Daniella membuka pintu dengan sedikit kesal ketika mendengar suara bel yang tidak berhenti. Namun, wajahnya langsung terkejut saat melihat Austin berdiri di depan pintu sekarang. "Sedang apa kau di sini?"Austin mendongakkan kepalanya, dan sehabis melihat wajah pria itu, Daniella baru sadar jika Austin sedang mabuk. Wajahnya memerah, serta aroma alkohol mulai tercium. "A-aku—“ Austin berdiam diri tanpa melanjutkan kata-katanya. Dia juga bingung kenapa bisa berada di sini, lebih tepatnya mengapa tadi Austin menujukkan alamat apartemen tempat Daniella tinggal, bukannya pulang ke rumah orang tuanya. "Kau mabuk, Austin? Kau ke sini bersama siapa?""A-aku diantar sopir yang aku sewa." Austin duduk di depan pintu karena kepalanya mulai terasa pusing. "Sialan! Aku benar-benar mabuk," gumam pria itu yang masih bisa Daniella dengar. "Kalau begitu cepat hubungi sopir sewa yang tadi membawamu kemari. Lagi pula kenapa kau datang ke sini, sih? Tengah malam lagi," ketus Daniella dengan rasa ke
"Dominic," panggil Anna ketika melihat pria itu muncul dari dalam kamar mandi, dan sudah mengenakan piama tidurnya. "Apa, Sayang? Kau butuh sesuatu?""Tidak. Baru saja Daniella menelpon dan mengatakan jika Austin berada di apartemen sekarang dalam keadaan mabuk parah. Dia memintamu untuk menjemputnya." "Austin ada di apartemen yang temanmu tempati?" tanya Dominic dengan salah satu alis yang terangkat. Dia tampak bertanya-tanya. Anna mengangguk. Sebelumnya Daniella menghubungi dirinya, dan mengatakan hal yang sama seperti yang dia sampaikan pada Dominic tadi. "Tapi kenapa dia ke sana?""Aku tidak tahu. Daniella bilang ponsel Austin mati. Jadi, dia tidak bisa menghubungi siapa pun, makanya dia meminta bantuanku untuk menyampaikan padamu."Dominic menghembuskan napasnya dengan kasar. Sekarang Dia benar-benar merasa bingung. Kenapa Austin bisa datang ke sana? "Dominic!" panggil Anna sekali lagi saat melihat Dominic termenung. "Kau harus menjemputnya, Daniella mungkin saja merasa sung
Austin memijit kepalanya yang terasa sakit. Mata pria itu juga seketika langsung terbelalak saat melihat cahaya matahari yang sudah terang. Berusaha mengingat apa yang terjadi semalam, Austin justru tampak seperti orang linglung saat melihat kondisi di sekitarnya. Ini bukan apartemennya atau rumah orang tuanya. Ini seperti ... tempat Dominic tinggal! Oh, astaga. Apa yang sudah terjadi, hingga Austin bisa berada di sini? "Bagaimana bisa aku ada di apartemen Dominic?" gumam Austin dengan mata melebar. Dia terus berusaha mengingat kejadian semalam. Perlahan Austin mulai ingat, saat dia mabuk kemudian memanggil sopir sewaan, setelah itu .... "Aku ke apartemen Daniella? Oh, shitt!" Pria itu menepuk kepalanya sendiri. Kenapa dia datang ke tempat gadis itu tinggal? Lalu sekarang bagaimana dia bisa ada di sini? Austin kembali memukul kepalanya sendiri. Dia pasti sudah melakukan sesuatu yang mungkin saja akan memancing masalah.Kalau tidak, tidak mungkin Daniella melibatkan Dominic. "
Anna bangkit dari sofa saat mendengar suara bel yang berbunyi. Dominic tidak mungkin pulang secepat ini. Jadi, siapa yang datang mengunjungi dirinya? "Tante.""Sudah kuduga, kau pasti ada di sini." Elena segera masuk tanpa menunggu Anna mempersilahkan lebih dulu. Tentu saja Anna tidak keberatan. Dia justru terlihat senang saat Elena datang, itu artinya, dia tidak akan merasa kesepian sembari menunggu Dominic pulang. "Dominic ke kantor?" Elena bertanya setelah tidak melihat keberadaan Dominic di mana pun. "Iya. Dia bilang pekerjaannya sedikit padat."Elena berdecak sebal mendengar jawaban Anna. Dominic itu sangat keras kepala, padahal dia sudah meminta anak itu untuk diam menjelang hari pernikahan mereka. "Kapan dia libur? Hari pernikahan kalian semakin dekat, dan kalian butuh banyak waktu untuk beristirahat agar tidak sakit nanti."Anna hanya mengangguk saja. Dia lebih memilih diam daripada harus berdebat dengan Elena. Anna tidak bisa berbuat apa pun karena Dominic sendiri yang
"Sialan!" maki Dominic setelah mendapatkan pertanyaan tak terduga dari Adam. "Kenapa kau begitu terkejut?""Anna bukan gadis seperti itu. Tutup mulutmu!" Dominic mengusap wajahnya yang terlihat gugup. Adam mengangguk, tetapi bukan berarti dia bisa langsung diam begitu saja. Rasa penasarannya kembali lagi saat melihat kegugupan di wajah Dominic. "Aku percaya jika Nona Anna bukan gadis yang seperti itu. Dia gadis yang baik, tapi aku tidak percaya padamu. Mana mungkin kau belum pernah mengajaknya bercinta selama berkencan?"Mata Dominic melotot tajam. Adam memang benar-benar menyebalkan! "Sudah cepat sana keluar!" perintah Dominic. Dia harus segera mengusir Adam dari sini. "Tapi dilihat dari semangatmu, sepertinya kalian belum pernah melakukan hubungan badan." Adam menyunggingkan senyum miring ke arah Dominic. "Ck, aku akui Nona Anna hebat karena bisa membuatmu bertahan selama beberapa bulan ini, tapi sepertinya kali ini kau kalah, Dom! Pesonamu yang biasa digunakan untuk menaklukka
Dominic tersenyum hangat saat melihat Anna berjalan keluar dari dalam klinik kecantikan. Dia berhasil membujuk ibunya dengan berbagai alasan. Tidak hanya sendiri, Anna keluar bersama dengan Elena juga yang tampak masam. Bagaimana tidak? Gara-gara Dominic dia tidak jadi perawatan dengan Anna. "Lain kali kalau kau mengganggu aku lagi, aku tidak akan melepaskanmu, Dom!" tukas Elena dengan wajah kesal. "Iya, Ma. Lagian Mama kenapa datang mendadak menjemput Anna, sih?" Dominic bertanya dengan mengedipkan sebelah matanya pada Anna, sebagai isyarat, bahwa dia sudah berhasil mengelabui Elena. "Ah, terserah Mama, dong! Sudahlah kalian langsung pergi saja sana, daripada terlambat."Dominic menyengir kuda dan langsung membuka pintu mobilnya. "Ayo, Sayang. Kita sudah ditunggu."Anna bertanya melalui sorot matanya. Jujur saja dia tidak tahu alasan apa yang Dominic pakai untuk mengelabui ibunya sendiri. Dominic tidak menjawab. Dia hanya membuka pintu dengan senyum lebar, lalu mempersilahkan An
Dominic mematung mendengar kata-kata Anna. Lebih tepatnya dia tidak percaya jika gadis itu bisa mengatakan hal mengenai anak, secepat ini. "Dominic!" panggil Anna dengan suara yang terdengar manja di telinga pria itu. "Bagaimana? Apa konsultasi seperti itu memang ada?""Aku akan meminta Adam mencari tahu nanti," jawab Dominic setelah melihat keyakinan di mata Anna. Senyum di wajah Anna langsung menghilang saat melihat Dominic diam tanpa ekspresi. "Kau tidak senang, Dom?""Tidak senang?" tanya Dominic kebingungan. "Hm, kau terlihat tidak senang saat aku bilang ingin segera punya anak nanti. Wajahmu datar tanpa ekspresi apa pun."Dominic menggeleng kuat. "Aku hanya kaget saja tadi, Sayang." Kini mata Dominic berbinar bahagia. Dia benar-benar merasa senang sekarang. "Setelah aku mendapatkan informasi, kita akan langsung berkonsultasi.""Terima kasih." Anna hanya tersenyum saja karena dia sedang menahan diri untuk tidak mencium Dominic. Kalau ada yang melihat, mereka mau bilang apa ka
Anna menatap dirinya sendiri di depan cermin dengan dada berdebar. Tangan gadis itu juga terasa dingin. Ini adalah hari yang selama ini dia nantikan. Menjadi seorang pengantin wanita dari Dominic Leonardo Williams. "Kau kelihatan sangat cantik, An," bisik Daniella dengan tersenyum lebar. Dia merengkuh pundak Anna yang kelihatan gugup. Tidak hanya Daniella, ada Emily dan juga Emma di dalam kamar ini. Mereka bertiga datang untuk mendampingi Anna ke altar pernikahan. "Daniella benar. Kau sangat cantik, Anna." Emily berseri, meskipun di dalam hatinya dia merasa iri dengan Anna. Seharusnya dia bisa jadi pengantin juga seperti Anna, tetapi nasib berkata lain. Meskipun begitu, Emily tetap tersenyum bahagia. "Aku sangat gugup sekarang." Anna mengulurkan tangannya, dan diraih oleh Daniella. Tangan gadis itu benar-benar terasa dingin. "Atur pernapasanmu, An. Sebentar lagi kau akan menyandang gelar Nyonya Williams. Selamat untukmu." Daniella mencium pipi Anna. Dia ikut terharu melihat A
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,