"Tia!" tiba-tiba ada yang memanggilku, membuat ku dan Bimo serentak menghentikan langkah, Aku menoleh ke sumber suara tersebut, sembari berjingkat kaget.
"Eh, Mas Rio," seketika lengkungan di bibirku merekah, melihat sosok yang sangat ku kenal. Lalu dia berjalan ke arah ku, dengan menampilkan senyumnya yang manis.
"Kamu abis dari mana Tia, sore-sore gini?" tanya Mas Rio.
Dia terlihat begitu berwibawa mengenakan baju Koko putih dengan bordir warna coklat, di bagian dada memanjang ke bawah, di padukan dengan celana bahan warna hitam, juga lengkap peci hitam di kepalanya.
Aku terpana melihat Mas Rio, yang tambah ganteng Pake baju Koko. Aku semakin suka sama dia.
Aku berfikir sejenak, apakah aku bisa jadian sama dia? Di suatu saat nanti, ketika aku sudah benar-benar dewasa.
Tapi, Bimo sel
"Mbak Tia, masuk!" tegas Bimo, sembari menggerakkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa aku harus segera masuk dan meninggalkan Mas Rio."Iya Bimo, ini juga Mbak mau masuk," sanggah ku mendelik, pada bocah gemuk berbalut kaos hitam dan celana Jogger se-dengkul. Aku menoleh ke arah Mas Rio yang berdiri menyedepkan tangannya di depan dada."Mas, aku masuk dulu ya! Takut Bimo marah," ucapku sembari meletakkan telapak tangan di samping mulutku. Mas Rio mengangguk seulas senyuman tipis yang ia tampilkan, entah senyum pahit atau mengejek. Karena aku di seret oleh Bimo masuk ke dalam."Iya," jawab Mas Rio melambai kecil di iringi menaikan alis tebalnya kilas."Bimo, jangan begini dong!" sergah ku menekuk wajah. Bimo menarik tangan kiriku menyeretnya ke dalam rumah."Mbak ke ganjenan sih!" tukas Bimo, kami berdua sampai di ruang tengah. Dia melepaskan tangannya dari lenganku."Bim, maksud kamu apa sih? Jangan kasar begini dong sama Mbak!" Aku menghempaskan bo
"Bim, ini udah masuk waktu Magrib. Kamu, udah solat 'Ashar belum?" tanyaku pada Bimo yang masih terlihat sedih. Dia menggeleng pelan."Belum Mbak," jawabnya lirih dan singkat."Ya Allah... Bimo, kok kamu belum solat sih! Ini udah lewat loh! Noh, liat jam!" Aku mendongak seraya menunjuk jari ke arah jam dinding."Lagian Mbak sih,""Lah, kok nyalahin Mbak?""Iya lah, Mbak yang salah, tadi aku bangun tidur langsung di ajak ke pangkas rambut, bukannya di suruh solat dulu, harusnya Mbak ingetin Adeknya!"Halaah ini bocah bikin jengkel aja, ingin ku plintir bibirnya yang ranum dan imut kaya buah Cherry."Kan kamu yang minta, Mbak cuma anterin ke sana! Kamu tuh selalu ngelak, ya udah sana mandi! Kamu nanti qodho ya! Mbak tunggu di mushola, kita sholat berjama'ah!""Ok Mbak, aku yang jadi imam ya!" ucap Bimo sembari menaik turunkan alisnya."Tumben." Aku mengernyit heran."Kan, sekalian latihan Mbak!" Bimo menyenggol bahu ku, denga
Selepas sholat Maghrib, dan di susul tadarusan membaca ayat suci Al-Qur'an, bersama Bimo hingga waktu isya pun tiba, kami berdua lanjut melaksanakan shalat isya dengan berjama'ah.Bimo sudah duluan masuk ke kamarnya, sementara aku masih merapikan tempat beribadah kami."Assalamualaikum?" ada yang mengucap salam dari depan pintu masuk."Waalaikumsalam," jawab ku cepat, dan menoleh seketika."Eh Om Doni, baru pulang Om?" tanyaku dengan seluas senyuman. Aku memang ramah kepada semua orang, tanpa terkecuali sehingga gampang untuk ku memberikan senyuman, pada siapapun."Iya, baru aja sampe. Tia, kita makan malam yuk!" ucap Om Doni."Ayo! tapi sebentar ya Om, aku mau panggil Bimo dulu!" jawabku.Gegas ku lepas mukena dan melipatnya setelah selesai sholat isya. Ku lirik sekilas jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan malam."Iya, Tia, Om duluan ya, nanti kamu nyusul, kita makan malam bareng! Om bawakan steak, kesukaan kamu dan Bimo,"
* * *"Tia, mana Bimo?" tanya Om Doni yang baru keluar dari kamarnya, kami berpapasan di ruang tengah, saat aku hendak melangkah menuju dapur."Gak tau Om," jawabku ketus aku masih dongkol dengan ucapan Bimo, yang mengatai aku fackgirl.Om Doni mengeryitkan dahi menatap ku penuh tanya."Kamu kenapa Tia, kok cemberut? Abis bertengkar ya sama Bimo." Om Doni menatapku penuh tanya, aku memutar bola mata, dan belum aku jawab pertanyaannya.Lalu kami berjalan beriringan, sampai di ruang makan."Gak, aku cuma kesal," jawabku sembari menghempaskan bokong ke kursi meja makan."Kesal kenapa?""Aku sebel, sama Bimo!""Hah kamu, jangan anggap serius omongan Bimo! Kalau bertengkar di dalam keluarga itu udah biasa, tapi kamu jangan keras kepala!""Maksud Om? Keluarga apa? Emang kami keluarga kan, kakak beradik,""Ya kan selebihnya, Bimo itu, calon imam kamu!" ucap Om Doni terkekeh.Aku mendelik kesal, uh... Rasany
Akhirnya waktu yang di nanti-nanti Om Doni pun telah tiba, dia sekarang sudah menyandang status sebagai seorang suami dari Tante Almira, seorang wanita cantik asal Jawa timur.Kini saatnya kami melepas kepergian Om Doni, dan meninggalkan rumah yang beberapa tahun ia tinggali, menemani dan mengurus aku juga Bimo."Bimo, Tia, Om pamit ya! Kalian baik-baik di rumah!" ucap Om Doni, kami berjalan sejajar dari dalam rumah ke arah luar."Serius ni Om, mau pindah dari sini?" tanyaku meyakinkan."Iya Tia, Om kan sudah bilang, kalau Om udah nikah, bakalan pindah dari sini, ke rumah baru, sama istri Om," ucapnya sambil menyeret koper besar berwarna hitam menuju pintu."Ya udah Om, kalau itu udah menjadi keputusan Om! Kami gak bisa menghalangi apa pun itu, yang jelas kami akan selalu mendoakan, yang terbaik buat Om dan Tante,""Tapi, jangan lupakan kami ya!" lanjut ku, seraya mengantar Om Doni sampai ke depan rumah."Iya Om, terus kalau Om Doni gak di s
*Aku tak berhasil menghalangi dan mencegah langkah Bimo, dia malah mengabaikan panggilan ku, dan pergi melengos begitu saja meninggalkan ku yang terpaku di teras menatap dia berlalu.Helaan nafas keluar dari mulutku. Aku tak mengerti sampai kapan Bimo akan bersikap seperti itu, mengapa dia se-posesif ini, ku kira semakin dia dewasa, sikapnya juga akan lebih dewasa.Namun, aku salah menduga, dia masih sama seperti dulu, malah sekarang lebih posesif lagi, bahkan dia melarang niat baik ku dan Mas Rio, untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan.Perasaan kesal pada sikap bocah itu sudah menggerogoti hati ku, lebih baik aku kembali ke ruang makan, untuk membereskan bekas kami makan, bahkan nasi pun belum masuk semua ke perut ku, nafsu makan ku mendadak hilang karena sikapnya yang membuatku muak."Neng," ucap Bi Ijah menghampiri ku, saat aku hendak membereskan piring beserta laluk pauk yang berada di meja, bahkan masih tertata dan m
*"Non, jadi den Bimo." Bi Ijah menggantung kalimatnya. Dia nampaknya mengerti dengan perkataan, yang aku ucapkan barusan. Aku duduk di kursi berhadapan dengan Bi Ijah."Iya Bi," jawabku pelan, seraya melipat kedua tangan di meja."Terus, perasa'an Neng Tia sama den Bimo gimana?" tanyanya serius. Aku menggeleng pelan sembari memajukan bibir bawah."Ya, aku sih, sayang sebatas Kakak sama adiknya, gak lebih, aku benar-benar bingung Bi, gak tau harus bagaimana menjelaskan pada Bimo, agar dia mengerti," ucap ku, menoleh padanya, satu tanganku terangkat dan menopang dagu."Maksud Eneng?" Bi Ijah menatapku dengan alis bertaut."Bimo, menginginkan," ucap ku ragu. Ku hela nafas pelan. Bi Ijah semakin serius menatapku, dengan tatapan penuh tanya."Kenapa Neng?" Dia memegang seraya mengusap punggung tangan ku."Aku bingung, harus berkata apa sama Bimo, yang jelas, setiap kali Mas Rio berniat ingin menyambangi rumah ini, bersama kedua
Ku ambil kembali kertas yang sama menggulung kusut di dekat ranjang, lalu duduk di tepiannya dengan kaki menjuntai, dan ku buka perlahan dengan tangan gemetar gulungan kertas tersebut, kemudian ku baca dengan seksama. "Mbak Tia, apa kamu masih ingat dengan janji mu, sama almarhum ibu? Kamu bilang, tak kan pernah meninggalkan ku untuk selamanya, dan akan selalu menjagaku sampai kapan pun. Tapi, kenapa kamu malah mencintai orang lain, dan berniat membina rumah tangga dengan Mas Rio, orang yang paling tak aku sukai, aku benci Mbak Tia!" Sontak membuat hati ini sesak sesaat setelah membacanya. Ku menengadahkan wajah seraya memejamkan mata, ku genggam erat kertas tersebut dalam pelukan. "Ma'afin Mbak Bim! Mbak cuma menganggap kamu sebagai adik, tak lebih, gak mungkin juga Mbak membalas cinta kamu, itu sangat mustahil!" Tak terasa air mata ku menetes, mengingat ucapan ibu dahulu, beliau meminta ku menemani dan m
Setelah beberapa saat aku membujuk Bimo untuk turun dan bergabung di acara yang begitu penting bagiku, adik lelakiku akhirnya mau juga. Kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tengah, tanpa ada suara dari bibirnya sama sekali. Bimo sepertinya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun, meski aku mengajaknya ngobrol, untuk mencairkan suasana."Ayo duduk sini, Bimo!" ajak om Doni menepuk karpet bludru warna coklat bermotif raja hutan, yang menjadi alas duduk. Setelah kami sampai di lantai dasar. Aku membimbing adikku untuk duduk di sisi lelaki berbaju Koko putih dan celana bahan tersebut."Makasih, Mbak," jawab Bimo datar."Iya, Bim. Mbak ke sana dulu, ya," kataku seraya menunjuk dengan dagu ke arah Tante Amira yang berada tak jauh dari Om Doni."Bimo, tak usah cemberut, gitu. Wajahmu, jelek, tau!" ejek Om Doni tersenyum tipis, seraya mengelus bahu Bimo.Sedikit merundukkan tubuh dengan sopan saat aku berjalan menuju Tante Amira, lantas aku duduk di samping perempuan berb
Setelah Mas Rio berpamitan untuk pulang, aku pun menyusul Bibi ke kamar Bimo, ku langkahkan kaki berpijak di lantai keramik berwarna putih, berdiri di ambang pintu seraya mengetuk pelan dan meminta izin Bimo, untuk ku masuk ke dalam kamarnya."Masuk Mbak," ucapnya, tanpa menoleh ke arah ku. Saat aku masuk ke dalam, dia membalikkan badannya menyembunyikan wajah dari tatapanku.Bibi mengangguk di barengi senyuman kecil, dan bangkit meninggalkan Bimo bersama ku. Kaki ku berderap mendekati bocah berambut agak gondrong belah samping ini, ku duduk di tepian ranjang menatap dia yang tertunduk dan masih membelakangi ku."Bim, gimana keputusan kamu, apa kamu mengizinkan Mas Rio untuk melamar Mbak besok malam?" tanyaku ragu. Tangan kiri ku menggapai pundaknya lalu mengusapnya dengan lembut.Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Iya Mbak, aku setuju moga bahagia ya! Ku harap, kamu masih mau menganggap ku adik!" ujar Bimo lirih. Bagaimana dia bisa m
POV Bimo."Mbak Tia, aku mencintai kamu," teriak ku, seraya masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu dengan membantingnya.Ku hempaskan tubuh ke atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup, ku peluk guling dan ku tutup wajahku dengan sebuah bantal. Sesak nafas ku saat ini yang ku rasa, melihat Mas Rio dan Mbak Tia semakin dekat.Terlebih tadi, ucapan Mas Rio yang meminta izin ku, untuk merestui hubungan mereka, hati ku terasa di hujam sebilah pedang, mendengar penuturan Mbak Tia yang ingin segera menikah dengan Mas Rio."Kenapa Mbak? Kenapa kamu tidak mengerti perasaanku, aku begitu mencintai mu," lirihku di sela isak tangis, dengan hati terasa teriris, perih, sunguh perih hati ini, dengan kenyataan yang ada di hadapanku, Mbak Tia akan menjadi milik orang lain, aku berusaha menepis perasa'an yang salah ini. Dan berusaha meredam rasa cinta ku pada Mbak Tia.Sedari dahulu aku memang mencintainya aku selalu berusa menghalangi hubungan Mba
"Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam
Ku ambil kembali kertas yang sama menggulung kusut di dekat ranjang, lalu duduk di tepiannya dengan kaki menjuntai, dan ku buka perlahan dengan tangan gemetar gulungan kertas tersebut, kemudian ku baca dengan seksama. "Mbak Tia, apa kamu masih ingat dengan janji mu, sama almarhum ibu? Kamu bilang, tak kan pernah meninggalkan ku untuk selamanya, dan akan selalu menjagaku sampai kapan pun. Tapi, kenapa kamu malah mencintai orang lain, dan berniat membina rumah tangga dengan Mas Rio, orang yang paling tak aku sukai, aku benci Mbak Tia!" Sontak membuat hati ini sesak sesaat setelah membacanya. Ku menengadahkan wajah seraya memejamkan mata, ku genggam erat kertas tersebut dalam pelukan. "Ma'afin Mbak Bim! Mbak cuma menganggap kamu sebagai adik, tak lebih, gak mungkin juga Mbak membalas cinta kamu, itu sangat mustahil!" Tak terasa air mata ku menetes, mengingat ucapan ibu dahulu, beliau meminta ku menemani dan m
*"Non, jadi den Bimo." Bi Ijah menggantung kalimatnya. Dia nampaknya mengerti dengan perkataan, yang aku ucapkan barusan. Aku duduk di kursi berhadapan dengan Bi Ijah."Iya Bi," jawabku pelan, seraya melipat kedua tangan di meja."Terus, perasa'an Neng Tia sama den Bimo gimana?" tanyanya serius. Aku menggeleng pelan sembari memajukan bibir bawah."Ya, aku sih, sayang sebatas Kakak sama adiknya, gak lebih, aku benar-benar bingung Bi, gak tau harus bagaimana menjelaskan pada Bimo, agar dia mengerti," ucap ku, menoleh padanya, satu tanganku terangkat dan menopang dagu."Maksud Eneng?" Bi Ijah menatapku dengan alis bertaut."Bimo, menginginkan," ucap ku ragu. Ku hela nafas pelan. Bi Ijah semakin serius menatapku, dengan tatapan penuh tanya."Kenapa Neng?" Dia memegang seraya mengusap punggung tangan ku."Aku bingung, harus berkata apa sama Bimo, yang jelas, setiap kali Mas Rio berniat ingin menyambangi rumah ini, bersama kedua
*Aku tak berhasil menghalangi dan mencegah langkah Bimo, dia malah mengabaikan panggilan ku, dan pergi melengos begitu saja meninggalkan ku yang terpaku di teras menatap dia berlalu.Helaan nafas keluar dari mulutku. Aku tak mengerti sampai kapan Bimo akan bersikap seperti itu, mengapa dia se-posesif ini, ku kira semakin dia dewasa, sikapnya juga akan lebih dewasa.Namun, aku salah menduga, dia masih sama seperti dulu, malah sekarang lebih posesif lagi, bahkan dia melarang niat baik ku dan Mas Rio, untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan.Perasaan kesal pada sikap bocah itu sudah menggerogoti hati ku, lebih baik aku kembali ke ruang makan, untuk membereskan bekas kami makan, bahkan nasi pun belum masuk semua ke perut ku, nafsu makan ku mendadak hilang karena sikapnya yang membuatku muak."Neng," ucap Bi Ijah menghampiri ku, saat aku hendak membereskan piring beserta laluk pauk yang berada di meja, bahkan masih tertata dan m