Raline terjaga dari tidurnya. Ia pun melihat jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Raline pun langsung menuju kamar Nyonya Amira untuk mengecek Austin."Bu, maafin ya tadi Raline ketiduran," ucap Raline saat masuk ke kamar mantan mertuanya itu. Raline pun membawa Austin yang sudah tertidur lelap.Raline pun kembali ke kamarnya. Ia membaringkan Austin ke atas ranjang tempat tidurnya. Raline pun kembali beranjak tidur karena keesokan harinya ia harus meeting pagi mempersiapkan pertemuannya bersama Hamid dan Sisil lagi.Pukul 07.00Raline sudah bersiap ke kantor. Setelah menyiapkan sarapan Austin, Raline langsung berpamitan pada Nyonya Amira."Bu, maaf ya, Raline harus berangkat awal pagi ini. Soalnya ada meeting jam 9 pagi dan Raline harus menyiapkan semuanya," terang Raline yang tidak enak menitipkan Austin lebih lama dari biasanya."Nggak apa-apa, Raline. Kamu kerja aja yang tenang. Biar urusan Austin,
"Nggak salah kan?" timpal Raline berbarengan dengan Hamid.Hamid pun memandangi Raline dengan penuh cinta. Sorotan mata itu, masih sama. Belum berubah. Penuh cinta dan ketulusan."Apa-apaan sih kamu?!" pekik Galih yang menarik tangan Raline saat saling pandang dengan Hamid.Andre pun mencoba merelai pertengkaran itu yang akhirnya membuat Raline jadi bingung."Andre, kenapa kamu jadi sama Galih? Ada apa sebenarnya?" cecar Raline yang merasa aneh karena Galih dan Andre datang bersamaan."Nanti kalau waktunya sudah tepat, aku akan—""Ceritanya panjang, Lin. Andre itu adikku yang hilang. Aku juga sekarang udah bertemu lagi sama Ibuku," teriak Dion yang berjalan menghampiri mereka."Mas Dion dan Andre adik kakak?"gumam Raline dalam hatinya.Karena suasana yang sudah tidak nyaman, Hamid pun memutuskan pulang. Ia tidak ingin membuat keributan di rumah sakit. Terlebih, sikap Nyony
"Nggak, Uncle. Kue ini buat uncle. Uncle, mau kan jadi Papi aku?" celetuk polos Austin.Wajah Raline seketika berubah. Ia pun syok saat mendengar jawaban Austin yang meminta Hamid menjadi Papinya. Terlihat wajah Galih berubah. Netranya pun menatap Raline dengan berkaca dan menahan agar bulir bening itu tidak jatuh.Galih pun memundurkan kursi rodanya dan memutar arah meninggalkan ruang tamu itu. Dion pun langsung menyusul sahabatnya itu.Hamid yang merasa tidak enak pun akhirnya mengejar Galih disusul oleh Raline."Mas, Mas, tunggu!" panggil Raline. Galih tak memperdulikannya. Ia telanjur sakit hati mendengar kata-kata sang putra."Galih, jangan kayak anak kecil! Itu hanya perkataan anak-anak. Masa sih lu ambil hati? Austin itu darah daging lu. Ingat, Galih! Ikatan darah itu lebih kuat dari apapun," pekik Hamid yang berusaha agar Galih tidak salah paham lagi."Gue kayak anak kecil? Ah, iya betul. Tapi, gue juga pun
Sebelum memasuki mobilnya, Andre pun mengambil ponselnya di saku celana. Ia pun menghubungi seseorang.[Siapkan semuanya.]Andre pun langsung membawa kendaraannya menuju sebuah cafe sederhana yang menjual makanan khas sarapan pagi. Bubur ayam yang nikmat dan sangat disukai Mamanya yang dulu sering datang bersama Papanya sebelum rumah tangga mereka luluh lantak karena kehadiran seorang pelakor bernama Amira."Yuk, Bu. Kita turun," ajak Andre saat mobilnya telah berhenti di depan Cafe 'Mangga Dua'."Bu," tegur Andre saat melihat Mama Galih itu termenung saat melihat plang nama cafe.Amira diam termenung. Tubuhnya seketika menggigil saat turun dari mobil dan mulai melangkahkan kakinya memasuki cafe itu. Cafe yang sangat ia kenali."Kenapa, Bu? Apa sebelumnya Ibu pernah mendatangi cafe ini?" tanya Andre."Ng-gak. Tapi sepertinya tempatnya enak ya," jawab Ibu Amira terbata.
"Andre, apa dia Amira yang dulu sudah mengusir kita dan merebut Papa kamu?" teriak Nyonya Amira saat Andre dan Dion melangkah pergi.Wajah Andre seketika panik. Begitupun dengan Dion.Keduanya saling pandang dan Andre pun mencoba mendekati Mamanya."Ma, Mama di sini dulu ya. Sama Galih. Aku mau bantu cari Mamanya Galih yang hilang," ucap Andre berpamitan.Nyonya Amanda pun mengangguk. Ia pun akhirnya mengijinkan kedua putranya itu pergi dan meninggalkannya di dalam rumah sederhana itu.Galih pun mulai mengajak Nyonya Amanda bicara. Amanda sebagai seorang ibu akhirnya iba saat bercerita tentang kehadiran sosok ayah sambungnya yang begitu kasar."Aku benci sama dia,Bu. Dia sudah membuat Mamaku tersiksa bertahun-tahun. Aku nggak akan pernah memaafkan dia jika suatu saat kami bertemu lagi," ujar Galih yang berubah bengis.'Apa yang membuat kamu begitu membencinya?" tanya Amanda.Galih menera
Suasana malam itu membuat Andre dalam situasi yang tidak diharapkan. Ia dipaksa keadaan untuk memaafkan orang-orang yang sudah membuat keluarganya hancur. "Nggak! Aku nggak bisa memaafkan kalian setelah semua penderitaan yang ku alami bertahun-tahun," pekik Andre saat Dion meminta adiknya itu memaafkan Galih dan Mamanya."Kamu bicara begini karena Galih sahabat kamu kan? Kamu enak, Mas. Hidup kamu dalam kemewahan saat kita berpisah. Sedangkan aku? Aku harus berjuang mati-matian demi bertahan hidup.""Dan kamu tahu, aku harus menjaga Mama yang mengalami gangguan kejiwaan. Dibully karena memiliki orang tua gila bertahun-tahun. Karena apa? Karena mereka!" bentak Andre menunjuk ke arah Nyonya Amira dan Galih."Andre, apa belum setimpal atas semua yang kamu lakukan padaku? Aku sudah kehilangan semuanya. Aku cacat seumur hidupku. Aku kehilangan istri. Kehilangan karir dan bahkan seumur hidupku tidak ada wanita yang mau menikah denga
Raline dan Galih memang sudah resmi bercerai. Pengkhianatan Galih begitu menorehkan luka di hati Raline hingga sulit baginya untuk memutuskan menerima kehadiran pria lain dalam kehidupannya. Terlebih, ia mempunyai Austin. Belum tentu, pria pengganti Galih akan bisa menyayangi dan menerima kehadiran Austin. Bahkan, perjuangan Hamid pun tidak membuat Raline tergugah.Setelah beberapa saat tidak menjalin komunikasi, malam itu Hamid kembali menghubungi Raline. Bukan untuk menanyakan kelanjutan hubungannya.Tetapi, Hamid ingin berpamitan. Ia memutuskan kembali ke Jepang, karena merasa perjuangannya harus berhenti sampai di sini.[Raline, besok aku akan kembali ke Jepang. Aku percayakan bisnis itu ke kamu dan Sisil. Aku yakin, kalian sanggup membuat perusahaan itu besar.]Raline hanya diam saat membaca pesan pria yang sudah ia lukai hatinya itu. Tidak tahu harus menjawab apa, hingga beberapa saat, Hamid kembali mengirimkan pesan pada
"Hamid San, kippo to kuruma no junbi gadeikiteimasu, anataha Indonesia ni iku junbi gadeikiteimasu.""Arigatou."Hamid akhirnya memutuskan kembali ke Indonesia. Seperti kata Sisil, ia harus menekan egonya dan memperjuangkan cintanya pada Raline. Hatinya ternyata tidak bisa berbohong, ia nggak sanggup jauh dari Raline dan Austin.[Hamid, stop. Lupakan Raline. Banyak wanita yang ingin menikah denganmu. Please, tinggalkan janda beranak itu.]Pesan yang dikirimkan oleh Lexy, adik Hamid hanya dibacanya. Ia.tahu, perjuangannya menikahi Raline penuh liku. Kini adiknya sudah mengetahui jika sang kakak kembali mengejar cinta Raline. Mungkin, sebentar lagi pertentangan itu akan datang dari kedua orang tuanya.[Silakan kalau kamu mau ngadu sama Mama dan Papa, aku nggak pernah takut. Ini hidupku. Aku tahu, apa yang terbaik untuk hidupku.]Setelah membalas pesan sang adik, Hamid mematikan ponselnya dan fokus deng
Hari itu Lexy pun menyiapkan semuanya. Setelah semua kejahatan yang pernah dilakukannya di masa lalu pada Raline dan Hamid, Lexy ingin menebusnya dengan membahagiakan kedua kakaknya malam ini.[Mas, nanti kamu sama Raline datang sama Austin ke Cafe D'cante jam 20.00 ya. Aku tunggu.]Setelah mengirimkan pesan ke nomor Hamid, Lexy pun melanjutkan semua persiapan agar tampil sempurna. Surprise malam ini, dia persembahkan tepat di hari anniversary Raline dan Hamid.Beberapa jam berlaluMobil yang dikendarai Hamid pun sampai di pelataran cafe mewah itu. Raline pun sudah turun dan duduk di atas kursi rodanya, ditemani oleh Austin."Mas, kamu saja yang masuk ya. Aku menunggu di mobil saja," ungkap Raline yang merasa tidak percaya diri sejak duduk di atas kursi rodanya."Sayang, kamu nggak boleh gitu. Kasihan dong sama Lexy, dia undang kita berdua, bukan hanya aku kan?!" bujuk Hamid. Raline akhirnya setuju d
Sejak Hamid memutuskan kembali ke Indonesia, praktis Lexy maupun kedua orang tuanya tidak pernah lagi bertemu dengan putra sulung kebanggan Tuan Amran.Masa-masa yang pernah dirasakan Lexy bersama Hamid dulu menorehkan banyak kenangan. Tanpa sepengetahuan sang Mami, Lexy pun berangkat ke Jakarta untuk memberi surprise untuk kakak dan kakak iparnya itu."Lexy, berapa lama kamu di Singapura?" tanya Marissa saat mengantar putra kesayangannya itu di bandara."Mungkin satu atau dua Minggu, Mi. Ya kalau udah selesai secepatnya aku pasti pulang. Mami sama Papi jangan terlalu capek ya," pesan Lexy.Setelah mendengar informasi akan keberangkatan pesawat, Lexy pun berpamitan pada kedua orang tuanya. Langkahnya pun cepat menaiki tangga pesawat."Maafkan aku, Mi. Aku terpaksa berbohong. Tapi, aku sudah merindukan Mas Hamid. Aku harus memberikan ini langsung padanya. Ini haknya. Bukan milikku," gumam Lexy dalam hatinya.
Sisil dalam sebuah dilema. Persahabatannya dengan Raline sedang dipertaruhkan. Rumah tangganya dengan Zayn pun bisa goyah jika ia jujur tentang perasaannya.Sisil mencintai Hamid, ya itu memang benar. Namun, itu hanyalah masa lalu. Sisil pun sudah mengikhlaskan semuanya. Baginya, persahabatannya dengan Hamid dan Raline jauh lebih berharga dari rasa cintanya."Katakan yang sebenarnya Sisil. Kenapa kamu diam?!" cecar Dion.Zayn dan Hamid menatapnya tajam. Raline pun menunggu jawaban dari pertanyaannya. Namun, akhirnya Sisil memilih jujur tentang semuanya."Oke, aku akan jujur tentang semuanya," ungkap Sisil memulai pembicaraan."Dion benar. Aku memang mencintai Hamid. Tapi itu dulu. Sekarang aku hanya mencintai Zayn, dia suamiku.""Perlu kalian tahu, jauh sebelum aku menikahi Zayn, aku sudah mengikhlaskan Raline dan Hamid menikah. Karena aku tahu,mereka saling mencintai dan aku ingin melihat Raline bah
Andre yang terkejut dengan kedatangan Dion dan Nyonya Amira pun langsung menarik paksa keduanya keluar dari ruangan. Andre tidak ingin semua rencana yang sudah disusunnya dengan rapih jadi berantakan."Mau apa kalian ke sini?" pekik Andre saat menarik Dion kasar ke teras rumah. Menjauh dari perkumpulan sahabatnya."Lepaskan tanganku, Andre!" bentak Dion."Ingat, Andre. Aku ini Kakakmu!" hardiknya yang langsung hendak memukul Andre tapi dicegah Nyonya Amira."Stop! Jangan kayak anak kecil kalian!" bentak Amira.Kedua kakak beradik itu hanya terdiam saat ibu tirinya memisahkan pertengkaran itu. Sesungguhnya Amira hanya memanfaatkan Dion dan Andre demi dendamnya pada Raline."Kita di sini satu team. Nggak seharusnya kalian berdua ribut begini Nanti kalau mereka dengar, gimana?" bentak Nyonya Amira."Andre, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Amira berbisik Andre pun berbi
Hamid yang tidak ingin kembali ada pertengkaran dengan kedua orang tuanya akhirnya mengalah. Setelah pamitan dengan sang Papi yang selama ini sudah begitu menyayanginya, Hamid pun tetap berusaha menghormati Maminya."Nggak usah. Lebih cepat kamu pergi, itu lebih baik!" ketus Nyonya Marissa saat Hamid hendak mencium tangannya dengan takjim.Tuan Amran pun menegur istrinya itu tapi Marissa tak perduli. Ia tetap dengan kekerasannya. Tuan Amran pun menggendong Austin dan mencium kening anak lelaki Raline yang sudah dianggapnya cucu itu. Tuan Amran pun mencium kening Raline. Pelukan hangat orang tua yang dirindukannya itu kini didapat Raline. Andre pun begitu haru menyaksikan kebahagiaan Raline, walau hanya sesaat.Saat hendak beranjak meninggalkan rumah mewah itu, tiba-tiba suara teriakan pria yang memanggil nama Hamid dengan keras membuat langkah Hamid terhenti."Tunggu, Hamid!" panggil Lexy.Hamid pun
Marissa tetap dengan keputusannya. Ia menekan suaminya untuk memilih antara ia dan Lexy ataukah memilih mempertahankan Hamid dan Raline. Cara jitu Marissa seperti berhasil. Ia tahu bagaimana karakter Hamid yang diurusnya sejak kecil."Mami, Papi, dengarkan aku," cegah Hamid saat kedua orang tuanya bertengkar hebat. Lexy pun hanya diam mengamati."Kalian nggak perlu bertengkar, aku yang akan mengalah. Aku dan Raline akan segera meninggalkan semua ini. Termasuk rumah ini. Aku akan memulai hidup baru bersama Raline," ucap Hamid tegas."Tidak, Hamid!" sergah Tuan Amran."Maaf, Pi. Kali ini aku nggak bisa menuruti keinginan Papi. Aku akan tetap pergi. Semua demi kebaikan kita semua," jawab Hamid lugas."Baguslah," sahut Marissa tersenyum sinis.Hamid tetap dengan keputusannya walau Tuan Amran terus mendesaknya dengan berbagai cara. Hamid tidak ingin ia dan Raline menjadi penyebab kehancuran rumah tangga o
Raline akhirnya kembali ke rumahnya. Wanita yang dinyatakan tim dokter sudah mengalami cacat permanen dengan semangat dari sang suami yang begitu mencintainya pun memasuki rumah megahnya.Walau matanya kini tak dapat melihat bagaimana Hamid menata dengan rapih rumah itu demi menyambut kepulangannya, Raline dapat merasakan wangi harum bunga Rose kesukaannya."Mas, kamu taruh bunga Rose ya di ruangan ini?" tanya Raline dengan wajah tersenyum di atas kursi rodanya."Iya, Sayang. Ini kan bunga kesukaan kamu," jawab Hamid mengenggam tangan Raline. Hamid pun berlutut dihadapan istrinya itu.Nyonya Marissa dan Tuan Amran yang ikut mengantar kepulangan Raline pun akhirnya duduk di sofa berwarna keemasan itu menatap anak dan menantunya yang memasuki kamar utama.mi"Sayang, kamu istirahat dulu ya. Aku temani Mami sama Papi dulu. Nggak enak kalau ditinggal," pamit Hamid. Raline pun memutuskan beristirahat di ranjang empuk i
Hamid akhirnya bisa tersenyum bahagia ketika sang dokter menyatakan kesembuhan Raline. Raline kini sudah sadar. Namun, kebahagiaan Hamid hanya sesaat. Seketika wajahnya kembali sendu saat mendengar pernyataan dokter yang lainnya."Maaf, tapi kami juga punya kabar buruk untuk anda," ucap dokter Tanaka."Ada apa, Dok?" sahut Hamid."Istri anda memang sudah dinyatakan sadar dari komanya tapi ada hal lain. Raline mengalami kelumpuhan dan matanya buta," ucap sang dokter dengan berat hati.Hamid yang syok tak bisa berkata apapun. Kakinya seperti tak bisa berpijak lagi. Nyonya Marissa pun membantu putra angkatnya itu duduk di sebuah kursi. Marissa pun mempertanyakan kemungkinan Raline kembali normal."Apa dia bisa kembali normal?" tanya Marissa."Kemungkinan Raline sembuh seperti sediakala sangat tipis," terang dokter Tanaka."Ada apa ini?" celetuk Tuan Amran yang baru saja datang karena men
Hamid sedikit bernapas lega pada akhirnya Austin dinyatakan sudah membaik dan diijinkan dibawa pulang. Namun, karena kondisi Raline yang belum mengalami perubahan, ia memilih Austin tinggal bersamanya menemani Raline di kamar VVIP."Hamid, apa sebaiknya Austin di rumah papi aja? Kasian kan dia harus di rumah sakit," ujar Pak Amran menawari Hamid agar Austin berada dalam perawatannya."Pi, maksudnya apa sih?" celetuk Marissa ketus. Hamid pun menyadari ketidaksukaan ibu angkatnya itu."Ya nggak apa-apa kan? Bisa untuk teman Mami," ledek Amran tertawa."Nggak usahlah, Pi. Biar Austin sama Hamid di sini. Kasihan dia, takutnya cari Raline," ujar Hamid menengahi.Setelah kedua orang tua Hamid itu pulang, Hamid pun kembali ke kamar Raline dan membujuk Austin yang menangis karena Mamanya yang hanya diam tidak bereaksi ketika diajak bermain.****Hari ini Andre mulai memainkan per