Wulan melangkahkan kakinya dengan sedikit ragu. Menatap bangunan minimalis berwarna cokelat muda yang berdiri di hadapannya. Inikah istana sekaligus surga mereka hingga masa kerja suaminya akan berakhir di kota ini nantinya?
Ingatan Wulan tiba-tiba kembali pada percakapannya dengan Damar satu minggu sebelum akad kemarin diucapkan."Mungkin Mas tak selamanya menjadi kepala cabang di kota ini. Bersediakah Adek ikut kemanapun Mas bertugas nantinya?"Pertanyaan itu dilontarkan Damar saat keduanya baru saja melakukan fitting kebaya untuk acara akad nikah mereka. Sebuah rumah jahit kenamaan menjadi pilihan Damar untuk hari sakral mereka. Wulan memilih mengikuti saja permintaan lelaki itu tanpa membantah."Insya Allah, Mas. Aku akan ikut, mungkin mengajukan mutasi memang membutuhkan watu nantinya. Tapi aku juga tak ingin kita menjalani hubungan jarak jauh. Terlalu banyak resiko yang terjadi nantinya," ucap Wulan dengan penuh keyakinaUcapan lirih Damar di telinga Wulan membuat kulit wanita itu kembali merinding. Ada gelegak kerinduan yang seketika menjalar di sekujur tubuhnya. Gejolak yang sama seperti tadi malam. Wulan memilih tak berkata. Menerima semua belaian itu dalam desahan lembutnya. Tak ingin menolak semua sentuhan yang diberikan laki-laki yang menjadi suaminya itu. Wulan bahkan sangat menikmatinya.Matahari baru naik sepenggalah, namun kedua insan manusia itu sudah berpeluh keringat kembali. Mengulang rasa yang sama seperti tadi malam. Dua jantung seakan saling berpacu. Dua hati semakin menyatu. Sampai akhirnya keduanya menuntaskan hasrat halal bagi pasangan suami istri. Kecupan di dahi Wulan menjadi penutup aktivitas yang menggairahkan itu. Bisikan kata cinta diucapkan Damar sebelum mengangkat bibirnya dari dahi sangat istri. Dan Wulan memilih membalasnya dengan sebuah senyuman. Cukup untuk menyatakan perasaannya.
"Mas lupa, Dek! Nanti kalau Adek mau makan, pesan pakai aplikasi saja ya! Tak usah masak dulu hari ini! Tak ada bahan makanan apa pun yang dapat dimasak di dalam kulkas."Tiba-tiba Damar yang sudah meninggalkan kamar kembali lagi walaupun hanya sebatas di pintu saja. Wulan menolehkan kepalanya kepada sang suami yang berdiri di tengah pintu. "Tak usah menunggu Mas kalau mau makan! Mas belum tahu akan pulang jam berapa," ujar Damar kembali sebelum akhirnya benar-benar berlalu dari pandangan Wulan.Tak lama kemudian terdengar suara mesin mobil dihidupkan. Wulan beranjak dari duduknya dan segera melangkah ke arah jendela kamar yang terhubung langsung dengan garasi yang ada di depan rumah.Tatapan Wulan langsung bertemu dengan kendaraan dinas milik suaminya. Kendaraan roda empat berwarna hitam itu sedang dipanaskan mesinnya. Wajar saja, sudah beberapa hari tak dihidupkan sama sekali. Mereka tadi pun berangkat dari rumah orang tuany
Tak putus asa Wulan menundukkan pandangannya ke bagian bawah. Benar saja, ada dua seprai yang tersusun rapi di sana. Perlahan Wulan mengambil salah satunya. Seprai berwarna dasar krem dengan motif kotak-kotak menjadi pilihannya sebagai alas tempat tidur mereka mulai nanti malam. Sempat merasa takjub dengan motif seprai yang dimiliki suaminya. Motif dan warnanya cantik. Rasanya tak mungkin jika suaminya yang membeli seprai-seprai ini. Apakah Bik Atun yang membelikannya?Wulan segera memasangkan kembali seprai di kasur itu. Setelah itu memasangkan juga sarung bantal dan gulingnya. Aroma harum dari pewangi pakaian yang berasal dari seprai menguar memenuhi penciuman Wulan. Selanjutnya Wulan membawa seprai dan sarung kotor itu ke kamar mandi. Berusaha menemukan keranjang yang lazimnya ada di kamar mandi untuk meletakkan pakaian kotor. Sebuah keranjang berbahan plastik berwarna hijau langsung terlihat saat Wulan membuka pintu kama
Dunia seakan berputar seketika. Wulan melangkah mundur dengan perlahan lantas mendudukkan tubuhnya kembali ke tepi tempat tidur. Mencoba menenangkan diri atas apa yang baru dilihatnya tadi. Sungguh, sesak itu seketika menyeruak dalam ruang dadanya. Kembali memindai foto yang terjatuh dari laci lemari tadi, Wulan mencoba menebak siapa ketiga sosok tersebut. Mengapa foto itu ada di dalam laci lemari dalam kamar tidur suaminya? Apa hubungan ketiga sosok ini dengan suaminya? Andai saja Bik Atun masih bekerja di rumah ini, tentu Wulan punya kesempatan untuk bertanya. Barangkali saja wanita itu tahu tentang ketiga sosok dalam foto ini. Atau paling tidak, Bik Atun dapat memberikan informasi atas beberapa hal yang cukup membuatnya bingung saat ini. Memijat kepalanya yang mendadak nyeri, Wulan ragu apa yang harus dilakukannya saat ini. Apakah dirinya harus menghubungi Damar untuk menuntaskan rasa ingin tahunya sekarang juga? Atau membiarkan dulu s
Wulan tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Tak ingin membuat Akbar bingung. Cukup dirinya saja. Jika mendengar penjelasan pemuda ini, artinya Bik Atun memang pulangnya malam hari. Tapi mengapa bertepatan sekali waktunya saat mengantarkan makanan selalu ada Bik Atun di rumah ini? Hanya kebetulan saja atau memang Bik Atun tak pulang ke rumah ketika itu? Jika memang Bik Atun menginap di rumah ini, mengapa Damar harus berbohong dan mengatakan wanita itu hanya datang dua kali dalam seminggu saja? Dan jika Damar berbohong, untuk apa lelaki itu melakukannya? "Ibu terkejut saja, soalnya Bapak bilang Bik Atun hanya datang dua kali dalam seminggu untuk membersihkan rumah dan mengerjakan pekerjaan lainnya."Wulan berusaha menunjukkan ketenangannya, walaupun rasa penasaran menyelubungi hatinya. Tak mungkin harus ditunjukkannya kepada pemuda yang berada di hadapannya ini. "Oh begitu. Barangkali saja saat saya mengant
Setelah menghabiskan separuh porsi makanan yang dikirimkan suaminya melalui kurir tadi, Wulan memutuskan untuk mandi. Membersihkan tubuhnya yang kotor karena berbagai aktivitas yang dilakukan sejak tadi pagi. Mulai dari melayani suami, merapikan kamar tempat mereka beristirahat, menyikat kamar mandi, merapikan lemari pakaian, dan mengelap debu di meja kecil di kamar tidur ini. Azan Zuhur berkumandang dari penanda waktu salat yang ada di gawainya, tepat saat Wulan keluar dari kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, Wulan membalikkan tubuhnya kembali lantas melakukan gerakan berwudhu dari air yang mengalir dari keran di dinding sebelah kiri kamar mandi.Tak lama kemudian, Wulan pun langsung melaksanakan kewajiban empat rakaatnya. Berdoa di atas hamparan sajadah dengan lafal pinta yang terbaik untuk kehidupan rumah tangganya. Kehidupan yang masih baru, bahkan belum seumur jagung ini. Mata boleh melihat, telinga pun boleh mendengar, namun akhirny
Setelah membersihkan debu dan menyapu ruang tamu itu, Wulan berpindah ke ruang tengah. Ruangan dengan ukuran yang lebih luas dari ruang tamu tadi. Tak ada kursi jati. hanya ada sofa saja sebagai tempat duduk di sini. Sama seperti di ruang tamu tadi, Wulan pun dengan lincah membersihkan debu yang menempel di sofa dengan menggunakan lap kecil yang kebetulan ditemukannya di dapur tadi. Membersihkan rumah memang pernah dilakukan Wulan di rumah kedua orang tuanya. Bukan hal asing lagi baginya. Walaupun tidak terlalu sering tentunya. Berbeda dengan ruang tamu tadi, tak ada bunga di atas meja. Ruang tengah ini sekaligus berfungsi sebagai ruangan untuk menonton televisi. Terlihat benda berlayar datar itu menempel pada dinding yang berseberangan dengan sofa.Wulan merasa lelah. Selama tinggal dengan ibunya, Wulan memang hanya ikut membantu membersihkan rumah sekadarnya saja. Apalagi untuk turun ke dapur, Wulan sangat jarang membantu. Seka
"Foto?"Kembali Damar mengulangi pertanyaannya. Kali ini dengan nada yang lebih tegas dari sebelumnya. Sepasang netra lelaki itu memicing seketika. "Iya, foto. Aku ambilkan dulu! Atau ... Mas mandi saja dulu. Setelah Mas mandi dan salat, kita lanjutkan pembicaraan ini," tawar Wulan sembari berusaha tetap tersenyum meskipun detak jantungnya tak karuan saat ini. "Ambilkan saja sekarang! Mas penasaran foto apa yang Adek maksud itu," balas Damar dengan cepat sembari kembali mendudukkan tubuhnya pada sofa. Wulan dengan sigap memutar tubuhnya. Melangkahkan kaki dengan cukup tergesa menuju kamar tidur mereka. Dengan sigap, tangan kanannya menarik laci yang menjadi tempat penyimpanan foto yang membuatnya resah itu. "Siapa mereka? Mengapa foto ini ada terjatuh di antara dokumen Mas yang aku rapikan? Jangan bilang Mas tak tahu dengan foto ini!" ujar Wulan dengan tegas sembari menyodorkan foto berukuran 3R itu kepada s
"Apa maksud Bapak? Boncengan? Mau kemana?" balas Wulan sembari mengernyitkan dahinya. "Ibu belum tahu kalau kita berdua ditugaskan untuk mengikuti Technical Meeting Kabupaten?"Dengan santainya Hanif memasang tampang lugu dan polos di hadapan Wulan. "Kita? Saya saja, Pak. Tidak Bapak."Dengan tegas Wulan membantah ucapan Hanif itu. Dirinya tak mungkin salah mendengar kalimat yang disampaikan Bu Lidia tadi pagi. Hanya namanya. Tak ada nama guru laki-laki ini."Di surat tugas ini tertera nama kita berdua, Bu. Saya dan Ibu."Tak kalah tegasnya Hanif pun menunjukkan bukti atas ucapannya tadi. Tak ingin dianggap bercanda apalagi berbohong oleh wanita yang memang sedang ditaksirnya ini. Dengan gerakan tangan yang cepat Wulan meraih kertas yang disodorkan Hanif itu. Memindainya dengan cepat. Air wajahnya berubah seketika. Benar saja. Nama mereka berdua tertera di sana. Perint
Wulan baru saja tiba di parkiran. Ketika tangannya bergerak hendak membuka helm yang menutupi kepala, sebuah sepeda motor berhenti tepat di sampingnya. "Bu Wulan, mengapa pesan saya tak dibalas? Padahal saya beberapa kali mengirimkan pesan. Dan semuanya centang dua biru. Dibaca Bu Wulan bukan?"Lidah Wulan mendadak kelu. Mengapa sepagi ini dirinya harus bertemu dengan lelaki ini? "Anak saya yang membukanya barangkali, Pak. Maklumlah kalau di rumah, HP ini menjadi milik berdua."Wulan terpaksa berbohong. Jika tidak, entah apa alasan yang harus dikatakannya kepada lelaki ini. "Oh begitu. Nanti siang ada acara? Sepulang sekolah maksud saya."Meletakkan helm pada spion sepeda motornya, Wulan ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini. "Memangnya ada apa, Pak? Ada kegiatan tambahan ya kita hari ini? Kok saya tak tahu infonya?"Wulan mengernyitkan dahi. Seingatnya tak ada in
"Lan, kamu melamun?"Wulan menolehkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan wanita yang telah menghadirkannya ke dunia. Wanita yang senantiasa mendukungnya menjalani masa-masa sulit satu tahun terakhir ini. Mereka saling menguatkan setelah sama-sama kehilangan. Kehilangan lelaki yang sama-sama mereka cintai. Kepergian selamanya, tak akan pernah kembali lagi. Tak selesai begitu saja. Bahkan belum lagi kering air mata akibat kehilangan cinta pertamanya, pipi Wulan masih harus terus membasah. Perpisahan, meskipun dirinya yang meminta tetap saja menyakitkan rasanya. Bukan sakit karena perpisahan itu sendiri sebenarnya. Sakit yang terbesar adalah ketika menyadari dirinya telah dibohongi selama ini. Menghabiskan waktu dengan lelaki yang salah. Melabuhkan cinta kepada lelaki yang tak sepatutnya. "Tak ada. Menikmati malam saja. Kebetulan purnama begitu sempurna. Ibu belum tidur?" tanya Wulan sembari menggeser posisi duduknya, memberi
"Apa???"Jelas sekali Bu Yayuk tak dapat menutupi keterkejutannya. Bahkan suara wanita itu yang tadinya lirih berubah lebih tinggi tiba-tiba. "Jangan bercanda, Lan! Ibu tak suka!" ucap Bu Ayu dengan nada tegas. "Bu, Wulan tak bercanda. Memang demikian fakta yang sebenarnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah kenyataan yang ada."Akhirnya Wahyu ikut berbicara. Sebagai sulung keluarga Wiryawan, masalah ini jelas menjadi tanggung jawabnya. "Tapi bagaimana bisa? Bukankah pada saat Wulan dan Damar menikah jelas status keduanya sebagai gadis dan perjaka? Ibu tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti."Bu Yayuk semakin bingung. Terlebih mendengar kalimat yang diucapkan putranya. "Kalau untuk hal itu, Ibu jangan menanyakannya kepada Wulan. Damar tentu akan lebih dapat memberikan penjelasan."Tatapan mata Bu Yayuk berpindah ke arah Damar, menantu yang selama ini menjadi ke
Para pelayat satu per satu pergi meninggalkan area pemakaman. Para kerabat pun mendekati Bu Yayuk dan anak-anaknya, memohon izin untuk pulang lebih dulu. Hanya tersisa keluarga besar Wiryawan saja. Tiga pasang anak menantu, lima orang cucu, dan seorang wanita yang resmi telah menyandang gelar sebagai seorang janda. "Ibu tak menyangka jika ayah kalian akan pergi secepat ini. Padahal kondisi Ayah sebelumnya sudah membaik. Entah mengapa tiba-tiba menurun lagi."Isakan tangis Bu Yayuk masih terus terdengar. Sementara ketiga anaknya nampak diam dengan wajah yang sama sembapnya. Seluruhnya berjongkok, mengelilingi gundukan tanah merah yang masih basah. "Wahyu, Firman, ayah kalian sudah tak ada. Pelindung keluarga ini sudah tak ada. Tanggung jawab itu ada di pundak kalian sekarang."Kalimat itu diucapkan Bu Yayuk dengan lirih. Bulir bening membasahi pipi. Tak menyangka jika secepat ini lelaki halalnya akan pergi. Wahy
"Siapa?" tanya Firman dan Wahyu serempak. Raut wajah Wulan terlihat jelas menunjukkan kebingungan. Dan membuat kedua lelaki itu fokus pada bungsu mereka. Tanpa menjawab Wulan segera mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tentu saja setelah menggeser tombol hijau yang ada pada layar pipih itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa? Maaf Wulan masih ada urusan sedikit yang harus diselesaikan. Jadi agak lama. Kak Ayu sudah membawakan Ibu nasi bukan? Ibu masih mau dibelikan nasi bungkusnya?"Wulan hendak memperjelas ucapan abangnya tadi. Jangan sampai dirinya disalahkan oleh sang ibu. "Waalaikum salam. Bukan masalah nasi Ibu, Wulan. Kalian dimana sekarang? Kedua abangmu pun tak ada. Ayah tiba-tiba kritis."Sontak saja Wulan menutup pembicaraan itu tanpa mengucap salam sama sekali. "Ayah kritis."Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Wulan. Kakinya melang
Mengabaikan pesan itu, Wulan menggerakkan layar pipih dengan cepat. Menekan tombol hijau saat menemukan kontak Firman Maulana, abang keduanya. Tak ada jawaban meskipun panggilan terhubung. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Dengan langkah yang cepat dan panjang, Wulan bergegas menyusul Wahyu. Membiarkan pikirannya berkecamuk seiring ayunan langkah. Benar saja, dugaan Wulan tak salah. Langkah gegasnya ke kamar inap sang ayah terhenti ketika melihat abang sulungnya itu ada di dekat kamar kecil.Tak hanya sendiri, lelaki berpakaian seragam putih itu bersama Firman. Menggiring Damar ke arah rerimbunan melati yang letaknya cukup tersembunyi. Wulan semakin mempercepat langkahnya. Melihat gelagat abangnya, Wulan yakin keributan akan terjadi setelah ini. "Aku hanya ingin bertanya, apa benar semua yang sudah diceritakan Wulan kepadaku tadi?"Benar saja. Wahyu sedang menginterogasi Damar.
Memilih diam dalam pergulatan batinnya saat ini. Hanum sudah pasti akan terus menerornya nanti. Wulan pun tahu semuanya pasti akan terungkap nanti. Hanya masalah waktu, bom ini akan meledak kapan pun. "Abang memang tak dekat denganmu, Lan. Tapi bukan berarti Abang akan membiarkanmu sendiri. Terlebih saat adik Abang punya masalah."Akhirnya Wahyu buka bicara kembali. Sementara Wulan tetap dalam kegamangan hatinya. "Melihat sikapmu saat ini, Abang ikut merasakan yakin jika naluri Ibu benar. Kamu punya masalah yang disimpan sendiri."Menguatkan diri, Wulan tak ingin menangis lagi. Mungkin dirinya memang harus berbagi. "Kami keluargamu. Sampai kapan pun kamu menyimpan masalah itu, pada akhirnya keluarga akan menjadi tempatmu kembali."Pilu menggores bilik hati Wulan seketika. Haru menyeruak dada. "Bang, aku melakukan kesalahan. Kesalahan besar dalam hidupku."
[Mas Damar pulang tadi malam dengan alasan pekerjaan. Aku yakin itu hanya kebohongannya yang entah untuk keberapa kalinya. Dan aku yakin kepulangan lelaki itu karena dirimu bukan?]Wulan memejamkan mata setelah membaca pesan itu. Wanita ini kembali membuat perasaannya tercabik-cabik. Apa maksud wanita ini? Mengapa Hanum harus mengirimkan pesan ini kepadanya? [Aku tak pernah meminta Mas Damar pulang, Mbak. Kenapa Mbak tak tanyakan saja langsung alasannya pulang lebih awal?]Memilih membalas, Wulan tak suka dengan tuduhan Hanum ini. Ada geram yang memenuhi ruang hati Wulan. Dirinya disalahkan. Padahal dirinya tak tahu apa-apa. Jika boleh meminta, Wulan berharap Damar tak muncul lagi di hadapannya. Tak perlu ada perdebatan panjang untuk membahas masalah mereka. Perpisahan jelas lebih baik baginya saat ini. Wulan menatap layar pipihnya. Tampak tulisan mengetik terlihat di sana. Wanita itu tampaknya m