(Awas kau macam macam dengannya!) begitu mobil bergerak, 5 menit berikutnya ponselku berdenting, pesan dari suamiku terpapar di layar ponselku m Aku hanya tersenyum perlahan sambil menggelengkan kepala, Tuan Fadli yang ada di sisiku juga memperhatikan diri ini. "Apa suami Mbak Alya mengatakan sesuatu?""Dia hanya memintaku untuk tidak telat makan siang." "Oh, tentu saja. Kelihatannya suami Anda adalah lelaki yang baik," ucapnya sambil memandangku."Sekilas semua orang terlihat baik Pak," balasku sambil menggeleng."Diakah alasan tangisan Anda tempo hari?"Aku seketika menatapnya, dia pun menatapku, mungkin dia menangkap bola mataku yang penuh kesedihan sehingga dia tidak melanjutkan perkataannya. Sopir memperhatikan kami, begitu juga dua bodyguard yang ada di bangku belakang, aku dan dia bertatapan lalu kemudian saling menunduk dan tidak melanjutkan pembicaraan lagi. *Setibanya di kantor Surya Gemilang, terpukau diri ini melihat bangunan gedung yang sebagian besar dindingnya dil
Kurasa hatiku terbakar melihat pembicaraan antara Rania dan suamiku. Sekilas tidak ada yang aneh tentang pembahasan mereka, tapi ada aku dalam pembicaraan tersebut, membuatku sangat kesal. Harusnya aku mendekat padanya sekarang dan menumpahkan sebotol saus pedas di wajahnya tapi... Mas Husein pasti akan sangat marah dan membelanya, lalu aku akan terjebak dalam luka yang lebih menyakitkan. "Rania, anak ayaaah...."Mas Husein terdengar menggoda putrinya, dia membelai pipi gempil anak perempuan berambut berambut ikal itu, sementara bocah itu tertawa dengan mata berbinar-binar. "Aya ... Aya..." Bocah itu berceloteh membuat ayah dan ibunya terlihat bangga, aku yang masih berdiri beberapa jauh dari mereka memutuskan untuk segera pergi saja. Tak baik berdiri dengan hati dengki sementara tak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah keadaan apalagi merusaknya. "Mas, kayaknya itu...."Sepertinya Rania menyadari kehadiranku, dengan cepat ku balikan badan dan ku langkahkan kakiku meninggalkan pel
Mentari pagi menyimbolkan sinar keemasan, mbok kehangatan namun itu tak cukup menyentuh hatiku. Perasaan sedih dan cemburu masih menyergap jiwa, menguasai perasaan dan sebagian pikiranku. Aku sedikit kesulitan dalam memanajemen perasaan cemburu karena aku tidak pernah menyiapkan diriku dalam situasi poligami ini. Dan beginilah aku, terpuruk sendirian dan sering sekali menangis Ting TingPonselku berdenting dari sebuah nomor yang tidak kukenali, aku menimbang-nimbang untuk tidak mengangkatnya tapi kupikir itu mungkin dari kantorku jadi aku segera menggeser tombol hijau "Halo selamat pagi.""Selamat pagi Mbak assalamualaikum."gemetar suara wanita di seberang sana membawa pikiranku pada keyakinan bahwa itu pasti adalah istrinya Mas Husein. Tapi dari manakah dia mendapatkan nomor ponselku."Ada perlu apa?""Aku ingin minta izin agar Mas Husen bisa bersamaku selama seminggu, kami ada acara keluarga di luar kota, sepupuku akan menikah jadi aku ingin mengajaknya ikut serta.""Ok?""Aku ing
Kembali dari tempat kerja mas Husein terlihat buru-buru memasukkan bajunya ke dalam tas ponsel dan laptopnya. Tidak lupa dia kemas charger dan beberapa pakaian dalam.Pria yang tadi pagi bertengkar denganku itu, dia nampak acuh tak acuh saja, tidak mau memandang diri ini bahkan tak menyapaku sedikitpun. Sebenarnya tidak perlu kutanyakan dia pasti akan berangkat keluar kota bersama Rania dan anaknya. Tadi pagi Wanita itu sudah menelponku untuk minta izin, meski aku menolak lelaki ini tetap akan nekat bersama istrinya "Apa kau akan pergi ke Semarang bersama Rania?""Iya dia sudah minta izin denganmu kan?""Kalau begitu baguslah. Aku tidak perlu minta izin dua kali.""Besok aku ada jadwal screening untuk operasi Mas, apa aku akan pergi sendirian?""Kamu pergi sama Indira adikku aja. Aku tidak bisa membatalkan jadwal kepergian dengan Rania!"jawabnya sambil tetap sibuk mengemas pakaian. "Namun....""Apa kau terus ingin membantah dan adu argumen denganku haruskah ku batalkan rencana perj
Kucoba mengumpulkan kesadaran, kelopak mata ini terasa berat untuk dibuka dan saat kubuka bayangan memburam antara cahaya yang baru menyorotku dan sensasi sakit di kepala membuatku tak tahan."Alia kamu baik-baik aja?"aku seperti mendengar suara bosku tapi rasanya tak kuasa untuk segera membuka mata, selain terkulai sambil menghela nafas "Kamu sakit ya, kalau sakit nggak usah datang ke kantor kamu bisa kerjain semuanya dari rumah."dia yang ada di sebelah kananku terus mengoceh sementara telinga ini berdenging tidak karuan membayangkan foto suamiku dan Rania siang tadi. "Maafkan karena saya merepotkan?" "Bukan masalah itu. Aku tidak mau ada karyawan yang tersiksa di kantor sendiri. Apalagi sampai sekarat. Tadi asisten menemukan beberapa obat di tasmu, Apa kau mengidap penyakit?""Iya pak aku memang sakit tapi aku sungguh ingin bekerja.""Ya ampun Alya Kenapa tidak bicara dari awal sehingga aku tidak perlu harus menyuruhmu kerja jauh dari rumahmu."Tuan Fadli menatapku dengan prihati
Aku yang tadinya ingin menghabiskan waktu untuk istirahat dan menenangkan diri terpaksa harus marah lagi, aku emosi dan tidak bisa menahan diri lagi untuk menjawab perkataan suamiku yang kasar. "Aku tidak pernah melibatkan sahabatku dan aku tidak ingin dikasihani olehmu. Jika kau ingin menelponku itu karena kehendak hatimu dan kesukarelaanmu bukan karena kau terpaksa!""Apa bedanya?" tanya lelaki itu sambil mendengkus!"Apa aku terlihat sangat menyedihkan dan pantas mengemis kasih sayang darimu? Kurasa tidak Mas! Lagi pula kau telah lama membagi cintamu dariku untuk apa aku meminta perhatian lagi!""Ah terserah kau saja! Yang pasti aku tidak mau diganggu olehmu!""Kalau begitu baiklah! Aku hanya memberitahu kalau besok aku akan mulai ambil darah dan cek lab untuk proses operasiku! Aku akan segera berangkat!""Kapan dan ke mana?""Aku akan berangkat dalam Minggu ini ke Singapura jika kau tetap berada di Semarang bersama Rania tidak masalah Aku tidak akan mencarimu!""Heh tumben kau t
Seiring dengan matinya panggilan suamiku announcement dari terminal bandara memanggil diri ini untuk segera boarding ke pesawat tujuan Singapura Aku dan sahabatku Jessica, serta Viora asisten Tuan Fadli segera menuju gate yang sudah disiapkan untuk pesawat kami. Berjalan beriringan dengan kedua wanita hebat itu membuatku memiliki semangat dan sedikit kepercayaan diri bahwa aku juga bisa sembuh dan berkarir sukses seperti mereka berdua. Aku mungkin punya harapan untuk hidup yang lebih baik juga menemukan cinta baru yang akan memberiku kebahagiaan. Yah... Meski itu sedikit sulit dan berlebihan tapi aku sengaja menghidupkan harapan di hatiku agar tidak terlalu hancur memikirkan Rania dan suamiku. (Jangan berangkat dulu! Kamu tidak bisa pergi tanpa suamimu!) Itu pesan suamiku sebelum aku benar-benar mematikan ponsel dan pesawatnya akan berangkat. (Aku sudah berada di dalam pesawat Mas, aku sudah duduk di bangkuku?)(Kau akan kualat tidak mendengarkan perkataanku!)(Untuk kesehatan ak
(Apa kau bilang apa? Kau bilang aku tidak berhasil mengobatimu? Apa kau gila?)(Dan apa kau lihat aku sembuh sekarang ini? Bukannya sembuh aku malah semakin stress kurus dan botak! Kau bukan saja menghancurkan jiwaku tapi juga hati dan pemikiranku!)(Jangan playing victim begitu Alya! Kau bukan korban dalam rumah tangga kita karena setiap orang punya peran dalam alur hidup ini?)(Menurutku aku korban kekejamanmu! Aku ditipu olehmu!)(Dan itulah alasan yang membuatmu melawan dan tidak mendengarkanku? Kau bilang Aku gagal menyembuhkanmu? Padahal kau tidak akan bertahan hidup sampai hari ini kalau aku tidak mengusahakan pengobatanmu! Kenapa kau tidak mensyukuri hal itu?)(Maaf aku mau mandi dan berdandan, aku akan mengganti pakaian dan pergi ke rumah sakit. Terserah kau mau bilang apa?)(Berdandan katamu? Dokter mana yang akan Kau goda!)(Aku tidak segatal kamu jadi tenang saja?)*Begitu tiba di rumah sakit Mount Elizabeth Hospital, aku terpukau sekaligus terkejut karena suasana yang s
"Kau! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya ayah sambil berusaha melindungiku dan menarik tanganku dari tangannya. "Aku hanya mencari Alya, ayah!""Kenapa kamu mencari anakku, dia sudah bercerai denganmu. Kenapa kau datang ke sini, apa kau tidak takut istrimu akan curiga dan kau akan tercoreng rasa malu?""Untuk apa aku merasa malu Alya mantan istriku, dan sekalipun kami bercerai, masih mungkin untuk bisa bersama jika aku meyakinkannya untuk rujuk.""Cih, Siapa yang mau rujuk denganmu. Daripada rujuk denganmu aku lebih suka dengan kesadaran penuh menguras air laut," jawabku sambil tertawa.Dia tercengang dan menatapku dari atas ke bawah, terkejut juga dirinya melihat penampilanku yang berubah lebih modis dan anggun juga cantik dan makin sehat saja. Bahkan sekarang berat badanku naik 2 kilo hingga membuat pipiku sedikit berisi dan tidak terlalu tirus lagi. "Kau... Apa yang kau kenakan ini?" desisnya."Masuk ke dalam Alya!" Ayah memerintahkanku dengan tegas, lelaki paruh baya bertubuh
Makan malam berlangsung dengan nyaman, duduk di resto dari lantai lima sebuah gedung mewah, dengan pemandangan lampu-lampu kota yang cantik dia tambah berhadapan dengan pria tampan yang kata-katanya selalu terdengar lembut dan menyenangkan, menciptakan suasana berbeda yang tidak terbeli harganya. Terlebih ia terus membuat jantungku bergetar. Aku tidak ingin menyebut ini sebagai ketergantungan emosional atau pelampiasan sebab aku baru saja berpisah dari suamiku. Aku menyebut ini keberuntungan dan rezeki karena sangat jarang seorang berasal dari kalangan menengah mengenal seorang pengusaha terkenal lalu menjadi begitu dekat. Kadang aku berpikir ini hanya euforia, hanya keberuntungan sesaat atau aku terlalu terbawa perasaan sebab mengenal orang sesempurna Tuan Fadli adalah hal yang jarang bisa dirasakan oleh semua orang. Aku harus mencubit tanganku berkali-kali untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang sedang kualami. Aku sedang memakai pakaian terbaikku, duduk menikm
Saat dia menyebut namaku ada ledakan flare warna warni di hati ini, ribuan bunga seakan jatuh dari langit membuatku tak bisa mengendalikan senyum. Tanganku seketika panas dingin dan berkeringat membuat jantung ini berdegup kencang.Lalu, aku hanya bisa tersipu malu dan menundukkan kepalaku."Aku menyukaimu, tapi tenang saja, kau jangan takut, aku tidak buru buru untuk segera melamar dan membuatmu tidak nyaman, aku tahu kau masih dalam proses menata hatimu, jadi aku akan menunggu dengan sabar."Hmm, dia pintar sekali membaca suasana hatiku, tapi buru buru pun tak masalah, aku menyukainya. "Ini mengejutkan sekali, tapi, saya menghargainya.""Apa kau bisa memberi sinyal bahwa kau akan menerima perasaanku?" tanyanya sambil menatap mataku, di lokasi parkir itu, aku rasanya ingin lari keluar dari mobil dan menghindarinya tapi aku tahu bahwa ia menunggu jawabanku. Aku ingin menjawab iya, namun aku tak mau terlihat buru buru menerima dan kesannya menjadikan dia pelarianku, mungkin saja kan,
Kupandangi diriku di depan cermin, kupandangi gamis putih yang kukenakan, juga jilbab senada, jam tangan dan bros cantik yang menampilkan presentasi diriku yang sempurna. Ya, tidaknya ini adalah penampilan terbaik yang bisa kuberikan malam ini untuk diriku sendiri. Kuraih ponselku dan kutunggu kabar dari tuan Fadli, kapan dia merapat ke rumahku dan kapan dia berdiri di depan pintu gerbang untuk membawa diri ini pada situasi makan malam yang menyenangkan."Oh dia belum memberiku kabar, kapan dia akan mulai jalan." Jujur saja aku antusias, aku belum bilang aku jatuh cinta meski jatuh cinta adalah hal manusiawi. Aku tidak akan secepat itu menilai ini sebagai hal yang membuat diriku terbang melayang. Menurut penelitian terbaru Cinta itu bukan seperti emosi yang Mudah dihilangkan, dia seperti kebutuhan fisiologis tubuh yang sama halnya dengan lapar dan haus. Ketika seseorang lapar atau haus mereka akan mencari makan dan minuman.Maka, seperti itulah cinta mendeteksi kebutuhan manusia ak
Kupandang wajahnya kupandangi dia dengan seksama hingga aku mampu meneliti betapa apa yang ia ucapkan itu adalah benar bermakna dari hati atau mungkin hanya lampiasan perasaan emosi dan kecewa. "Iya benar masalahnya ada padaku. Aku tidak bisa diduakan dan itu adalah kesepakatan Kita sejak awal. Jika kau menduakanku maka aku akan pergi.""Tapi itu pembicaraan 15 tahun yang lalu saat aku dan kamu masih menggebu dan saling mencintai. Saat kau sakit dan tidak bisa memberiku anak maka keputusanmu itu opsional bisa berubah. Apakah aku salah dan harus bertahan setia padamu sementara aku tidak bisa melanjutkan keturunanku?""Kita sudah bicara banyak," jawabku sambil menutup koper, dan tersenyum manis padanya. "Kenapa kau menghindari ucapanku?""Maaf aku sudah 30 menit di sini, aku harus pulang sebelum timbul fitnah dan asumsi negatif dari para tetangga terlebih jika ini sampai ke telinga istrimu.""Tapi kau masih istriku masih status kita sedang menggantung di pengadilan.""Oh ya?""Sampai
Lalu kami pun mengurus perceraianku, seminggu berlalu setelah pertemuan dengan keluarga Mas Husein Ayah membantuku untuk memasukkan berkas ke pengadilan agama. Mendampingiku mencatatkan gugatan serta membantuku membayar biayanya. Setiap kali dia menatapku dengan sedih meski aku sendiri berusaha tersenyum di hadapannya, Ayah selalu menguatkanku, menggenggam tanganku dan mengatakan bahwa semuanya akan berubah dan hari esok akan jadi baik-baik saja meski statusku sendiri."Kak, ayah akan selalu mendukungmu. Fokuslah pada impian dan kehidupanmu, bila kau sembuh kau harus bahagiakan dirimu sendiri. Berkarir dengan baik dan jadilah sukses.""Iya, ayah.""Ayah mau kau jadi lebih kuat.""Insya Allah."Sepulangnya dari pengadilan agama, aku dan ayah mampir di restoran seafood kesukaan kami, aku dan dia makan bersama dan menikmati hidangan favorit keluarga yang selalu kami beli sejak aku remaja. Kami berbincang sambil makan berdua, memikirkan rencana masa depan, apa yang akan aku lakukan den
(jika kau tidak keberatan tolong hentikan mengirim pesan ke ponsel aku sebab aku bukan lagi istrimu!)(Kalau begitu, sejak kapan kita bercerai? Aku tidak berasa menandatangani persetujuan di pengadilan!)(Cukup, aku sedang berbincang dengan bosku dan aku tidak mau terlihat sibuk dan membuatnya tersinggung!) Aku sengaja mengirimkan pesan seperti itu untuk memberinya pelajaran, ketika dia terus menyiksa perasaanku dengan kecemburuan, kebahagiaannya bersama Rania, maka aku pun bisa memberikan pukulan yang lebih telak. (Dasar jalang!) Ungkapnya dengan emoji wajah merah padam.Pukul 04.00 sore aku kembali ke rumah, aku dorong pintu gerbang dan mendapati kedua orang tuaku sedang duduk di teras dan berbincang. Bunda terlihat khawatir dan segera menyongsongku sementara aku terheran-heran dengan ekspresinya yang cermat. "Kau Baik-baik saja kan Nak?""Iya aku baik-baik saja! Ada apa Bunda?""Beberapa saat yang lalu suamimu datang ke rumah dan memberitahu betapa kau benar-benar berselingkuh d
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Mas Husein, pria itu terintimidasi, di antara semua orang yang bergelar dan punya posisi hanya dia satu-satunya yang kini terlihat pucat dan ketakutan. Riuh pesta, lagu-lagu yang diputar dan suara tawa-tawa para karyawan tak serta merta membuatnya cukup membaur. Lelaki duduk di pojok acara sambil menatap nanar pada semua orang. Sepertinya dia mendapat pukulan syok yang sangat besar, sepertinya dia sudah menyadari sedang berurusan dengan orang yang salah, berani memukul, memprovokasi dan menghadang Mas Fadli. Tapi herannya, Mas Fadli sama sekali tidak menunjukkan Siapa dirinya yang sebenarnya saat dia menghadapi sikap jahat Mas Husein, kalau mau, dia bisa menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya dan menghukum Mas Husein dengan cara memecatnya, tapi Mas Fadli memilih bersikap elegan, memilih untuk tetap tenang dan biarkan waktu yang membuktikan segalanya. Aku masih duduk bersama Viora, dua orang rekan lain nya juga duduk bersamaku. Tiba-tiba Mas H
"Bukannya tidak nyaman, saya sedikit canggung karena bos besar malah memilih duduk di meja karyawan biasa." di tengah alunan lagu dan keriuhan karyawan yang mengobrol dengan sesamanya. Suara kami timbul tenggelam tapi aku bisa mendengar dengan jelas ucapan Mas Fadli serta melihat bagaimana ia menatapku dengan binar mata yang sedikit berbeda. "Aku biasa membaur dengan semua orang jadi tenang saja," jawabnya sambil mengedipkan mata. Fiora melirik kami dan ia terlihat menahan tawa. Sepertinya gadis itu menyadari bahwa ada yang berbeda dengan sikap bosnya, pun aku pun memahami kalau dia memiliki kepedulian yang berbeda padaku tapi aku tidak segera menyimpulkannya sebagai perasaan cinta atau ketertarikan yang berlebihan.Anggap itu kebaikan dan kepedulian seorang bos pada bawahannya. "Sepertinya kau tidak betah di situasi yang ramai seperti ini!""Sebenarnya iya tapi Saya menghargai acara pestanya. Jadi saya akan baik-baik saja.""Mau ikut bicara di balkon denganku, kebetulan aku juga i