang membuatnya senang.Terjatuh menabrak lemari buku karena terus memandanginya, sampai salah tingkah. Meski tahu ada yang berbeda dari sikap Baswara kepadanya, Kana tetap bersikap biasa. Tak dapat dibohongi jika ia kecarian jika sehari saja ta
Soga berlari-lari setelah keluar dari mobil. Ia terus berlari masuk ke dalam kantor. Begitu tergesa-gesa hingga ia berulang kali nyaris menabrak karyawan yang ada. Wajahnya terlihat cemas, bahkan ia mencampakkan begitu saja tas miliknya karena dianggap memperlambat larinya. Soga terus berlari, meski dadanya mulai terasa sesak karena lelah. Matanya mengitari sekitar dengan mulut yang tak henti mengatakan, “Bunda, Bunda dimana?”Menjadi penyebab kericuhan, dua orang petugas keamanan pun ikut berlari mengejar Soga. Bukan berniat menangkap, namun justru membantu dirinya. Karena mereka tahu siapa Soga sebenarnya.“Tuan Muda!” teriak salah satu petugas keamanan berharap Soga berhenti berlari. Namun, yang terjadi justru Soga mengencangkan langkah kakinya. Ia memasuki lift dan menekan angka 3, lantai di mana biasa ayahnya bekerja.Kembali berlari setelah keluar dari lift, Soga dengan penuh percaya diri be
Tanggal dan tempat serta tamu undangan telah ditentukan. Begitu pula tempat pembelian gaun dan perhiasan. Meskipun begitu, Kana tetap diminta untuk datang dan memilih. Agar semua sesuai dengan keinginan Kana.“Kana, apa kamu ingin aku yang menemanimu ke galeri?” tanya Arya melalui gawainya.“Enggak apa, Arya. Kalau kamu sibuk, biar aku pergi bersama Soga,” ucap Kana dengan nada datar.“Okelah. Hati-hati ya sayang,” ucap Arya yang membuat Kana terdiam. Hanya bisa menghela napas berat seraya berucap, “Huh! Sepertinya aku harus mulai membiasakan diri mendengar ini.”Sepanjang perjalanan Soga hanya diam. Wajahnya cemberut dan terlihat kesal hingga enggan menatap Kana. Mencoba mengerti, Kana bersikap seperti biasa seakan tak terjadi apa-apa. Tetap ramah dan perhatian, Soga perlahan luluh. Ia pun mulai tersenyum dan banyak bicara ke Kana. Karena sesungguhnya
Kana dan Soga dibawa ke sebuah tempat di kota kecil. Mereka melakukan perjalanan delapan jam lamanya. Menelusuri jalan sempit dengan banyak pohon tinggi di sekitaran. Jalanan yang menanjak dan udara yang sejuk seperti menuju puncak.“Bas, kita mau ke mana?” tanya Nesa yang merasa bingung akan jalan yang tengah mereka tuju.“Ke rumah kita,” sahut Baswara dengan senyuman.“Rumah kita? Maksudnya kamu beli rumah baru untuk kita?” tanya Kana yang merasa tak mengerti akan maksud ucapan Baswara.“Daddy ingin beri kejutan loh, Bun. Iya kan Dad?” sahut Soga yang kini mulai menikmati perjalanan. Bibirnya terus tersenyum. Sesekali ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin menyapu lembut rambut merahnya.“Soga apa kamu siap?” tanya Baswara.“Oke, Dad.”Mobil pun berhenti di te
Baswara tak sadarkan diri. Ia pun kini terbaring lemas di atas ranjang. Tertidur dengan wajah memucat dan pipi memerah. Bingung, Kana meminta dokter pribadi keluarga Soga untuk datang memeriksakan Baswara.“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti. Suhu tubuhnya pun normal, begitu pula dengan tekanan darahnya. Saya rasa Tuan Baswara hanya sedang kejang otot saat berenang. Yang kemungkinan karena tidak melakukan pemanasan sebelumnya,” jelas Dokter yang kemudian memberikan obat lalu permisi pulang.“Dad, rencana kita berhasil,” bisik Soga yang sedari tadi berdiri di samping Baswara. Sedangkan kana keluar kamar untuk mengantarkan dokter pulang.Baswara mengedipkan matanya. Lalu keduanya kembali berakting saat Kana memasuki kamar.“Soga ambilkan air hangat ya untuk Bunda,” ucap Soga yang dengan sengaja meninggalkan Baswara dan Kana berdua. Tak lupa ia me
Hari-hari dilalui dengan senyuman dan kebahagiaan. Kana tak menyangka kehdarian Baswara di rumah mereka mberhasil menyempurnakan hidup mereka. Pagi ini Kana telat bangun, betapa kagetnya ia saat melihat ke arah jam dinding.“Telat!” gumam Kana yang segera melompat dari tempat tidur. Ia merasa bingung sendiri harus ngapain. Terlebih Baswara sudah tak lagi ada di atas ranjang.“Tenang, tenangkan dirimu Kana. Basuh wajah dan ke dapur. Oke!” ucapnya yang kemudian lari ke kamar mandi.Kini Kana terduduk di depan cermin. Matanya terlihat sendu menatap wajahnya. Berulang kali jemarinya menyentuh bagian pipi dan mata.“Pucat banget yah, sembab gitu matanya. Apa aku pakai make up aja? Tapi aku enggak biasa pakai begituan. Aku ... ah, udah ah. Begini aja,” gumam Kana yang kemudian pergi meninggalkan kamar.Kakinya melangkah membawa menuju dapur, te
“Pagi sayang,” sapa Baswara yang kini tersenyum menatap wajah Kana.“Udah jam berapa?” tanya Kana yang seketika kaget melihat Baswara sudah mengenakan kemeja rapi.“Kamu bobok aja. Aku harus melakukan panggilan video ke klien. Jadi aku harus mengenakan kemeja yang rapi kan?” ucap Baswara.Kana hanya bisa tersenyum geli melihat keadaan Baswara saat ini. Mengenakan kemeja dengan celana olahraga di bawahnya. Kana hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Baswara.“Jam empat?” gumam Kana yang tak menyangka bahwa ini masih pagi buta.“Yah, maaf kalau ganggu tidur kamu,” ucap Baswara yang kini kembali membuka kemejanya. Ia pun menaiki ranjang dan kembali berbaring. Tangannya memeluk manja tubuh Kana dengan kepala yang bersanda menyentuh lengan Kana.“Aku masih ingin tidur,” sambungnya setela
Tiada hari tanpa kemesraan dan kini Kana mulai terbiasa dengan hal ini. Tak hanya melakukannya di kamar, bahkan kini mereka berani melakukannya di banyak tempat. Seperti yang terjadi saat ini.Kana yang tengah asik duduk di taman pun dikejutkan akan kedatangan Baswara. Ia hadir membawa nampan berisi buah dan segelas jus jeruk. Bak pelayan yang sedang melayani putri raja, Baswara merundukkan badan untuk menyerahkan nampan.Seakan memainkan peran, Kana pun dengan angkuhnya berucap, “Sulangi saya!”Baswara pun tersenyum. Ia meletakkan nampan dan duduk di samping Kana. Tangan kanannnya siap hendak menyulangkan. Namun, bukannya mengangakan mulut. Kana justru kembali berlakon. Ia menunjuk ke arah lantai seraya berkata, “Enggak ada pelayan yang duduk sebangku dengan tuan putri!”“Ba, baik, Tuan putri,” ucap Baswara yang kini bangkit dan bersiap hendak berdiri dengan kedua
Kana masih tidak menyangka ia telah menikah dengan Baswara. Hampir setiap malam ia tidak merasa tenang. Tidur dengan Baswara masih terasa asing untuk dirinya. Ia berulang kali menatap diri di cermin dengan jutaan perasaan yang bercampur aduk.“Kok aku jadi begini? Kenapa enggak bisa bersikap biasa aja?” gumamnya yang terus merasa ada sesuatu yang kurang dari wajahnya.Kembali teringat akan pembicaraan mereka di malam pertama. Saat itu Kana terlihat tak siap untuk tidur bersama Baswara. Sikapnya yang menjaga jarak dengan pria membuat ia bingung sendiri. Namun, ia sangat bersyukur karena Baswara sangat mengerti dirinya.“Kamu malu?” tanya Baswara sembari menatap genit Kana.“Ah, kamu udah makan?” tanya Kana mengalihkan pembicaraan.“Aku belum selera. Tapi aku mau makan yang ada di sini,” ledek Baswara. Ia semakin senang menggoda Kana
“Aku mengirim seseorang untuk bekerja di sana. Ia orang yang cerdas. Dengan mudah ia bisa mengetahui semua informasi tentang perusahaan. Membaca kinerja dan cara kerja mereka. Dari dia pula, aku tahu kamu dipaksa menikah dengan Arya.”“Kenapa kamu diam aja? Apa kamu mau aku menikah dengan Arya?” ungkap Kana kesal. Ternyata selama ia terjepit keadaan, Baswara mengetahui dan memilih diam. Betapa kesalnya ia. Padahal ia begitu berharap akan kedatangan Baswara untuk membantunya.“Jangan begitu, wajah itu membuat aku ingin menciummu lagi dan lagi,” ucap Baswara dengan tangan menyentuh dagu Kana.Wajah cemberut Kana pun seketika berubah menjadi malu. Pipinya memerah, entah sejak kapan Baswara menjadi lembut dan perhatian begini. Hingga membuat Kana bertanya-tanya dalam hati, “Ini Baswara kan?”“Nah, gitu dong. Kan manis.”Kana
Mulai terbiasa disentuh Baswara. Kini Kana tak lagi malu jika bermanja di rumah. Bahkan di setiap saat, keduanya terus lengket seperti perangko. Duduk di ruang tengah sambil membaca majalah, Baswara senang menjadikan paha Kana sebagai bantal. Begitu pula saat di taman, Baswara yang duduk bersandar pada bangku membiarkan lengannya menjadi sandaran Kana.Kebahagiaan yang Kana rasa ternyata juga dirasakan penghuni rumah lainnya. Mereka pun mulai mengatakan apa yang mereka ketahui tentang Arya.“Bun, maaf ya, Bun. Maaf banget. Sebenernya ...”Si Mbok pun membuka cerita. Ia berulang kali mendengar Arya menghubungi seseorang dan membahas harta yang akan didapatkan Soga. Arya berniat merubah jumlah itu dan membiarkan ia mendapat jatah cukup banyak setelah menjadi orang tua asuh Soga.“Kenapa Mbok baru cerita sekarang?” tanya Kana dengan nada sedikit kecewa. Meskipun begitu, ia tidak
Baswara memutuskan untuk tinggal di rumah Soga. Mengawali hari yang baru di sana. Sebagai keluarga, Soga sudah menerima Baswara sepernuh hatinya. Bahkan mereka begitu dekat dan kerap menghabiskan waktu bersama. Membuat Kana geleng-geleng kepala melihatnya.“Bun, Soga berangkat dulu yah!” ucapnya sembari memberi kecupan pada Kana. Lalu berjalan mendekati Baswara melayangkan tinju yang kemudian dibalas dengan tinju Baswara. Lalu tersenyum dan melambaikan tangan seraya berkata, “Bye, Dad!”Terperangah, Kana merasa tak salah mendengar. Hingga ia pun mendekati Baswara yang sedang duduk di meja makan.“Daddy? Soga panggil kamu Daddy?” tanya Kana dengan wajah polos dan lugunya.“Kamu salah dengar kali,” jawab Baswara dengan cueknya.“Enggak kok. Aku dengar jelas tadi dia bilang ‘bye,dad’.”&ldqu