Elena membenarkan posisi duduknya. Dia tidak mengangguk dan tidak juga menggeleng. "Akan kami pikirkan nanti. Buktikan saja ucapanmu, Dom. Kau bilang kemarin akan membuktikan jika dia pantas bersanding denganmu, bukan?"Dominic menarik sudut bibirnya membentuk senyuman lebar. "Ya, akan kubuktikan," jawab Dominic senang. Itu artinya hubungannya dengan Anna sudah melangkah satu titik lebih maju. "Tapi dengan satu syarat!""Syarat?""Ya, jangan katakan padanya jika aku ibumu!"***Dominic kembali ke rumah sakit dengan perasaan senang. Tadinya dia khawatir dengan keputusan kedua orang tuanya setelah kabar miring yang tersebar pagi tadi. Namun, ternyata itu semua hanya ketakutan Dominic saja. Ibunya justru menyuruhnya membawa Anna ke pesta hari jadi pernikahan mereka di bulan depan. Dominic meraih gagang pintu dengan senyum yang masih terus mengembang. Ceklek! Saat membuka pintu, hatinya menghangat ketika melihat Anna sudah tidur dengan damai. Meskipun mereka sempat sedikit berdebat s
Emma menatap Anna yang sedang duduk dengan wajah muram, tidak seperti biasanya yang selalu kelihatan ceria. Sejak dia datang tadi, kekasih bosnya itu lebih banyak diam. "Anna, kau sedang memikirkan sesuatu?""Eh, tidak." Anna tersenyum kecil secara terpaksa. Lalu dia kembali menatap ke luar jendela. Musim semi sudah di depan mata, ditandai dengan daun-daun pepohonan yang mulai hijau kembali. Seharusnya, Anna senang menyambut musim semi kali ini. Akan tetapi, gadis itu merasakan sebaliknya. Apalagi setelah mengingat perdebatannya dengan Dominic kemarin. "Lalu bagaimana dengan rumor tentang kita yang sudah tersebar luas, Dom?"Deg!Dominic langsung terdiam mendapat pertanyaan yang tidak pernah dia sangka sebelumnya. Dia pikir Anna belum tahu mengenai kabar yang sedang beredar sekarang. "Kau sudah membaca berita itu?""Aku bahkan sudah melihat semua berita yang beredar di televisi pagi tadi, Dom. Kau sengaja menyembunyikan ini dariku?""Tidak, Sayang." Dominic langsung mendekat da
Anna menatap Dominic yang sedang membantu mengganti pakaiannya. Pria itu dengan sabar mengurus Anna sejak sakit. "Kita pulang sekarang, Dom?""Hm. Tunggu dokter datang sebentar lagi. Katanya ada beberapa hal yang masih harus dibahas.""Huh, akhirnya. Aku sudah bosan berada di rumah sakit terus."Dominic tersenyum tipis menanggapi ocehan Anna. Dia mendongakkan wajahnya dan memandangi wajah Anna yang bersinar akibat terkena sinar matahari. Gadis itu seperti dewi yang turun dari kayangan sekarang. "Setelah pulang, kau tetap harus istirahat. Kata dokter bekas operasinya belum sembuh total. Jadi, jangan terlalu aktif dulu," tukas Dominic dengan sedikit menyindir. Dia sengaja mengatakan hal itu agar Anna mau menurutinya. Anna adalah tipe orang yang tidak bisa diam, hingga Dominic harus terus mengingatkannya seperti ini. "Iya, aku tau," ucap Anna pelan. "Kita pulang ke apartemenku, kan?"Dominic menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyisir rambut Anna, lalu dia terdiam sejenak sepe
Di tengah suasana makan malam, Anna hanya bisa menatap Dominic yang masih mendiamkannya sejak siang tadi. Pria itu sepertinya masih kelihatan cukup kesal dengan ide Anna agar mereka tidak bertemu dulu untuk beberapa hari ini. "Dominic."Dominic menghembuskan napasnya dengan kasar saat Anna kembali memanggil namanya. Gadis itu sangat keras kepala! "Aku tidak akan menyetujui saranmu, Anna.""Coba kau pikirkan dulu dengan kepala dingin, Dom. Kita hanya tidak bertemu untuk beberapa hari saja, sampai berita ini mereda. Aku bukan meminta kita untuk berpisah.""Jadi, kau ingin kita berpisah?" tanya Dominic yang sedikit salah paham. Dia sampai tidak bisa berpikir jernih karena permintaan Anna sejak tadi. "Aku tidak berkata seperti itu, Dom. Kau salah paham lagi dengan ucapanku." "Kau baru saja mengatakannya, Anna. Lagi pula aku sudah bilang padamu, bukan? Fokus saja dengan kesembuhanmu, jangan memikirkan masalah sepele seperti ini.""Masalah sepele?" Nada suara Anna berubah menjadi sedi
"Anna—“ Dominic terpaku di ambang pintu kamar, saat melihat Anna terduduk di dekat pintu balkon kamar, dengan posisi memeluk kedua kakinya. Gadis itu menutup kedua telinganya dengan wajah pucat yang baru Dominic sadari setelah beberapa menit. Awalnya, Dominic tidak tahu apa yang sedang terjadi, dia pikir Anna masih kesal dengannya. Namun, saat suara petir kembali terdengar dan melihat Anna semakin beringsut ketakutan, Dominic pun baru paham dengan situasinya. Anna takut dengan petir dan kilat! "Anna, apa yang terjadi?" Dominic langsung berlari dan memeluk gadis itu dengan erat, seolah menyalurkan ketenangan agar Anna tidak perlu ketakutan lagi. Meski masih menutup matanya, tetapi Dominic dapat merasakan tubuh Anna yang gemetar hebat. Telapak tangan gadis itu sangat dingin dengan bulir-bulir keringat yang membasahi dahinya. Dominic terdiam. Dia baru ingat kejadian di Vermont sebelum musim dingin datang kemarin. Saat Anna tampak ketakutan sebelum hujan turun, setelah petir kuat
"Hah!" Anna terbangun dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Dia melirik ke samping dan melihat Dominic yang masih memeluknya dengan kencang. "Kau sudah bangun, Sayang?" tanya Dominic dengan suara serak. Dia terusik dengan pergerakan Anna tadi, hingga berusaha membuka matanya dan menatap Anna yang sedang duduk dengan sedikit gelisah. "Ada sesuatu yang terjadi?""Tidak, Dom. Kau tidak ke kantor hari ini?" tanya Anna yang mencoba mengalihkan perhatian Dominic. Dominic mengambil ponsel dan memerhatikan jam dengan pandangan yang masih sedikit buram. "Ini weekend.""Ah, iya. Aku lupa." Anna menyunggingkan senyumnya dengan lebar. "Bagaimana keadaanmu hari ini, sudah baikan?" Dominic bermaksud menanyakan keadaan gadis itu setelah kejadian malam tadi. Anna terdiam sejenak. Lantas dia mengingat bagaimana pria itu menenangkannya malam tadi. "Ah, aku baru ingat. Aku pasti merepotkanmu malam tadi 'kan, Dom?""Tidak. Kenapa kau tidak bilang jika takut dengan hujan dan petir, Sayang?"Anna me
Anna bergegas turun ke bawah saat melihat kondisi toko yang sudah ramai. Dia bisa melihat jika Emma cukup kewalahan melayani para pelanggan. Entah karena rumor kemarin yang mengatakan jika Dominic berkencan dengannya, ataupun bukan, tetapi keadaan toko kue tersebut memang lebih ramai dari biasanya. "Aku bantu." Anna langsung mengambil alih meja kasir. Meskipun Emma ingin menolak, tetapi dia sangat yakin jika Anna akan bersikeras untuk tetap membantunya. Jadi, pada akhirnya gadis itu setuju dengan sebuah perjanjian yang dia ucapkan pada Anna, "Ingat, jangan terlalu lelah. Jika sudah sangat penat kau bisa beritahu aku, An. Aku tidak mau Tuan Dominic marah nanti.""Iya, aku akan langsung istirahat jika sudah lelah nanti."Mereka berdua bekerja dengan senyum lebar yang terus mengembang karena jujur saja meskipun lelah, Anna merasa senang pada akhirnya toko kuenya bisa seramai sekarang. Ya, walaupun yang datang adalah beberapa orang yang penasaran dengan rumor yang beredar kemarin. Me
Hamilton menatap istrinya yang pulang dengan wajah gusar. Tidak seperti biasanya yang akan tampak tenang setelah kembali dari luar. "Ada apa?"Elena memijit kepalanya yang berdenyut nyeri, setelah dia mendengar sendiri dari Anna jika pria tua—preman yang hampir merampok mereka pada hari itu adalah ayahnya. Ayah gadis itu? "Elena!""Jangan menggangguku dan banyak bertanya lagi, Pa! Aku sedang tidak mau bicara.""Bagaimana aku tidak mengganggumu atau bertanya, kau pulang dengan wajah seperti orang linglung begitu. Memangnya ada masalah apa?" tanya Hamilton yang masih sangat penasaran. Elena menjatuhkan dirinya di atas sofa dengan cukup kasar. "Anna ... orang tuanya. Ah, ayahnya adalah seorang preman yang hampir merampok kami berdua pada hari penyerangan minggu lalu itu.""Maksudmu pria tua yang datang pertama kali ke toko kue itu?" Hamilton bertanya sekali lagi. Sebelumnya dia sudah melihat salinan rekaman CCTV dari Adam. "Ya, benar!"Hamilton terdiam. Dia tidak tahu harus berbicar
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,