Vincent menarik tangan Stela memasuki kawasan Kota Tua. Sebuah bangunan tua berwarna putih dengan atap khas bangunan Belanda, berdiri megah di kota Jakarta. Di depan bangunan besar berwarna putih itu terdapat area untuk pengunjung bermain sepeda atau hanya sekedar berjalan kaki.
Pria itu menggenggam jemari Stela dengan terus melangkah ke tempat penyewaan sepeda. Meski ramai pengunjung, tidak menyurutkan niat Vincent untuk mengajak Stela bermain kendaraan roda dua tersebut.
“Kamu suka warna yang mana?”
“Apa aja sih,” sahut Stela sambil menggaruk kepala tak gatal.
Dia benar-benar bingung dengan perlakuan Vincent hari ini, berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Apalagi pertanyaan yang diajukan Stela tidak dijawab hingga saat ini. Hanya sebuah cengiran yang diperlihatkan pria itu.
Vincent memasangkan topi lebar berwarna biru, khas Noni Belanda di kepala Stela. Dia juga memasang topi di kepalanya sendiri.
Pria itu naik ke atas
Perlahan Stela meletakkan kepala Vincent di atas bantal. Setelah memastikan pria itu telah tidur, ia kembali ke kamar. Suasana hatinya sangat kacau, benar-benar kalut jika tidak segera diselamatkan.“Gue nggak boleh jatuh cinta sama Vincent. Usaha penyembuhannya nggak akan maksimal jika ada perasaan di hati gue,” gumam Stela sambil mondar mandir di dalam kamar.Berkali-kali ia mengusap wajah, menyeka rambut dan melakukan tindakan lain khas orang-orang yang sedang gusar.“Gue harus cari cara agar perasaan Vincent nggak semakin menjadi-jadi. Gue ini profesional, psikiater profesional. Oke?” Stela kembali bicara pada dirinya sendiri.Stela benar, jika saja memiliki sedikit perasaan pasti akan menghambat pekerjaannya. Apalagi trauma yang dialami Vincent berkaitan dengan calon istrinya. Bagaimana jika ia cemburu saat pria itu mulai ingat, bahkan meraung menangis ketika mengetahui wanita yang dicintai, meninggal di saat yang bersamaan de
Vincent tersenyum menanti jawaban Stela. Gadis itu masih diam tak berkedip selama dua menit.“Gemesin banget sih kamu,” ucap Vincent sambil mengelus pipi chubby Stela.“Nggak ada syarat lain, Vin? Masa mau pinjam laptop dan kamera doang harus terima cinta lo sih? ‘Kan nggak keren,” tawar Stela dengan suara pelan sekali.“Syaratnya gampang kok. Tinggal jawab yes or no.” Vincent mengedipkan mata.“Harus banget nih?”Vincent mengangguk yakin dengan senyum masih mengembang. Belakangan ini dia menjadi banyak tersenyum, seakan ada yang merasukinya.Mampus. Gue harus gimana nih? Nggak dijawab, dia nggak mau kasih dan kalau nggak dikasih gue— batin Stela meronta-ronta.“Jadi?” Vincent memiringkan kepala dengan mata berkedip pelan.“Ya Allah. Lo kok jadi begini sih? Kayak orang kerasukan tahu. Serem gue lihatnya.” Stela pura-pu
Keesokan pagi sekali, Stela mengendap-endap keluar dari kamar kemudian mengetuk pintu kamar Vincent. Setelah menunggu lima menit, pintu terbuka. Pria itu melihatnya dengan kening berkerut sambil sesekali menguap.OMG, bangun tidur aja udah ganteng kayak gini. Stela mendadak cengo melihat Vincent berdiri sambil mengucek mata.“Siapa ya?” tanya Vincent bingung.Stela menggenggam erat laptop dan kamera yang ada di pangkuannya.“Saya Auristela Indira, psikiater pribadi yang merangkap sebagai sekretaris pribadi Bapak.” Stela mengulas senyum di bibirnya.Vincent kembali masuk ke kamar sebentar, lalu kembali lagi dengan membawa selembar foto. Dia mendekatkan foto itu ke wajah Stela memastikan gadis itu tidak berbohong.“Saya benar-benar psikiater Bapak. Kamar saya di sana,” jelas Stela menunjuk ke arah kamarnya.“Saya mau mengembalikan laptop dan kamera yang saya pinjam tadi malam.” St
Sepuluh menit mengamati Bastian, Stela bisa menarik kesimpulan ada sesuatu yang disimpan oleh pria itu. Pertemuan di gedung Nusantara Senayan bukanlah pertemuan pertamanya dengan Vincent. Dia belum mendapatkan clue apa-apa tentang anggota dewan termuda itu. “Terima kasih atas kesediaan Pak Bastian untuk interview dua bulan lalu, karena itu rating acara naik drastis untuk slot malam,” ucap Stela tersenyum kepada Bastian. “Ah, itu karena stasiun televisi milik Pak Vincent sudah terkenal.” “Bapak bisa aja. Ini karena Bapak yang menjadi idola kaum emak-emak dan milenial sehingga banyak yang menonton acaranya,” puji Stela berusaha terlihat wajar. “Kalau begini ada traktiran dong, Mbak Auristela?!” canda Bastian. “Boleh, Pak. Nanti bisa saya tagih kepada bos,” balas Stela sambil mengerling ke arah Vincent. “Silakan pesan, Pak. Saya yang traktir,” imbuh Vincent. Bastian menggosok kedua tangan lalu mengambil
Stela mondar-mandir di kamar, begitu pulang dari kantor. Dia masih memikirkan pertanyaan yang diajukan oleh Vincent, setelah makan siang bersama dengan Bastian. Gadis itu menyangkal semua dan tetap bersikeras mengatakan tidak pernah ada hubungan apa-apa di antara mereka, selain hubungan profesional. Tarikan napas berat terdengar dari hidungnya. Stela butuh teman bicara yang bisa dipercaya saat ini. Uda Garry? Santi? Kepalanya langsung menggeleng memikirkan kemungkinan curhat kepada siapa. Gadis itu mengetuk-ngetukkan ujung jari telunjuk kanan di pelipis, memikirkan harus berbicara dengan siapa? Dua menit kemudian, bola matanya terangkat ke atas bersamaan dengan jari telunjuk. “Candra,” gumamnya. Stela bergegas turun ke lantai bawah menemui Candra. Dia mencari ke taman belakang, ruang kerja Vincent, ruang santai dan depan rumah. Pria itu tidak ditemukan. Stela mendesah ketika gagal menemui Candra. “Kamu cari siapa?” Terdengar s
Stela terpekur mendengarkan pertanyaan Candra. Hening, bukan karena tak tahu harus menjawab apa? Tapi ingin kembali merenungi dan menyelami hati. Benarkah tidak ada perasaan lebih kepada Vincent?Perlahan kepalanya bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak boleh ada perasaan lebih, Can. Gue ini psikiater profesional,” tegasnya kemudian.Candra mendesah masih menatap lekat Stela. “Jika pak Vincent bukan pasien kamu, apakah kamu akan melihatnya sebagai pria?”Bola mata Stela terangkat ke atas dengan bibir saling berimpitan. Dia kembali menggelengkan kepala dengan cepat. Menepis sebuah rasa yang menyelinap di hati.“Kalau memang tidak ada perasaan dengan pak Vincent...” Candra memberi jeda sesaat, sebelum melanjutkan perkataannya. “Masih ada harapan untukku dong?”Kening Stela berkerut seiringan dengan sorot mata bingung. “Maksudnya apa nih? Gue nggak ngerti. Beneran!”Candra mengibaskan tang
Mata elang Vincent memandangi netra cokelat milik Stela bergantian. Sebuah senyuman terukir di bibirnya ketika mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tadi.“Dari cara kamu membalas tadi, jelas ini bukan yang pertama kali kita berciuman. Saya benar, ‘kan?” ujar Vincent kemudian.Stela memejamkan mata lama. “Nggak! Ini baru pertama kali.”“Masa sih?” Vincent tersenyum nakal.“Beneran. Gue ... Saya nggak bohong, Pak.”“Tapi kamu membalasnya, Stela.”“Apa ada alasan untuk nggak membalas ciuman dari pria tampan seperti Bapak?” Saking paniknya Stela sampai mengeluarkan kata-kata seperti itu.Raut wajah Vincent berubah seketika. “Apa maksud kamu?”“Maksudnya ... Saya membalas karena Bapak ganteng, jadi ya kenapa nggak dinikmati aja?” Stela berbohong. Hatinya sakit ketika harus melontarkan kalimat itu.Pega
Stela melihat mata sipit Candra bergantian. Dia menggigit bibir bawah ragu apakah harus mengatakan apa yang sedang dirasakannya atau tidak.“Gue ... Gue merasa bersalah sama Pak Vincent, Can,” ungkap Stela setelah diam beberapa saat.“Kenapa?”“Rasanya gue jahat, karena udah bohongin dia.” Stela menundukkan kepala lesu.“Hanya itu saja? Tidak ada yang lain?”Stela menggelengkan kepala.“Sekarang jujur sama aku, Stela. Anggap aja aku ini kakak kamu atau orang yang bisa kamu percaya.”Gadis itu mengangkat kepala perlahan, lalu melihat Candra dengan kening berkerut.“Kamu beneran nggak ada perasaan apa-apa sama Pak Vincent?” selidiknya.Stela diam, tidak menjawab pertanyaan Candra.“Sekarang kamu ragu, ‘kan?” Candra menarik napas berat, kemudian berkata lagi. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu baik-baik. Jangan sampai menyesal
Widya berdiri terpaku saat melihat Vincent membawa Stela ke rumah keluarga Oliver. Pandangannya beralih ke arah perut menantunya yang mulai membesar. Apalagi Stela mengenakan celana yang lebih longgar dari biasanya.Stela tersenyum gugup saat bertemu dengan ibu mertua. Dia masih belum berani menatap lama Widya, karena khawatir akan diusir dari rumah itu.“Ingatanku sudah utuh lagi, Ma,” ungkap Vincent membuat Widya menelan ludah.“Aku ingat dengan pernikahanku dan siapa istriku.” Vincent menarik napas sambil menggandeng tangan Stela, lalu duduk di sofa ruang keluarga.“Kenapa Mama nggak kasih tahu tentang Stela?” tanya Vincent.Widya diam tanpa menjawab pertanyaan Vincent. Hatinya kini seperti ditusuk jarum halus, perih saat membayangkan bagaimana perlakuannya kepada Stela.“Mama khawatir kalau kamu shock lagi, Vin. Jadi kami merahasiakannya dari kamu dulu,” komentar Stela membuat Widy
Stela sedang tiduran di atas paha Vincent. Suami istri itu duduk di sofa apartemen yang baru ditempati selama empat hari, sebelum Stela memutuskan membawa suaminya ke tempat peristiwa pembunuhan Kirania terjadi.Vincent membelai lembut kening Stela sambil memandang wajah yang tampak begitu cantik di matanya.“Kamu ngidam sesuatu nggak, Sayang?” tanya Vincent memecah keheningan.Stela menggelengkan kepala. Kehamilannya berbeda dari kehamilan pada umumnya. Biasanya pada trimester pertama, para ibu hamil terserang morning sickness, tapi tidak dengan wanita itu. Dia hanya merasakan pusing pada awal kehamilan, karena kurang asupan makanan.“Wah! Istri saya hamilnya anteng sekali ya. Nggak ngidam dan nggak mual-mual juga,” puji Vincent.“Mungkin awal-awal hamil cobaannya udah berat kali ya, jadinya Allah kasihan lihat aku kalau harus kena morning sickness juga,” komentar Stela sambil nyengir.S
Kepala Vincent perlahan mundur ke belakang setelah tautan bibir mereka terlepas. Senyuman kembali tergambar di wajah Stela yang masih terlihat pucat. Tilikan mata pria itu beralih ke arah kalung berliontin bunga mawar. Di sana juga tergantung sebuah cincin, seperti cincin pernikahan.Vincent melihat jari kanan Stela, kemudian beranjak melihat cincin dengan bentuk serupa, namun berbeda ukuran. Dadanya terasa sesak ketika ingat pernah melempar cincin itu ke lantai sesaat setelah sadar.Mulut Vincent terbuka lebar saat merasakan udara mendadak lenyap di sekitar. Dia mengambil napas sebanyak-banyaknya sehingga dada bidang itu naik turun. Pria itu melangkah ke luar ruangan, lalu mengeluarkan ponsel.“Halo, Can. Bisa ke rumah sakit sekarang? Ada yang mau saya pastikan sama kamu,” kata Vincent setelah mendapatkan jawaban dari Candra.“Saya tunggu di kamar tempat Stela dirawat,” pungkasnya sebelum mematikan sambungan.Vincent menger
Sudah dua jam Vincent duduk menyandar di headboard tempat tidur. Sejak tadi malam dia tidak bisa tidur, karena wajah Stela selalu menari di pelupuk mata. Keningnya berkerut memikirkan, kenapa wanita yang baru ditemuinya kemarin siang selalu menghiasi pikiran?“Aku Stela, istri kamu.”Kalimat itu kembali terngiang di telinga bagaikan kaset kusut yang diputar berulang-ulang.“Apa dia wanita yang sama? Ah, saya nggak ingat persis gimana wajah wanita yang pertama kali saya lihat waktu pertama kali sadar,” gumam Vincent.Pria itu memejamkan mata beberapa saat sambil mengucapkan nama Stela berkali-kali. Dia seperti pernah mendengar nama tersebut jauh dari sebelum sadar. Tapi di mana?Vincent memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya dia mengenakan kemeja non formal dipadu dengan celana katun yang biasa dikenakan untuk bepergian selain ke kantor.Pria itu terdiam mematut dirinya di cermin. Kening
Air mata menetes di sudut mata Stela saat melihat sepasang mata elang yang mengingatkan kepada Vincent. Tubuhnya masih tergantung dengan posisi condong ke belakang, tertahan di tangan pria itu.“Maaf, tadi saya buru-buru jadi tidak melihat Mbak berjalan dari arah berlawanan,” ucap suara bariton yang sangat mirip dengan Vincent.Pria itu kembali menarik tubuh Stela ke posisi berdiri. Sementara mata cokelat lebar miliknya masih memandang paras yang benar-benar mirip dengan suaminya itu.Gue pasti sedang berhalusinasi sekarang. Kenapa mata, suara dan wajah orang ini mirip dengan Vincent? batin Stela saat tubuhnya diam terpaku tanpa reaksi apa-apa.“Mbak? Halo? Mbak baik-baik saja, ‘kan?” Pria mirip dengan Vincent itu menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Stela.“Eh? Ya,” jawabnya singkat.Pria itu mengamati pakaian Stela, kemudian beralih ke wajahnya yang tampak pucat.&ldq
Mata lebar milik Stela perlahan mengerjap. Setelah terbuka sepenuhnya, pandangan netra cokelat itu menyapu ruangan yang didominasi warna putih. Ketika menyadari keberadaannya sekarang, dia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Saat mengangkat tubuh, kepala kembali terasa pusing sehingga tubuh Stela terbaring lagi di atas kasur.“Dokter, Stela sudah sadar.” Samar terdengar suara seorang wanita yang akrab di telinga Stela memanggil dokter.“San, gue di mana sekarang?” lirih Stela sambil menggapai ke arah Santi. Dia melihat selang infus yang terpasang di tangan kirinya.Gadis itu segera mendekati Stela yang masih lemah. “Alhamdulillah. Syukurlah kamu udah sadar, Stela.”Stela mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ternyata Santi membawa dirinya ke rumah sakit Puri Mekar dan sekarang berada di ruang IGD.“Kenapa gue ada di sini?” tanya Stela dengan kening berkerut.“Kamu tadi
Flashback OffSatu minggu kemudianSepasang mata elang tampak mengerjap pelan saat matahari merambat melalui celah tirai kamar berukuran besar. Vincent menaikkan tangan kanan menghalangi sinar mentari yang menyapa wajahnya. Dia meregangkan tubuh, sebelum beranjak ke posisi duduk.Desahan pelan keluar dari sela bibir, karena selama satu minggu ini hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan berarti. Hari ini dia telah memutuskan untuk membuka kembali file investigasi tentang siapa Bastian sebenarnya. Setelah hal itu terkuak, maka akan mudah baginya menyeret pria itu ke penjara dengan kasus pembunuhan Kirania.Tidak ada kesedihan sedikitpun terpancar di wajahnya saat ini. Pengkhianatan wanita itu telah memangkas habis rasa cinta yang pernah tertanam di dalam dirinya. Meski begitu, kejahatan yang dilakukan oleh Bastian harus mendapat balasan.Vincent mengambil ponsel dari atas nakas, kemudian menghubungi Candra.“Halo, C
Flashback ONSeorang pria tampak berdiri di depan flat apartemen. Sebuah senyuman terukir di wajahnya menanti pintu dibuka dari dalam. Tak perlu menunggu lama, pintu itupun tersingkap.Mata elangnya segera menangkap sesosok wanita cantik berwajah mungil dengan mata hitam pekat kecil. Sepasang gigi berukuran besar dan panjang di bagian tengah terlihat saat senyuman terulas di paras cantiknya. Sesaat kemudian wanita berambut panjang tergerai indah itu berkacak pinggang.“Udah dibilang jangan datang, masih datang juga,” protesnya tanpa diiringi raut wajah kesal. Wanita itu malah tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Habis rindu, nggak tahan ingin bertemu dengan calon istri,” goda Vincent sambil melangkah memasuki flat.“Besok masih bisa ketemu, Pin-pin. Bandel banget dibilangin.” Wanita bernama Kirania itu melangkah menuju ruang tamu. “Lagian pamali ketemu di malam pernika
Stela meringis kesakitan terjatuh dari tempat tidur. Dia kembali berdiri saat mendengar Vincent meneriakkan nama Kirania. Hatinya terasa tersayat ketika nama itu keluar dari bibir suaminya begitu terbangun setelah hampir satu bulan tidak sadarkan diri.Perawat segera menelepon dokter Donny begitu melihat Vincent sadar.“Vin? Kamu nggak pa-pa, ‘kan?” tanya Stela panik saat melihat Vincent mencengkram kepalanya kuat.Dia membelai wajah Vincent sambil menatap netra yang sangat dirindukan. Sesaat Stela tersentak tidak mendapati sorot cinta yang diperlihatkan oleh pria itu kepadanya. Hanya tatapan dingin, seolah tidak mengenal siapa dirinya.“Kamu siapa?” Vincent bertanya setelah menepis tangan Stela yang berada di wajahnya.Pertanyaan itu bagaikan jarum yang menusuk relung hati, terasa perih namun tak terlihat bekasnya.“Aku Stela, istri kamu,” jawab Stela dengan pandangan tidak tenang.“Ist