Setiyaki diem tapi dalam hati pasti memaki. Arjuna kena lemparan penggaruk kayu punya Bang Banyu dan dapet cipokan manja dari sandal jepit Ali ketika Arjuna tetap ngeyel untuk nyanyi. Namun setelah itu rumah kembali hening. Bang Banyu kembali ke habitat sedangkan Ali dan Setiyaki memilih untuk pergi. Katanya mau ke kafenya Setiaji, itung itung bantu manggang. Mas Abim juga pergi. Biasa, Mas Abim tuh sibuk banget.
Bosan dalam keheningan Arjuna memutuskan naik ke kamar dan berniat terlelap. Namun sebuah pesan membuat Arjuna mengerjap. Sebuah pesan dari Lia. Dia mengirim sebuah lokasi familiar bagi Arjuna. Kemudian sebuah foto tangan seseorang yang berdarah. Tidak jelas itu tangan milik siapa, namun dari ukuran jelas itu tangan perempuan. Yang Arjuna lakukan setelahnya hanya meraih hoodie hitam dan keluar setalah mengambil kontak motor maticnya. Tanpa pamit, setelah meneruskan pesan pada Saka dan Ecan, Arjuna langsung meluncur.
Panas. Bukan ha
***Ecan memukul kuat pipi kiri Rio. Membuat setetes darah meluncur lambat dari bibir itu. Arjuna tak tau apa yang harus dia lakukan pada Ecan dan Rio karena dalam hitung detik Raina ambruk di belakang. Saka menahan namun ada rasa benci mengalir lebih kuat dalam dirinya. Apa itu, Arjuna juga tidak tau. Dia hanya benci. Mengepal jemarinya kuat lantas berlari kearah rumah. Sayangnya ada banyak orang didalam. Yang kini menatap tajam Arjuna bersenjatakan seperti gagang sapu yang sudah patah. Sesekali memainkannya atau memukulkan kayu itu di lantai keramik berjamur. Seperti memberi tahu Arjuna jika kayu mereka bukan sejenis styrofoam. Arjuna berdecih."Babunya Rio? Maju satu satu. Kalo keroyokan gue jelas kalah."Arjuna memasang kuda-kuda. Satu orang maju, mengayunkan pukul yang dapat Juna tahan dengan tangan kirinya. Lantas kaki kosong Arjuna menendang lutut lawan dengan begitu keras. Jika Arjuna bisa fokus dengan kaki itu, dia yakin ada suara kretak yan
***Katanya iklas itu tidak ada. Mereka hanya terpaksa lantas lambat laun menjadi terbiasa. Untuk mengiklaskan satu orang, setidaknya seorang membutuhkan waktu lama untuk sembuh. Mencari banyak kesibukan dengan terus bergerak agar tak sempat dia memikirkan seorang yang telah menghilang.Laluna tidak pernah tau bagaimana rasanya kehilangan. Bagaimana seorang berharga dalam hidupnya pergi dari dunia untuk menyambut di dunia yang baru. Laluna juga tak tau, bagaimana rasanya harus melepas ketika satu satunya yang kita punya hanya mereka.Kini Luna duduk sambil terus menunduk. Dia ingin menangis, terlebih mengingat kecemburuan dan amarah tak berdasar pada Aji hari ini. Ketika objek yang membuatnya kesal ternyata telah berbaring di pembaringan ternyaman. Berlapis doa berselimut cinta. Luna menunduk dengan terus memainkan kuku jemarinya yang sedikit panjang."Lo nggak mau nyapa temen gue, Lun?" tanya Aji menyadarkan lamun. Lantas berikutn
***Luna tidak pernah ke kantor polisi selama hidupnya. Untuk sekedar mencari surat berkelakuan baik atau yang lainnya. Kantor polisi jika di otak Luna hanya berisi jeruji, orang orang jahat dan bapak polisi bertampang seram atau bahkan berkumis yang sering dia lihat di sinetron-sinetron Indonesia. Tapi ketika dia berada disana, ada beberapa orang yang menarik perhatian Luna. Salah satunya adalah seorang yang Aji temui. Seorang laki laki dengan tubuh sedikit lebih besar dari Aji. Tampangnya seram dan terlihat lebih tegang. Jujur Luna takut, tapi ketika cowok itu menyapa Luna yang sedari tadi jadi ekor Aji, dia tiba tiba tersenyum. Membuat hati Luna tiba tiba menghangat. Ganteng banget, cuy."Kak Juna mana, Mas?""Belum bisa di temui. Bentar, kita tunggu dari pihak kepolisian dulu.""Bang Banyu nggak bisa kesini?""Banga Banyu ke Bandung sore tadi. Ngejar dosennya."Luna tidak paham siapa mereka. Tapi dari
***Raina yakin, delapan puluh dari seratus persen orang pernah berpikir untuk menghilang. Tidak terikat dengan dunia, tidak terpatri pada orang orang. Hanya menghilang. Alasannya berbeda beda. Sebagian agar mereka dicari, agar mereka merasa dibutuhkan lantas dirindukan, atau hanya sekedar menghilang. Tidak peduli untuk apa itu.Detik dimana cahaya menerobos retinanya, gerak tangannya dan kedip singkatnya, Raina mengeluh lelah. Karena Raina tidak pernah berharap bisa kembali."Tolong! Saya hanya mau lihat keadaan Raina."Samar, sebuah suara terdengar. Tidak jelas itu suara siapa."Anda siapa? Anak saya butuh istirahat."Kemudian suara lain terdengar tak kalah samar."Sebentar saja." kemudian ganti sebuah isak. Entah, mendengar isak itu Raina ingin ikutan menangis. Air matanya meleleh lambat membasahi bantal. Namun untuk sekedar mengelap lelehan itu, tangannya begitu berat."Gara gara anak and
***Dingin. Itu gambaran yang tepat untuk malam ini. Lebih dari dingin, Arjuna begitu khawatir. Apakah Satria dan Saka berhasil membawa Raina dan Lia ke rumah sakit. Apakah semua berjalan lancar dan apakah semua baik baik saja. Pikiran itu kini lebih mendominasi daripada perbuatannya beberapa jam lalu. Melayangkan nyawa seseorang.Arjuna meringkuk di sudut kamar sel. Dengan tangan menggigil dan dan perih yang begitu menganggu."Arjuna? Ada yang mau bertemu." Panggilan itu. Sudah menjadi panggilan kesekian kalinya. Tadi dia menolak banyak tamu termasuk Mama. Karena dia begitu tidak kuasa menatap mata berkacanya. Mata kecewanya dan sedih yang akan membuat Arjuna semakin merasa bersalah.Arjuna pada akhirnya berdiri. Setidaknya mencari udara dari pengap dan dingin ruang tahanan. Arjuna berjalan perlahan, menuju sebuah ruang kecil dengan pembatas kaca di depannya."Lo belum di dakwa dan belum sepenuhnya masuk penjara." Dia
***Rindu itu apa? Khawatir itu apa? Sayang itu apa? Raina punya banyak tanya, namun sayangnya mulut itu enggan bersuara ketika dua orang sedang duduk saling berhadapan di sofa ruang rawat Raina. Dua orang itu saling meneguk kopi dengan ketegangan yang cukup menghawatirkan. Papa dan Mama nya. Yang sedari tadi mendiskusikan banyak hal tentang kelanjutan hidup Raina setelah ini.Iya, hidup Raina. Mulai kini mereka yang akan mengaturnya.Semalam, Papa dan Mama menawarkan dua pilihan. Namun diantara keduanya, semua sama sama meninggalakan apa yang sudah Raina punya. Teman, nyaman, cinta. Raina tak punya pilihan untuk mempertahankannya. Maka malam ini kepala Raina penuh dengan tanya. Apakah semua akan menjadi lebih baik jika ditinggalkan?"Pah?" Raina berkata. Dengan nada datar."Iya?""Boleh ngomong bentar?""Kamu udah punya keputusan?"Kemudian Raina menghela napas. Tidak tahu, karena kedu
***Satu satunya cara untuk berdamai dengan rasa sakit adalah iklas. Tapi sayangnya, iklas ada karena hati terlalu lama terluka. Membiarkan luka itu terus terbuka hingga pada akhirnya terbiasa.Kemudian rasa sakit yang paling terasa di depan mata adalah sebuah kata pisah.Raina tak tau kenapa bisa secepat itu Papa membuatkan paspor untuk Raina. Juga kenapa perjalanannya ke California bisa segampang itu. Urusan visa, tempat tinggal, dan segala tetek bengeknya, kenapa bisa hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.Raina belum betulan sembuh pasca operasi di bahunya, juga belum betulan sembuh tentang mentalnya. Namun dia harus dihadapkan dengan cerita baru setelah ini. Selama kuranglebih dua minggu setelah dirinya keluar dari rumah sakit, tak ada kabar apapun dari teman temannya. Saka, Ecan, Lia juga Arjuna.Hanya seorang teman yang entah kenapa selalu hadir dan duduk menemaninya ngobrol berteman secangkir kopi di depan rumah. Seorang yang
**Sidang keputusan akhirnya berakhir. Tak ada yang berdiri bertepuk tangan, dan lucunya tak ada seorang yang menunduk menyesal. Tak ada tawa pun tangis. Karena yang Raina lihat dan dengar hanya gamang. Arjuna menunduk dengan raut tidak terlihat. Digiring setelah sidang keputusan selesai. Mama dan seluruh keluarga Arjuna juga langsung bangkit. Satu persatu menyisakan Raina dan Satria yang masih menunduk tak saling bicara."Ini terakhir ya, Sat?" Raina berkata lirih."Gue nggak berani memutuskan. Tapi keadaannya bilang begitu.""Berarti gue harus ngomong sama dia."Dan pada akhirnya Raina berhadapan dengan Arjuna. Cowok itu menatap tunduk Raina yang dalam. Dibataskan meja dalam satu ruang, Arjuna tersenyum semu. Sedang Raina memutuskan untuk tetap tenang."Hai, Rai. Gimana keadaan lo?"Raina mendongak. Menatap senyum Arjuna yang masih sama. Masih sama seperti awal mereka bertemu.
Arjuna PoV"Kabar gue baik," katanya.Gue tersenyum canggung. Cowok tadi berdiri, ke tempat yang gue lihat seperti dapur umum lantas mulai sibuk dengan dua gelas disana. Gue masih mengamati, bagaimana cowok itu yang tudak berubah sama sekali. Masih hobi mengenakam celana pendek dan kaos kebesaran. Perutnya masih sedikit menggbul seperti dulu, dan rambut sedikit ikal coklatnya juga tidak berubah sama sekali. Gue menelan saliva ketika cowok itu menyajikan kopi hitam untuk gue."Nggak usah canggung," ujarnya. Membuat gue yang tadinya ingin menyesap kopi jadi urung. Meletakkan itu kembali."Lo sendiri juga canggung." Gue berkata pelan. Mencoba menjadi tenang seperti gue yang dulu. Gue beberapa tahun lalu. "Sorry, mungkin karena gue.""Iya. Semua emang karena lo. Seandainya enggak, lo tau kita bakal jadi apa sekarang?"Gue diam. Meski jujur gue nggak paham dengan apa yang barusan gue dengar."Gue m
Arjuna's PoVSemarang tidak buruk. Atau gue akan bilang cukup menarik. Lebih panas dari Jogja dan sedikit lebih ramai. Rumah nenek Jeli ada di bagian atas Semarang. Daerah Tembalang atas. Perjalanan kesana tidak jauh, hanya sedikit menanjak. Namun suguhan pemandangan Semarang cukup menarik.Kami sampai di sebuah rumah tua bergaya klasik. Dengan joglo dan ukiran tiang rumah yang masih kental jaman dulu. Gue tebak, kalo rumah ini di jual, bisa menghasilkan milyaran rupiah untuk beberapa pecintanya. Belum bagaimana pemandangan semarang yang bisa sedikit terlihat dari sini."Mau teh atau sirop, Jun?" Jeli bertanya pada gue. Gue memang sedang duduk di bawah pohon mangga dimana dibawahnya ada seperti dipan kayu yang sudah cukup berumur. Tapi sejuk dan pemandangan Semarang tetap menarik bagi gue."Sirop ada? Pake es batu juga ada?""Ada. Tunggu aja situ."Semarang dan bagaimana cerita itu akan dimulai. Gue menghela napas pan
Arjuna PoVJogja menyenangkan. Ada banyak hal yang membuat gue lupa tentang rasa sakit. Banyak juga hal positif yang bisa gue dapat. Gue menjadi mahasiswa seni rupa sekarang. Iya, sebelum DO gue memang bukan mahasiswa seni. Tapi sekarang gue menyukai seni. Kalian tau, melakukan hal yang kita sukai jauh lebih indah dari melakukan hal yang bisa dapat banyak uang. Wait. Gue jadi kasihan sama Ali.Gue sedang berdiri di depan sebuah tembok kosong. Banyak cat di sekitar gue juga banyak orang, banyak teman."Arjuna, tembok yang itu lo urus ya? Gue sama Kevin ke tembok sebelah. Peserta yang disana mendadak out. Kosong. Kan sayang kalo nggak digambar."Gue ikut mural. Karena gue mahasiswa seni? Enggak juga. Setelah masuk seni, gue jadi suka gambar. Kata temen gue, gambar itu bisa disebut healing. Wait. Kawan gue. Sebentar."Kevin misah. Sekarang kampus jadi dua tim yang ikut. Gue sama lo dan Kevin sama Rangga berdua." Jeli berkata tenang.&
Saka PoV***"RAJENDRA!! KATA IBUK KAMU DISURUH PULANG. CEPETAN KATANYA!" itu teriakan yang gue dengar. Sumpah, nyaring banget."BENTAR!!" dan itu jawab gue nggak kalah ngegas. Gue masih asik nguyah jambu biji ketika cewek yang tadi berteriak menyodokkan gagang sapu kearah gue."Eh, sianjing. Jangan gitu. Nanti gue jatuh.""Kamu tuh disuruh beli bawang. Balik dulu baru maling jambu."Informasinya gue nggak lagi maling. Pohon jambu yang sekarang gue panjat tidak berpemilik. Atau, sebenernya ada, tapi goib. Soalnya di depan rumah kosong.Oh iya. Bawang. Gue belum beli. Gue turun dari pohon setelah metik satu buah jambu lagi, lantas berjalan ke toko kelontong yang jual bawang. Cewek bersuara nyaring tadi masih ngikutin."Kamu betulan nggak mau ke Jakarta?"Pertanyaan secara tiba-tiba. Gue menggigit jambu kecil kemudian mengunyahnya singkat."Kan gue udah jadi karyawan tetap disini.
Raina PoVHalo, gue Raina. Diluar hujan dan cukup dingin. Gue hanya ingin bertanya bagaimana kabar kalian. Semoga baik. Setelah pada akhirnya gue pergi sangat jauh, gue menemukan banyak hal baru. Tentang pertemanan, tentang luka, tentang cinta dan sesuatu yang paling gue cari, tentang pulang. California tidak begitu buruk. Gue melewati hari dengan baik-baik saja. Gue bahkan bisa jalan-jalan, sengaja tertidur di teras minimarket atau keliling dengan angkutan umum hingga gue lupa dimana gue berada.Makanan di negara ini berbeda dengan Indonesia, itu salah satu hal yang gue rindu. Iya, salah satu doang. Yang lainnya? Gue merindukan seseorang.Penerbangan gue di jam 10 pagi, dan disini gue berada. Duduk seorang diri menatap tiket penerbangan dan, oh, ponsel gue bergetar. Dari Mama."Halo, Ma." Gue menyapa dengan riang. Suara diujung sana tak kalah riang. Ah, gue jadi rindu."Udah mau terbang?" tanyanya."Bentar lagi. De
***"Ati-ati, Rai. Kabar kabar ke kita kalo ada apa-apa." Saka berkata pelan. Menatap mata Raina yang berkaca meski dengan sekuat tenaga dia menyembunyikannya."Jangan lupa sama gue. Apalagi seblak jeletot buatan gue. Kalo lo kangen, bilang aja. Nanti gue kesana." Ecan ikutan berkomentar."Halah, kayak punya duit aja lo." Saka mengejek. Sedang Raina malah terkekeh kecil."Jual ginjal dulu nanti." Kelakarnya."Ngaco, lo." Raina memukul ringan bahu Ecan. "Cuma sampe selesai kuliah. Nanti gue langsung pulang.""Lebaran pulang, dong. Nanti gue bawain nastar dari Bandung.""Bedanya nastar Bandung sama Jakarta apa?" Lia bertanya."Sama kayaknya. Kalo yang di Bandung sih buatan nyokap."Raina tersenyum. Iya, dia akan rindu.Jam keberangkatan pesawat Raina masih satu jam lagi. Dia masih harus menunggu hingga waktu itu tiba. Dan waktu menunggu yang orang orang lakukan menjadi beda
**Sidang keputusan akhirnya berakhir. Tak ada yang berdiri bertepuk tangan, dan lucunya tak ada seorang yang menunduk menyesal. Tak ada tawa pun tangis. Karena yang Raina lihat dan dengar hanya gamang. Arjuna menunduk dengan raut tidak terlihat. Digiring setelah sidang keputusan selesai. Mama dan seluruh keluarga Arjuna juga langsung bangkit. Satu persatu menyisakan Raina dan Satria yang masih menunduk tak saling bicara."Ini terakhir ya, Sat?" Raina berkata lirih."Gue nggak berani memutuskan. Tapi keadaannya bilang begitu.""Berarti gue harus ngomong sama dia."Dan pada akhirnya Raina berhadapan dengan Arjuna. Cowok itu menatap tunduk Raina yang dalam. Dibataskan meja dalam satu ruang, Arjuna tersenyum semu. Sedang Raina memutuskan untuk tetap tenang."Hai, Rai. Gimana keadaan lo?"Raina mendongak. Menatap senyum Arjuna yang masih sama. Masih sama seperti awal mereka bertemu.
***Satu satunya cara untuk berdamai dengan rasa sakit adalah iklas. Tapi sayangnya, iklas ada karena hati terlalu lama terluka. Membiarkan luka itu terus terbuka hingga pada akhirnya terbiasa.Kemudian rasa sakit yang paling terasa di depan mata adalah sebuah kata pisah.Raina tak tau kenapa bisa secepat itu Papa membuatkan paspor untuk Raina. Juga kenapa perjalanannya ke California bisa segampang itu. Urusan visa, tempat tinggal, dan segala tetek bengeknya, kenapa bisa hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.Raina belum betulan sembuh pasca operasi di bahunya, juga belum betulan sembuh tentang mentalnya. Namun dia harus dihadapkan dengan cerita baru setelah ini. Selama kuranglebih dua minggu setelah dirinya keluar dari rumah sakit, tak ada kabar apapun dari teman temannya. Saka, Ecan, Lia juga Arjuna.Hanya seorang teman yang entah kenapa selalu hadir dan duduk menemaninya ngobrol berteman secangkir kopi di depan rumah. Seorang yang
***Rindu itu apa? Khawatir itu apa? Sayang itu apa? Raina punya banyak tanya, namun sayangnya mulut itu enggan bersuara ketika dua orang sedang duduk saling berhadapan di sofa ruang rawat Raina. Dua orang itu saling meneguk kopi dengan ketegangan yang cukup menghawatirkan. Papa dan Mama nya. Yang sedari tadi mendiskusikan banyak hal tentang kelanjutan hidup Raina setelah ini.Iya, hidup Raina. Mulai kini mereka yang akan mengaturnya.Semalam, Papa dan Mama menawarkan dua pilihan. Namun diantara keduanya, semua sama sama meninggalakan apa yang sudah Raina punya. Teman, nyaman, cinta. Raina tak punya pilihan untuk mempertahankannya. Maka malam ini kepala Raina penuh dengan tanya. Apakah semua akan menjadi lebih baik jika ditinggalkan?"Pah?" Raina berkata. Dengan nada datar."Iya?""Boleh ngomong bentar?""Kamu udah punya keputusan?"Kemudian Raina menghela napas. Tidak tahu, karena kedu