Tap! Tap! Tap!Aldebaran dan Zoya berlari semakin cepat. Sesekali Aldebaran melirik Zoya. 'Dia cantik banget. Pantes aja Leo sangat melindunginya,' pikir Aldebaran. "Tunggu!" Zoya berhenti berlari. Dia memegangi jantungnya dan mencoba mengatur napas. Wajahnya kian memucat. Aldebaran melepaskan tangan Zoya. "Kenapa, Nona?""Siapa kamu? Kok kamu kenal aku? Terus, gimana kamu bisa tau aku dalam bahaya?"Zoya bertanya dengan penasaran. Dia menunggu respon Aldebaran. "Sekarang bukan saat yang tepat untuk bertanya," jawab Aldebaran. "Kamu orang Indonesia, kan? Tapi, aku nggak yakin kamu bukan orang yang jahat." Zoya tetap bersikeras. Dia menjadi ragu-ragu. Kening Zoya berkerut. "Terus, gimana sama Kak Leo?""Aku akan jelasin nanti. Kamu tenang aja! Ada tenaga medis dan pihak kepolisian yang akan mengurus Kakak kamu," jawab Aldebaran, cepat. "Ayo Nona! Kita harus pergi dan bersembunyi!" ajak Aldebaran. Zoya tidak menjawab apa-apa. Dia hanya menatap Aldebaran dalam diam. Saat Aldeb
"Apa?! Jadi, dia menyaksikan Kakaknya tertembak? Kasihan sekali dia! Pantas saja tubuhnya bergetar."Dokter berkata apa adanya. Dokter dan Aldebaran sama-sama menatap Zoya yang terbaring lemah menutup matanya. "Lalu, bagaimana kondisinya?" tanya Aldebaran. Dokter berkata, "Saya sudah memberikan obat penenang. Dia akan tertidur. Saya harap, orang-orang terdekatnya bisa menjaga dia dengan baik.""Terima kasih, Dok," ucap Aldebaran. "Orang tuanya akan datang sebentar lagi. Bisakah Anda menolong saya?""Apa yang bisa saya bantu?" tanya Dokter. "Saya sedang mengejar pesawat yang akan berangkat 2 jam lagi. Tolong jaga Nona ini sampai orang tuanya datang!"Dokter tersenyum. "Jangan khawatir! Suster akan menjaganya."Aldebaran lega. Dia menyerahkan ponsel Zoya kepada dokter, lalu bergegas pergi.Aldebaran keluar dari ruang IGD. Dia berjalan menuju taman rumah sakit. Dia tidak pergi dari sana, tetapi mencari tempat aman untuk memastikan keluarga Alexander datang. "Tempat yang bagus untuk i
"Aku nggak ingat, Pa," sahut Zoya. "Karena saat itu, aku ketakutan."Sultan tidak puas dengan jawaban anaknya. Maka, dia bertanya lagi. "Terus, apa yang dia lakuin sama kamu?"Zoya mencoba mengingat-ingat. "Dia menggandeng tanganku dan ajak aku lari dari sana. Tapi tiba-tiba, aku pingsan. Saat terbangun, aku udah di sini.""Sayang sekali, Zoya," kata Sultan. "Papa akan cari tau laki-laki itu dan mengucapkan terima kasih.""Jangan lupa kasih tau aku, Pa!"Sultan mengangguk. "Apa dia masih muda?""Iya. Kenapa, Pa?" Zoya merasa ayahnya ini sedang merencanakan sesuatu untuk si pria. "Kalo dia masih muda, Papa akan mempekerjakan dia sebagai bodyguard kamu," kata Sultan. "Kamu setuju, nggak? Karena kamu butuh bodyguard, Zoya."Jantung Aldebaran kembali berdebar mendengarnya. Dia ingin tahu respon Zoya. "Nggak tau, Pa," jawab Zoya, ragu. Aldebaran kecewa mendengarnya. Dia akan mencari cara agar bisa berada di dekat Zoya. Dia ingin memastikan keamanan Zoya sekaligus menebus rasa bersalah
"Oh, Leo!" seru Amanda dengan santai. "Kamu tau apa tentang keluargaku, hah?!" Karena tinggi Amanda tidak sepadan dengan Aldebaran, dia berjinjit mengulurkan tangan. Amanda meraih topi Aldebaran. "Hei, jangan lancang!" tegur Aldebaran. Namun, terlambat! Amanda dengan mudahnya melepaskan topi Aldebaran. Sekarang, Amanda sudah mengenali sosok pria yang berdiri di hadapannya. "Aku udah tau, kalo itu kamu." Amanda menunjuk Aldebaran. "Kamu mau ngapain ke sini? Ini apartemen orang-orang kaya." Mata Amanda menatap Aldebaran lekat-lekat. Kemudian, muncul ekspresi yang tidak biasa. "Oh, aku tau. Kamu pasti kerja jadi tukang bersih-bersih di sini, kan?" Aldebaran menghela napas. Dia tidak ingin ambil pusing dengan pernyataan Amanda yang menghinanya. "Sini topiku!" pinta Aldebaran. Amanda mengabaikan Aldebaran. Dia justru semakin mendekatinya. "Kenapa kamu nggak jawab aku?" tanya Amanda. Melihat Aldebaran hanya terdiam, Amanda semakin penasaran dibuatnya. "Kamu ke mana aja?
"Silakan, Tuan Kells!" Shania mempersilakan. Setelah selesai makan, Shania mengajak Aldebaran ke pameran apartemen. "Ini adalah apartemen tipe A yaitu tipe studio."Aldebaran memperhatikan beberapa contoh apartemen yang diperlihatkan Shania. Seorang wanita gemuk dengan rambut dicepol dan make up tebal menghampiri Shania. Dia adalah Dara, atasan Shania. "Shania!" panggil Dara, ketus. Shania menoleh. "Ya, Bu?" "Cepet ke sini!" perintah Dara. Shania berkata, "Tuan, silakan lihat-lihat dulu! Saya akan kembali sebentar lagi."Aldebaran mengangguk. Sania pergi menghampiri Dara ke sudut. Dia melihat wajah masam Dara. Dara bertolak pinggang. "Kenapa kamu bawa calon pembeli kayak dia?""Maksudnya Ibu?" Dara menghela napas. Dia menunjuk Aldebaran. "Lihat aja penampilannya!"Shania akhirnya mengerti. "Bu, kita nggak bisa nilai seseorang dari penampilan luar aja. Karena banyak orang kaya yang hidup sederhana. Jadi, jangan sampai kita tertipu dengan penampilannya, Bu!""Halah, kamu tau ap
Deretan mobil mewah memenuhi showroom yang masih berlokasi di kawasan jalan haji Nawi 1 Jakarta Selatan. Aldebaran melihat satu persatu koleksi mobil mewah keluaran terbaru ditemani oleh Shania. "Silakan dilihat-lihat dulu, Mas!" seru pria berdasi yang berdiri di samping Aldebaran. "Ya," sahut Aldebaran. Lalu, dia berpaling pada Shania. "Apa mobil yang ini cocok buatku?" Aldebaran menunjuk satu mobil sport dua pintu buatan Jerman dengan logo biru putih yang melingkar. Mobil pilihan Aldebaran berwarna merah. Shania terkesiap mendengar pertanyaan Aldebaran. Pasalnya, dia juga memiliki satu mobil yang sama di garasi rumahnya. "Aーaku ...." Pria berdasi berkata, "Tuan, mobil ini adalah unit ke-4 dan baru aja tiba pagi tadi."Aldebaran mengernyit. "Maksudnya?" "Maksud saya adalah mobil ini hanya ada 7 unit di dunia, termasuk 4 unit di Indonesia." Pria berdasi menjelaskan dengan sabar. Aldebaran bertanya, "Siapa aja yang memilikinya di Indonesia?" "Dua diantaranya dimiliki oleh ....
"Apa?! Tadi kamu bilang apa?! Keluarga kita?!"Amanda semakin naik pitam setelah mendengar perkataan Shania.Semua orang tercengang melihat kejadian menghebohkan di showroom. Sebagian dari mereka berbisik-bisik dan sebagian lagi merekam kejadian itu. Plak!Masih dengan hobi yang sama, lagi-lagi Amanda mendaratkan tamparannya di pipi orang lain. Dan kali ini, korbannya adalah Shania. "Nona, apa yang kamu lakukan?" Aldebaran menarik Shania ke sisinya. Amanda menatap Aldebaran sinis. "Kedua mata kamu masih berfungsi, kan?!""Maksudnya?!" Aldebaran balik bertanya. "Nggak perlu banyak tanya. Seharusnya kamu tahu, apa yang aku lakuin Kak Shania! Cewek murahan ini adalah anak kandung dari seorang pembunuh. Ya, Ayahnya ... Paman Raga adalah seorang pembunuh."Shania tidak tahan lagi, dia berteriak, "Cukup, Manda!" Shania menangis. "Aku nggak tau, kalo Ayahku kayak gitu. Tapi, Ayahku nggak mungkin kayak gitu."Shania mengulurkan tangan kepada Amanda. "Jangan asal tuduh, Manda! Kasih aku bu
Setelah menyerahkan Shania kepada bodyguard keluarga Raga Alexander, Aldebaran tertidur. Dahi dan punggungnya banjir keringat. Dia bermimpi buruk tentang Zoya. Tidak lama, Aldebaran terbangun. Dia turun dari ranjang, lalu membuka laci kecil. Dia mencari-cari gelang milik Zoya. "Zoya, apa kamu baik-baik aja? Aku akan cari cara supaya bisa jaga kamu terus."Aldebaran menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 11:00 malam waktu Jakarta. Dia mencuci wajah dan berganti pakaian yang lebih kasual. "Malem ini, aku mau nyari Ron lagi di klub malam. Kali aja dia ada di sana."Tidak lama, Aldebaran sudah menyetir mobil barunya menuju Klub Malam Jenja. ***Tidak sampai satu jam, Aldebaran sudah sampai di tempat tujuan. Dia keluar dari mobil dengan santai. "Sebenernya, aku benci tempat ini. Tapi, apa boleh buat? Ron pasti ada di sini."Semua mata memandang Aldebaran. Tatapan orang-orang bercampur antara penasaran dan kagum. Bagaimana pun juga, Aldebaran masih muda. Wajahnya tampan dan mobil e
"Asal kamu tau, itu adalah kegagalan pertama dalam hidupku selama jadi sniper bayaran."Kata-kata Ron barusan menyadarkan Aldebaran dari lamunannya. Aldebaran masih tidak percaya dengan kenyataan. Sambil menatap Ron, Aldebaran berpikir, 'Jadi, sniper yang aku lihat di gedung pencakar langit itu adalah Red Devil alias Ronald Syahputra?! Nggak bisa! Aku nggak bisa biarin seseorang mengincar nyawa Zoya.'Bruk!Ron melepaskan cengkeramannya. "Kamu mau tau, apa yang akan aku lakuin dengan uang sebanyak itu?!"Aldebaran tidak bersuara. Itu karena benaknya dipenuhi oleh sosok Zoya. Hatinya benar-benar gelisah mendengar pengakuan Ron tadi. "Aku mau pensiun dari pekerjaan laknat ini," kata Ron, selanjutnya. Kini, tatapan Aldebaran dan Ron beradu. "Serius?!" tanya Aldebaran.Ron tidak menjawab. Dia menatap Aldebaran dalam diam. Aldebaran mendekati mobil Ron, lalu menendang ban bagian belakang. "Heh, kamu ngapain?!" tegur Ron. "Ban mobil kamu kurang angin," jawab Aldebaran, santai. Ron se
Aldebaran membalikkan badan. Dia melihat Ron berdiri sambil memperlihatkan wajahnya yang masam."Ron? Aku dari tadi siang nyari kamu ke apartemen. Tapi, kamu nggak ada. Kamu ke mana aja?"Aldebaran berdiri. Dia merasa ada yang tidak biasa pada Ron. Kawannya itu menjadi lebih pendiam daripada sebelumnya. Alis Aldebaran berkerut. "Kamu kenapa?" "Ikut aku ke luar!" ajak Ron. Dia berjalan lebih dulu. Tanpa banyak berpikir, Aldebaran mengeluarkan beberapa uang lembaran ratusan ribu. Dia meletakkan di atas meja."Ini bayar minuman dan uang muka. Lakuin tugas pertama kamu dengan baik!"Setelah melihat Nico mengambil uang itu, Aldebaran bergegas pergi menyusul Ron. Begitu sampai di luar, Ron masih terdiam. Aldebaran gregeten.Aldebaran bertanya, "Ron, kita udah di luar. Kamu kok tumben diem aja?"Aldebaran hendak merangkul pundak Ron. Namun tiba-tiba, Ron berbalik dan memukulnya.Buk! Buk! Buk!Ron melayangkan beberapa pukulan ke wajah Aldebaran. Aldebaran tidak sempat menghindar. Tubuh
Setelah menyerahkan Shania kepada bodyguard keluarga Raga Alexander, Aldebaran tertidur. Dahi dan punggungnya banjir keringat. Dia bermimpi buruk tentang Zoya. Tidak lama, Aldebaran terbangun. Dia turun dari ranjang, lalu membuka laci kecil. Dia mencari-cari gelang milik Zoya. "Zoya, apa kamu baik-baik aja? Aku akan cari cara supaya bisa jaga kamu terus."Aldebaran menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 11:00 malam waktu Jakarta. Dia mencuci wajah dan berganti pakaian yang lebih kasual. "Malem ini, aku mau nyari Ron lagi di klub malam. Kali aja dia ada di sana."Tidak lama, Aldebaran sudah menyetir mobil barunya menuju Klub Malam Jenja. ***Tidak sampai satu jam, Aldebaran sudah sampai di tempat tujuan. Dia keluar dari mobil dengan santai. "Sebenernya, aku benci tempat ini. Tapi, apa boleh buat? Ron pasti ada di sini."Semua mata memandang Aldebaran. Tatapan orang-orang bercampur antara penasaran dan kagum. Bagaimana pun juga, Aldebaran masih muda. Wajahnya tampan dan mobil e
"Apa?! Tadi kamu bilang apa?! Keluarga kita?!"Amanda semakin naik pitam setelah mendengar perkataan Shania.Semua orang tercengang melihat kejadian menghebohkan di showroom. Sebagian dari mereka berbisik-bisik dan sebagian lagi merekam kejadian itu. Plak!Masih dengan hobi yang sama, lagi-lagi Amanda mendaratkan tamparannya di pipi orang lain. Dan kali ini, korbannya adalah Shania. "Nona, apa yang kamu lakukan?" Aldebaran menarik Shania ke sisinya. Amanda menatap Aldebaran sinis. "Kedua mata kamu masih berfungsi, kan?!""Maksudnya?!" Aldebaran balik bertanya. "Nggak perlu banyak tanya. Seharusnya kamu tahu, apa yang aku lakuin Kak Shania! Cewek murahan ini adalah anak kandung dari seorang pembunuh. Ya, Ayahnya ... Paman Raga adalah seorang pembunuh."Shania tidak tahan lagi, dia berteriak, "Cukup, Manda!" Shania menangis. "Aku nggak tau, kalo Ayahku kayak gitu. Tapi, Ayahku nggak mungkin kayak gitu."Shania mengulurkan tangan kepada Amanda. "Jangan asal tuduh, Manda! Kasih aku bu
Deretan mobil mewah memenuhi showroom yang masih berlokasi di kawasan jalan haji Nawi 1 Jakarta Selatan. Aldebaran melihat satu persatu koleksi mobil mewah keluaran terbaru ditemani oleh Shania. "Silakan dilihat-lihat dulu, Mas!" seru pria berdasi yang berdiri di samping Aldebaran. "Ya," sahut Aldebaran. Lalu, dia berpaling pada Shania. "Apa mobil yang ini cocok buatku?" Aldebaran menunjuk satu mobil sport dua pintu buatan Jerman dengan logo biru putih yang melingkar. Mobil pilihan Aldebaran berwarna merah. Shania terkesiap mendengar pertanyaan Aldebaran. Pasalnya, dia juga memiliki satu mobil yang sama di garasi rumahnya. "Aーaku ...." Pria berdasi berkata, "Tuan, mobil ini adalah unit ke-4 dan baru aja tiba pagi tadi."Aldebaran mengernyit. "Maksudnya?" "Maksud saya adalah mobil ini hanya ada 7 unit di dunia, termasuk 4 unit di Indonesia." Pria berdasi menjelaskan dengan sabar. Aldebaran bertanya, "Siapa aja yang memilikinya di Indonesia?" "Dua diantaranya dimiliki oleh ....
"Silakan, Tuan Kells!" Shania mempersilakan. Setelah selesai makan, Shania mengajak Aldebaran ke pameran apartemen. "Ini adalah apartemen tipe A yaitu tipe studio."Aldebaran memperhatikan beberapa contoh apartemen yang diperlihatkan Shania. Seorang wanita gemuk dengan rambut dicepol dan make up tebal menghampiri Shania. Dia adalah Dara, atasan Shania. "Shania!" panggil Dara, ketus. Shania menoleh. "Ya, Bu?" "Cepet ke sini!" perintah Dara. Shania berkata, "Tuan, silakan lihat-lihat dulu! Saya akan kembali sebentar lagi."Aldebaran mengangguk. Sania pergi menghampiri Dara ke sudut. Dia melihat wajah masam Dara. Dara bertolak pinggang. "Kenapa kamu bawa calon pembeli kayak dia?""Maksudnya Ibu?" Dara menghela napas. Dia menunjuk Aldebaran. "Lihat aja penampilannya!"Shania akhirnya mengerti. "Bu, kita nggak bisa nilai seseorang dari penampilan luar aja. Karena banyak orang kaya yang hidup sederhana. Jadi, jangan sampai kita tertipu dengan penampilannya, Bu!""Halah, kamu tau ap
"Oh, Leo!" seru Amanda dengan santai. "Kamu tau apa tentang keluargaku, hah?!" Karena tinggi Amanda tidak sepadan dengan Aldebaran, dia berjinjit mengulurkan tangan. Amanda meraih topi Aldebaran. "Hei, jangan lancang!" tegur Aldebaran. Namun, terlambat! Amanda dengan mudahnya melepaskan topi Aldebaran. Sekarang, Amanda sudah mengenali sosok pria yang berdiri di hadapannya. "Aku udah tau, kalo itu kamu." Amanda menunjuk Aldebaran. "Kamu mau ngapain ke sini? Ini apartemen orang-orang kaya." Mata Amanda menatap Aldebaran lekat-lekat. Kemudian, muncul ekspresi yang tidak biasa. "Oh, aku tau. Kamu pasti kerja jadi tukang bersih-bersih di sini, kan?" Aldebaran menghela napas. Dia tidak ingin ambil pusing dengan pernyataan Amanda yang menghinanya. "Sini topiku!" pinta Aldebaran. Amanda mengabaikan Aldebaran. Dia justru semakin mendekatinya. "Kenapa kamu nggak jawab aku?" tanya Amanda. Melihat Aldebaran hanya terdiam, Amanda semakin penasaran dibuatnya. "Kamu ke mana aja?
"Aku nggak ingat, Pa," sahut Zoya. "Karena saat itu, aku ketakutan."Sultan tidak puas dengan jawaban anaknya. Maka, dia bertanya lagi. "Terus, apa yang dia lakuin sama kamu?"Zoya mencoba mengingat-ingat. "Dia menggandeng tanganku dan ajak aku lari dari sana. Tapi tiba-tiba, aku pingsan. Saat terbangun, aku udah di sini.""Sayang sekali, Zoya," kata Sultan. "Papa akan cari tau laki-laki itu dan mengucapkan terima kasih.""Jangan lupa kasih tau aku, Pa!"Sultan mengangguk. "Apa dia masih muda?""Iya. Kenapa, Pa?" Zoya merasa ayahnya ini sedang merencanakan sesuatu untuk si pria. "Kalo dia masih muda, Papa akan mempekerjakan dia sebagai bodyguard kamu," kata Sultan. "Kamu setuju, nggak? Karena kamu butuh bodyguard, Zoya."Jantung Aldebaran kembali berdebar mendengarnya. Dia ingin tahu respon Zoya. "Nggak tau, Pa," jawab Zoya, ragu. Aldebaran kecewa mendengarnya. Dia akan mencari cara agar bisa berada di dekat Zoya. Dia ingin memastikan keamanan Zoya sekaligus menebus rasa bersalah
"Apa?! Jadi, dia menyaksikan Kakaknya tertembak? Kasihan sekali dia! Pantas saja tubuhnya bergetar."Dokter berkata apa adanya. Dokter dan Aldebaran sama-sama menatap Zoya yang terbaring lemah menutup matanya. "Lalu, bagaimana kondisinya?" tanya Aldebaran. Dokter berkata, "Saya sudah memberikan obat penenang. Dia akan tertidur. Saya harap, orang-orang terdekatnya bisa menjaga dia dengan baik.""Terima kasih, Dok," ucap Aldebaran. "Orang tuanya akan datang sebentar lagi. Bisakah Anda menolong saya?""Apa yang bisa saya bantu?" tanya Dokter. "Saya sedang mengejar pesawat yang akan berangkat 2 jam lagi. Tolong jaga Nona ini sampai orang tuanya datang!"Dokter tersenyum. "Jangan khawatir! Suster akan menjaganya."Aldebaran lega. Dia menyerahkan ponsel Zoya kepada dokter, lalu bergegas pergi.Aldebaran keluar dari ruang IGD. Dia berjalan menuju taman rumah sakit. Dia tidak pergi dari sana, tetapi mencari tempat aman untuk memastikan keluarga Alexander datang. "Tempat yang bagus untuk i