Alena sangat menyayangi Aluna. Apa pun keadaannya, ia tidak pernah menghilang dari sekitar Aluna. Sebisa mungkin mereka selalu bersama, termasuk ketika kakaknya tiba-tiba pingsan di sekolah dengan hidung terus mengeluarkan darah, dan kemudian dilarikan ke rumah sakit karena kakaknya tidak kunjung sadarkan diri. Aluna yang mendengar kabar tersebut langsung memaksa menyusul ke rumah sakit padahal jam pelajaran masih berlangsung.Tak peduli jika ulahnya tersebut akan berakibat ia ketinggalan banyak materi pelajaran, yang Alena pedulikan hanya kondisi kakaknya. Kecemasan tergambar jelas di raut wajahnya. Kakaknya tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dibanding Alena, kekebalan imun Aluna paling bagus. Aluna juga pandai mengatur waktu serta memiliki kontrol tubuh yang baik, sehingga jarang sakit. Jadi, tidak heran jika kejadian ini membuat Alena dan orang tuanya cemas setengah mati.“Sebenarnya, Kak Luna sakit apa?”Pertanyaan itulah yang sering muncul di kepala Alena. Namun, meski berulang
Sebagai orang yang sama-sama pernah kehilangan, Riga bisa ikut merasakan apa yang kini Alena rasakan. Gadis itu meski hanya duduk di ruang tunggu bandara dengan ekspresi datar, tapi ketakutan dan kecemasan dalam dirinya terlihat sangat jelas. Hal itu dibuktikan dengan Alena yang terus-menerus meremas tangannya sambil sesekali menoleh ke arah kerumunan keluarga korban lainnya dan para petugas. Tidak sedikit dari orang-orang di sana menangis histeris, menuntut para petugas melakukan apa pun supaya anggota keluarga mereka bisa segera ditemukan dalam kondisi selamat.Sudah sekitar dua jam, Riga dan Alena berada di bandara. Farel sedang mengantar mamanya pulang agar bisa beristirahat karena tubuhnya kurang fit dan menunggu kabar di rumah. Farel akan kembali lagi setelah mengantar mamanya. Sementara itu, Alena masih belum ingin pulang. Setidaknya untuk saat ini sebelum ia mendengar kabar terbaru dari para tim penyelamat yang bertugas. Alena hanya ingin memastikan langsung bagaimana kondisi
Hilangnya pesawat milik salah satu maskapai terkenal Indonesia di perairan utara Jakarta masih menjadi topik hangat di seluruh negeri. Pemberitaan di mana-mana. Mulai dari televisi, koran, radio, serta situs-situs berita digital dipenuhi kabar terbaru proses pencarian pesawat. Bahkan berita ini juga beberapa kali masuk pemberitaan media asing milik negara tetangga.Ini sudah lewat dua puluh empat jam sejak pesawat dikabarkan hilang kontak dan proses pencarian masih terus berlangsung. Beberapa buah kapal dan kapal selam milik TNI AL pun dikerahkan untuk membantu pencarian. Kabar terbaru mengatakan tim pencari sudah berhasil menemukan puing yang diduga merupakan bagian dari sayap dan ekor pesawat, jaket pelampung, dan potongan kain yang bisa dipastikan berasal dari pakaian korban.Sejak saat itu pula, Alena selalu memantau perkembangan proses pencarian melalui tayangan berita di televisi atau di internet, dan sebisa mungkin ia tidak melewatkan satu informasi pun. Farel juga mengabari ia
“Aku?” tanya Alena memastikan telinganya tidak salah dengar. Seluruh atensinya saat ini hanya tertuju pada gadis yang duduk di atas kasur sambil menatap layar laptop. “Kenapa aku? Memangnya Bara cerita soal apa tentang aku?”“Karena Bara suka sama kamu, Alena,” jawab Nitha seraya menegakkan tubuh, menatap lawan bicaranya yang berada di meja belajar. Lalu mengalihkan pandang e arah jendela. Sinar bulan menyembur di celah tirai putih. “Dan dia cerita banyak hal tentang kamu.”“Aku ingat banget dulu Bara pernah bilang nggak mau berurusan sama cinta-cintaan sebelum dia lulus sekolah. Waktu itu dia cuma fokus sama sekolah dan berusaha jadi atlet lari terbaik. Makanya nggak heran kalau nilai akademis dan prestasi larinya, seimbang. Karena memang dia se-ambis itu orangnya. Tapi sejak kamu jadi murid baru di sekolah kami, Bara melanggar ucapannya.“Aku dan Nathan sering banget mergoki Bara lagi ngelihatin kamu diam-diam, termasuk saat kita berempat lagi bareng, dia nggak jarang ngelihatin kam
Jam dinding baru menunjukkan pukul lima lewat empat puluh menit ketika suara deru mobil tiba-tiba berhenti di depan rumah Budi. Si pemilik rumah yang sedang memanaskan mobil di depan garasi pun meninggalkan kegiatannya lalu bergegas mengecek siapa yang datang pagi-pagi begini. Saat pagar dibuka, sudah ada dua laki-laki dengan pakaian berbeda berdiri di depan sana. Farel dengan seragam sekolah tanpa dasi dan Nathan dengan hanya mengenakan kaus panjang garis-garis berwarna putih-biru tua dan celana panjang hitam.“Selamat pagi, Om,” sapa Farel dan Nathan bersamaan. Lalu mereka bergantian menyalami tangan Budi.“Oh, kalian ternyata. Ya, pagi. Kalian mau ketemu Alena sama Nitha, ya?” tanya pria paruh baya yang masih memakai pakaian santai itu.“Iya, Om. Sekalian saya juga mau jemput Nitha. Semalam, udah bilang ke Alena dan Nitha kalau pagi ini, kami mau jemput,” jawab Nathan sopan.Budi mengangguk paham. “Oh, ya udah kalau begitu kalian masuk aja dulu. Ayo, nunggunya di dalam aja,” ajakny
“Pagi-pagi udah nongkrong di sini aja. Mau pada ngapain? Godain adik kelas?” Pertanyaan itu berhasil membuat tiga orang laki-laki yang sedang duduk di bangku depan kantin, menoleh ke sumber suara. Salah satu di antara mereka mendengus pelan saat tahu siapa pemilik suara itu. “Iya, si Pandu mau cari gebetan baru, katanya. Kenapa? Lo mau dicariin juga? Gampang. Sini bilang aja lo mau kriteria yang kayak gimana, nanti gue cariin sekalian,” sahut Sakti, yang langsung dihadiahi pukulan ringan oleh Riga. Laki-laki itu meringis pura-pura kesakitan, tapi ekspresi wajahnya justru membuat dua orang lainnya tertawa. “Lo salah, sih. Kucing tidur malah lo bangunin, langsung dicakar kan, lo,” balas Pandu. “Tapi tumben lo sendirian, Ri? Nggak bareng sama Alena?” tanya Dana seraya mendorong kursi plastik ke arah Riga. Syukur, setidaknya masih ada Dana yang masih lebih waras dibandingkan dua temannya yang lain. “Tahu nih, biasanya juga berangkat bareng sama Mbak Pacar, udah kayak couple of the yea
Bunyi bel panjang di siang yang mendung menjadi penanda berakhirnya kegiatan belajar-mengajar di SMA Angkasa hari ini. Guru pengajar di kelas segera mengakhiri pelajaran, begitu juga dengan Pak Ganjar yang sedang berada di kelas 12 IPA 4. Guru Fisika itu baru keluar setelah meninggalkan tugas. Satu kelas menyahut kompak, sebelum misuh-misuh mengingat tugas harus dikumpulkan pada pertemuan.Bayangkan saja, empat puluh soal latihan Fisika harus selesai dalam dua hari. Sementara itu, masih ada tugas Kimia dan Matematika dengan tenggat waktu yang sama pula.Oke, ingatkan Alena untuk tetap waras dan tidak mabuk rumus setelah mengerjakan semua tugas itu. Gadis itu menghela napas, kemudian memilih membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.“Mau ngerjain bareng nggak, Len?” tanya Manda, suaranya setengah lesu. Kentara sekali sama frustrasinya dengan Alena. Harus Manda akui, ia sedikit menyesalkan sikap impulsifnya dulu yang nekat masuk IPA hanya karena nilai Biologinya bagus pad
Alena tahu bahwa dalam hidup selalu ada pertemuan dan perpisahan. Yang mana dua hal itu akan selalu mempengaruhi bagaimana kelanjutan hidup mereka yang mengalaminya. Pembedanya hanya bagaimana perasaan yang melingkupinya saja.Pertemuan selalu membawa rasa senang dan syukur yang begitu besar bagi Alena. Sebab, ia merasa beruntung sudah dipertemukan dan dikelilingi oleh orang-orang baik yang menyayanginya seperti papa, sahabat-sahabatnya, dan kekasihnya. Sedangkan perpisahan, selalu membawa perasaan yang sebaliknya.Alena benci perpisahan. Ia benci berpisah dengan mama dan kakaknya. Karena itu menimbulkan luka mendalam hingga ia harus berusaha keras untuk menyembuhkannya. Namun, setelah bertahun-tahun berlalu dan lukanya perlahan mulai sembuh, kini luka itu justru kembali menganga lebar.“Ayo, Sayang. Kita berangkat.” Suara lembut papa menerobos gendang telinga Alena, mengembalikan gadis itu ke dunia nyata. Pria paruh baya itu mengusap lembut bahu putrinya.Alena menoleh ke kiri dan me
“Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya
Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok
Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant
Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak
Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan
Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki
“Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par
Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b
Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,