Mentari pagi menyelinap lembut melalui tirai jendela dan menyapaku yang masih terbaring lemah. Dua hari telah berlalu sejak operasi dan hari ini aku direncanakan untuk pulang dari rumah sakit Mount Elisabeth, Singapura.Rencananya aku akan menjalani masa pemulihan selama seminggu di Singapura, pertimbangannya untuk memudahkan kontrol luka operasi dan keadaanku, kemudian sisa 3 minggu lainnya akan ku habiskan di rumah."Apa hari ini kau sudah siap untuk pulang?""Ya Aku benar-benar ingin kembali ke apartemen dan menghilangkan kecemasan yang ada di hatiku, tidur di rumah sakit bukan bagian rencana hidupku." Jessica tertawa mendengarkanku. "Tapi kok terlihat nyaman dalam 2 hari terakhir...?""Itu karena aku berusaha menyamankan diri." Sahabatku semakin tertawa setelah mendengarkan candaanku. "Tapi bunga mawar putih kemarin itu dari siapa...""oh itu dari Tuhan Fadli... Bunganya masih segar jadi aku mau minta vio untuk membawanya ke apartemen dan meletakkannya ke dalam vas!""Oh begitu
Pesawat mendarat di bandara dengan lancar, masih didorong kursi roda, Jessica membantuku. Tuan Fadli juga ada bersama rombongan kami bersama asisten dan penjaganya. Kupikir kami akan berpencar di bandara, ternyata dia sudah menyiapkan mobil jemputan yang luas untuk mengantarku ke rumah. "Saya tidak masalah naik taksi Pak!" Aku merasa tidak enak terlalu banyak bergantung padanya, jadi di depan para stafnya Aku berusaha untuk tidak terlalu banyak mengambil kesempatan dan manfaat. "Tidak saya akan memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat!"pria tampan itu membukakan pintu mobil untukku lalu membantuku untuk naik, memegang tanganku sementara Jessica memegang sisi lainnya. Aku diperlakukan seakan aku ini adalah nyonya atau istrinya sendiri. Sebenarnya keadaan itu membuatku tersanjung tapi tetap saja aku harus tahu diri. Tidak boleh ada perasaan terlalu bahagia atau berekspektasi tinggi sebab aku tahu aku siapa.*Begitu tiba di rumah,Pintu gerbang terlihat tertutup, itu artinya m
Entah berapa lama aku pingsan tapi saat terbangun dan samar-samar mengumpulkan kesadaranku, aku melihat bayangan Jessica yang masih mengenakan baju pink dan kacamata di atas kepalanya. Ada Tuan Fadli juga flora dan beberapa penjaga mereka yang masih ada di sekitarku."Aku kembali karena kau tidak kunjung menjawab teleponku!"jawab Mas Fadli sambil berjongkok ke arah sofa di mana aku berbaring Aku yang masih kaget dan mengambang dengan keadaan yang mengejutkan terutama dipandangi oleh mereka semua dengan keadaan khawatir merasa sedikit bingung. "Sebenarnya aku tidak tahu sejak kapan aku pingsan?""Aku menelponmu dari mobil untuk memastikan kau baik-baik saja tapi 15 menit menelpon dan terus mengulangnya kau tidak punya mengangkatnya. Kukira aku harus kembali dan memeriksa keadaanmu dan ternyata benar saja kau terkulai lemas di atas kursi ini!""Lalu suamiku?""Ada tuh!"Mas fadli menyingkir sedikit dari hadapanku dan menunjukkan Mas Husein yang masih berdiri di dinding antara koridor
"baiklah jangan kamu ulangi lagi perbuatanmu! Mas tahu aku sedang sakit jadi aku mohon untuk tidak terlalu menekanku.""Aku tidak ingin kekecewaanmu menjadi tolak ukur yang akan membuat kita kehilangan cinta dan menghancurkan rumah tangga kita!""Aku tetap kecewa dengan kebohonganmu tapi aku ingin fokus pada kesembuhanku!""Aku datang dari rumah Rania dan baru selesai bicara sesuatu padanya!""Tidak usah ceritakan padaku apa yang kau bicarakan pada istri kedua! Aku tidak mau tahu apapun!" "Ali-alih mengutus wanita yang bukan mahram di dalam rumah kita bagaimana kalau aku suruh Rania yang datang ke sini dan mengurusmu?"Tentu saja aku yang tengah menatap ke jendela tiba-tiba menoleh ke arahnya dan memandangnya dengan tajam. Aku terkejut dengan ide suamiku dan aku tentu saja tidak bisa menerimanya. Bagaimana dengan santainya dia menawarkan kehadiran madu di rumah ini. Meski wanita itu berniat untuk merawatku tetap saja aku tidak sudi berpandangan dengannya. Jangankan berakrab ria, bah
"Kau lihat itu Aliyah... kau lihat bagaimana pembantu itu melecehkanku!"Mas husain menatap diri ini dan keluargaku dengan tatapan yang sangat murka. Kali ini dia benar-benar serius dalam ekspresi dan ucapannya. "Jika sampai aku kembali dan wanita ini masih ada disini! Aku yang akan angkat kaki!""Nak ..."Abi mencoba membujuk menantunya tapi mas Husein langsung meraih kunci mobil dan pergi. "Aku tidak tahan lagi dan tidak menerima pelecehan dalam bentuk apapun!"pria itu beringsut pergi sambil membuka pintu dengan kasarnya. "Ada apa dengan Mas Husein?" tanya adikku. Kelihatannya keluargaku belum tahu bahwa suamiku sudah menikah lagi dan bahkan sudah punya anak. Tak bisa kubayangkan bagaimana reaksi umi dan bagaimana kesedihan ayahku jika tahu anak sulung mereka di poligami. Pasti orang tuaku akan bertambah sedih dan jadi sakit karena khawatir. Aku yang baru pulang dari Singapura telah menambah kekhawatiran di hati mereka dan aku tidak sanggup menambah kepusingan lagi."Maafkan saya
"Kau lihat itu Aliyah... kau lihat bagaimana pembantu itu melecehkanku!"Mas husain menatap diri ini dan keluargaku dengan tatapan yang sangat murka. Kali ini dia benar-benar serius dalam ekspresi dan ucapannya. "Jika sampai aku kembali dan wanita ini masih ada disini! Aku yang akan angkat kaki!""Nak ..."Abi mencoba membujuk menantunya tapi mas Husein langsung meraih kunci mobil dan pergi. "Aku tidak tahan lagi dan tidak menerima pelecehan dalam bentuk apapun!"pria itu beringsut pergi sambil membuka pintu dengan kasarnya. "Ada apa dengan Mas Husein?" tanya adikku. Kelihatannya keluargaku belum tahu bahwa suamiku sudah menikah lagi dan bahkan sudah punya anak. Tak bisa kubayangkan bagaimana reaksi umi dan bagaimana kesedihan ayahku jika tahu anak sulung mereka di poligami. Pasti orang tuaku akan bertambah sedih dan jadi sakit karena khawatir. Aku yang baru pulang dari Singapura telah menambah kekhawatiran di hati mereka dan aku tidak sanggup menambah kepusingan lagi."Maafkan saya
Seluruh anggota keluarga mencecar diri ini dengan pertanyaan. Kesedihan ayah, pertanyaan umi serta kegemasan adik-adikku membuatku sulit untuk menjawab mereka satu persatu. Tak ada yang mampu kukatakan selain hanya menarik nafas panjang dan menggelengkan kepalaku. "Aku juga tidak menyadari kalau itu sudah terjadi selama 3 tahun.""Dan mereka punya anak?"tanya Lusi adikku. "Iya seorang anak perempuan yang diberi nama Aisyah, Dia berumur 3 tahun dan cantik sekali.""Lalu mba sebagai apa dalam hal ini?"tanya Lusi yang terlihat mulai tidak sabar"Aku tidak tahu Lucy, selama ini aku sakit dan hanya fokus pada pengobatanku. Kira suamiku hanya mencintaiku dan setia tapi ternyata... Aku benar-benar tidak menyadarinya," jawabku sampai menutup wajah dengan kedua tangan."Tapi ada suatu masalah laki-laki akan terlihat memiliki gelagat aneh. Apa mba tidak menyadarinya?""Suamiku terlalu sempurna untuk dicari cela dan keburukan. Dia sangat baik, selalu ada saat aku membutuhkan dan sebagian besa
"sebaiknya aku ikut saja Abi, aku ingin menengahi mereka berdua agar konfliknya tidak semakin meruncing dan berujung saling tuntut di kantor polisi!""Tapi kau masih sakit, keadaanmu lemah dan habis operasi!" "Semua ini berakar dari saya, saya akan menangani mereka." "Baiklah kalau begitu!" Abi dan umi yang tidak punya pilihan, segera menyuruh adik-adikku untuk menolong diri ini bersiap-siap dan segera meluncur ke kantor polisi. Setelah 10 menit di perjalanan kami tiba di resort kuota dan langsung bertanya kepada petugas yang sedang piket, pedang dua orang pria yang baru saja bertengkar di jalan dan diamankan oleh petugas."Oh iya Bu...ada di ruang pemeriksaan koridor sebelah kiri."Tertatih dibantu oleh adikku Aku menuju ke sana, begitu loh pintu dibuka kulihat dua lelaki itu sedang duduk berhadapan di tengahi oleh tiga orang anggota polisi. Ada juga asisten Tuan Fadli dan sopirnya juga ikut bersama dia. "Eh, kamu kok harus datang ke sini?" tanya Mas Fadli sambil berdiri dari tem
Demi kenyamananku dan kenyamanan keluarga, kukira aku harus segera pindah rumah. Mas Husein tahu alamat orang tuaku jadi dia bisa mencariku sewaktu-waktu. Oleh karena itu penting bagiku untuk mengamankan diri agar aku tak lagi bertemu dengannya, agar tak ada kesalahpahaman pada istrinya juga isu-isu tak sedap yang bisa dibicarakan oleh para tetangga. Pagi ini aku terbangun, dan berniat untuk membicarakan keputusanku pada ayah dan ibuku. Mereka yang seperti biasa duduk di meja makan dengan segelas kopi menatap kedatanganku yang sudah rapi, siap pergi ke kantor dan menyambut hari yang baru. "Aku berniat untuk menyewa apartemen dan pindah ayah. Kejadian semalam telah membuatku berfikir dan kurasa kita tidak nyaman kalau Mas Husen terus datang.""Kenapa kamu yang harus menyingkir dia yang harus di ultimatum untuk tidak perlu datang lagi ke sini. Jangan kamu yang menghindar dari rumah orang tuamu.""Selagi aku ada di sini dia akan terus mencari cara untuk menemuiku. Jadi pilihan terbaikn
"Kau! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya ayah sambil berusaha melindungiku dan menarik tanganku dari tangannya. "Aku hanya mencari Alya, ayah!""Kenapa kamu mencari anakku, dia sudah bercerai denganmu. Kenapa kau datang ke sini, apa kau tidak takut istrimu akan curiga dan kau akan tercoreng rasa malu?""Untuk apa aku merasa malu Alya mantan istriku, dan sekalipun kami bercerai, masih mungkin untuk bisa bersama jika aku meyakinkannya untuk rujuk.""Cih, Siapa yang mau rujuk denganmu. Daripada rujuk denganmu aku lebih suka dengan kesadaran penuh menguras air laut," jawabku sambil tertawa.Dia tercengang dan menatapku dari atas ke bawah, terkejut juga dirinya melihat penampilanku yang berubah lebih modis dan anggun juga cantik dan makin sehat saja. Bahkan sekarang berat badanku naik 2 kilo hingga membuat pipiku sedikit berisi dan tidak terlalu tirus lagi. "Kau... Apa yang kau kenakan ini?" desisnya."Masuk ke dalam Alya!" Ayah memerintahkanku dengan tegas, lelaki paruh baya bertubuh
Makan malam berlangsung dengan nyaman, duduk di resto dari lantai lima sebuah gedung mewah, dengan pemandangan lampu-lampu kota yang cantik dia tambah berhadapan dengan pria tampan yang kata-katanya selalu terdengar lembut dan menyenangkan, menciptakan suasana berbeda yang tidak terbeli harganya. Terlebih ia terus membuat jantungku bergetar. Aku tidak ingin menyebut ini sebagai ketergantungan emosional atau pelampiasan sebab aku baru saja berpisah dari suamiku. Aku menyebut ini keberuntungan dan rezeki karena sangat jarang seorang berasal dari kalangan menengah mengenal seorang pengusaha terkenal lalu menjadi begitu dekat. Kadang aku berpikir ini hanya euforia, hanya keberuntungan sesaat atau aku terlalu terbawa perasaan sebab mengenal orang sesempurna Tuan Fadli adalah hal yang jarang bisa dirasakan oleh semua orang. Aku harus mencubit tanganku berkali-kali untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang sedang kualami. Aku sedang memakai pakaian terbaikku, duduk menikm
Saat dia menyebut namaku ada ledakan flare warna warni di hati ini, ribuan bunga seakan jatuh dari langit membuatku tak bisa mengendalikan senyum. Tanganku seketika panas dingin dan berkeringat membuat jantung ini berdegup kencang.Lalu, aku hanya bisa tersipu malu dan menundukkan kepalaku."Aku menyukaimu, tapi tenang saja, kau jangan takut, aku tidak buru buru untuk segera melamar dan membuatmu tidak nyaman, aku tahu kau masih dalam proses menata hatimu, jadi aku akan menunggu dengan sabar."Hmm, dia pintar sekali membaca suasana hatiku, tapi buru buru pun tak masalah, aku menyukainya. "Ini mengejutkan sekali, tapi, saya menghargainya.""Apa kau bisa memberi sinyal bahwa kau akan menerima perasaanku?" tanyanya sambil menatap mataku, di lokasi parkir itu, aku rasanya ingin lari keluar dari mobil dan menghindarinya tapi aku tahu bahwa ia menunggu jawabanku. Aku ingin menjawab iya, namun aku tak mau terlihat buru buru menerima dan kesannya menjadikan dia pelarianku, mungkin saja kan,
Kupandangi diriku di depan cermin, kupandangi gamis putih yang kukenakan, juga jilbab senada, jam tangan dan bros cantik yang menampilkan presentasi diriku yang sempurna. Ya, tidaknya ini adalah penampilan terbaik yang bisa kuberikan malam ini untuk diriku sendiri. Kuraih ponselku dan kutunggu kabar dari tuan Fadli, kapan dia merapat ke rumahku dan kapan dia berdiri di depan pintu gerbang untuk membawa diri ini pada situasi makan malam yang menyenangkan."Oh dia belum memberiku kabar, kapan dia akan mulai jalan." Jujur saja aku antusias, aku belum bilang aku jatuh cinta meski jatuh cinta adalah hal manusiawi. Aku tidak akan secepat itu menilai ini sebagai hal yang membuat diriku terbang melayang. Menurut penelitian terbaru Cinta itu bukan seperti emosi yang Mudah dihilangkan, dia seperti kebutuhan fisiologis tubuh yang sama halnya dengan lapar dan haus. Ketika seseorang lapar atau haus mereka akan mencari makan dan minuman.Maka, seperti itulah cinta mendeteksi kebutuhan manusia ak
Kupandang wajahnya kupandangi dia dengan seksama hingga aku mampu meneliti betapa apa yang ia ucapkan itu adalah benar bermakna dari hati atau mungkin hanya lampiasan perasaan emosi dan kecewa. "Iya benar masalahnya ada padaku. Aku tidak bisa diduakan dan itu adalah kesepakatan Kita sejak awal. Jika kau menduakanku maka aku akan pergi.""Tapi itu pembicaraan 15 tahun yang lalu saat aku dan kamu masih menggebu dan saling mencintai. Saat kau sakit dan tidak bisa memberiku anak maka keputusanmu itu opsional bisa berubah. Apakah aku salah dan harus bertahan setia padamu sementara aku tidak bisa melanjutkan keturunanku?""Kita sudah bicara banyak," jawabku sambil menutup koper, dan tersenyum manis padanya. "Kenapa kau menghindari ucapanku?""Maaf aku sudah 30 menit di sini, aku harus pulang sebelum timbul fitnah dan asumsi negatif dari para tetangga terlebih jika ini sampai ke telinga istrimu.""Tapi kau masih istriku masih status kita sedang menggantung di pengadilan.""Oh ya?""Sampai
Lalu kami pun mengurus perceraianku, seminggu berlalu setelah pertemuan dengan keluarga Mas Husein Ayah membantuku untuk memasukkan berkas ke pengadilan agama. Mendampingiku mencatatkan gugatan serta membantuku membayar biayanya. Setiap kali dia menatapku dengan sedih meski aku sendiri berusaha tersenyum di hadapannya, Ayah selalu menguatkanku, menggenggam tanganku dan mengatakan bahwa semuanya akan berubah dan hari esok akan jadi baik-baik saja meski statusku sendiri."Kak, ayah akan selalu mendukungmu. Fokuslah pada impian dan kehidupanmu, bila kau sembuh kau harus bahagiakan dirimu sendiri. Berkarir dengan baik dan jadilah sukses.""Iya, ayah.""Ayah mau kau jadi lebih kuat.""Insya Allah."Sepulangnya dari pengadilan agama, aku dan ayah mampir di restoran seafood kesukaan kami, aku dan dia makan bersama dan menikmati hidangan favorit keluarga yang selalu kami beli sejak aku remaja. Kami berbincang sambil makan berdua, memikirkan rencana masa depan, apa yang akan aku lakukan den
(jika kau tidak keberatan tolong hentikan mengirim pesan ke ponsel aku sebab aku bukan lagi istrimu!)(Kalau begitu, sejak kapan kita bercerai? Aku tidak berasa menandatangani persetujuan di pengadilan!)(Cukup, aku sedang berbincang dengan bosku dan aku tidak mau terlihat sibuk dan membuatnya tersinggung!) Aku sengaja mengirimkan pesan seperti itu untuk memberinya pelajaran, ketika dia terus menyiksa perasaanku dengan kecemburuan, kebahagiaannya bersama Rania, maka aku pun bisa memberikan pukulan yang lebih telak. (Dasar jalang!) Ungkapnya dengan emoji wajah merah padam.Pukul 04.00 sore aku kembali ke rumah, aku dorong pintu gerbang dan mendapati kedua orang tuaku sedang duduk di teras dan berbincang. Bunda terlihat khawatir dan segera menyongsongku sementara aku terheran-heran dengan ekspresinya yang cermat. "Kau Baik-baik saja kan Nak?""Iya aku baik-baik saja! Ada apa Bunda?""Beberapa saat yang lalu suamimu datang ke rumah dan memberitahu betapa kau benar-benar berselingkuh d
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Mas Husein, pria itu terintimidasi, di antara semua orang yang bergelar dan punya posisi hanya dia satu-satunya yang kini terlihat pucat dan ketakutan. Riuh pesta, lagu-lagu yang diputar dan suara tawa-tawa para karyawan tak serta merta membuatnya cukup membaur. Lelaki duduk di pojok acara sambil menatap nanar pada semua orang. Sepertinya dia mendapat pukulan syok yang sangat besar, sepertinya dia sudah menyadari sedang berurusan dengan orang yang salah, berani memukul, memprovokasi dan menghadang Mas Fadli. Tapi herannya, Mas Fadli sama sekali tidak menunjukkan Siapa dirinya yang sebenarnya saat dia menghadapi sikap jahat Mas Husein, kalau mau, dia bisa menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya dan menghukum Mas Husein dengan cara memecatnya, tapi Mas Fadli memilih bersikap elegan, memilih untuk tetap tenang dan biarkan waktu yang membuktikan segalanya. Aku masih duduk bersama Viora, dua orang rekan lain nya juga duduk bersamaku. Tiba-tiba Mas H